Sexual Consent dan Hak Kita untuk Bilang “Tidak”

Dunia tidak akan pernah menjadi ruang aman bagi perempuan selama suaranya disunyikan. Diamnya dikira “iya”. Jikapun bilang “tidak”, malah diartikan sebagai “iya”. Nggak heran kekerasan seksual berbasis gender masih saja terus terjadi setiap hari.

Padahal nih ya, perempuan bukan objek seksual. Mereka juga punya hak penuh untuk setuju atau tidak setuju. Setiap orang mesti saling menghargai keinginan (dan ketidakinginan) pasangan masing-masing. Dari sini, sexual consent alias persetujuan seksual menjadi kunci. Kamu nggak mau, kan, terjebak dalam hubungan yang dipaksakan?

Menyangkut relasi antar gender, masyarakat mempersepsikan posisi perempuan sebagai yang siap menerima tindakan apa saja dari pasangan sekaligus menanggung konsekuensi jika sampai menunjukkan penolakan. Coba saja tengok ide dalam hubungan pernikahan yang lazim ditemui. Suami memimpin, istri melayani. Suami mengayomi, istri berbakti.

Apapun perintah suami, istri harus siap mengiyakan, termasuk dalam hubungan seksual. Jika enggan? Wah, siap-siap deh dikutuk malaikat, dilaknat Tuhan, bahkan sampai dipukuli suami. Ada juga yang masih percaya mitos tentang kode dalam kata-kata perempuan. Katanya, kalau mengaku nggak mau, itu cuman karena gengsi, yang sebenarnya mereka mau-mau aja, tuh.

Membungkam hak bersuara dan berpendapat bagi perempuan bukan hanya bermasalah di tataran hubungan personal. Hal ini juga turut melanggengkan rape culture atau budaya pemerkosaan di ranah kehidupan sosial yang dirawat secara sistemik. Alih-alih menyalahkan pelaku, kekerasan seksual seringkali diwajarkan saja atas asumsi “kan, sama-sama enak.”

Korban, dalam proses hukum sekalipun, kerap menghadapi pertanyaan semacam, “apakah kamu menikmati?” bahkan dianggap “suka sama suka”. Gimana sih? Jelas-jelas kekerasan seksual itu terjadi ketika ada unsur pemaksaan dari satu pihak. Sama sekali tidak ada yang enak dari hubungan tanpa kesepakatan.

Sexual consent atau persetujuan seksual berarti dua-duanya, baik laki-laki atau perempuan, sama-sama setuju sebelum melakukan aktivitas seksual. Consent ini berlaku bukan sebatas dalam hubungan seksual, loh, tapi segala aktivitas yang melibatkan keintiman fisik.

Pegangan tangan, pelukan, ciuman, atau cuddling, semuanya butuh kesepakatan awal dari kedua belah pihak. Kesediaan mendengar dan menerima pendapat pasangan menjadikan hubungan lebih sehat dan setara. Dengan menanyakan “mau atau tidak?” lebih dulu kepada pasangan, tandanya saling menghargai otoritas tubuh dan kehormatan diri satu sama lain. Ingat ya, aktivitas seksual tanpa persetujuan adalah pemerkosaan.

Apakah dengan menjalin hubungan romantis seperti pacaran atau bahkan ikatan legal dalam pernikahan, setiap aktivitas seksual otomatis menjadi consent? Oh, tentu tidak, dong. Siti Aminah Tardi, K0misioner Komnas Perempuan, menegaskan jika persetujuan berlaku baik bagi pasangan yang telah menikah maupun di luar relasi itu.

Pernyataan dari Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) baru-baru ini yang menolak sexual consent jadinya tidak relevan karena malah menyorot seks bebas. Sexual consent justru berorientasi pada penguatan hak individu untuk terbebas dari ketakutan, rasa bersalah, tekanan, dan manipulasi dalam hubungan. Soalnya saat ini, di Indonesia, kasus kekerasan seksual dalam hubungan makin menjadi-jadi. 

Sebut saja Melati. Malam itu dia harus berhubungan seksual dengan suaminya meski dia sedang lelah sekali. Melati sebenarnya tidak mau, tapi takut dosa. “Bukankah sudah tugas istri melayani suami sepenuhnya?”, begitu dia pikir. Dia tidak pernah tahu jika sebagai perempuan dia punya hak atas perlakuan terhadap tubuhnya.

Beda lagi dengan Mawar. Dia sudah bilang ke suami kalau malam ini dia perlu istirahat. Tapi si suami malah jawab, “kalau sudah hasrat, ya gimana? Kamu mau aku selingkuh?” Hmm, intonasinya mirip sama ustadz yang pernah muncul di tv itu. Ada juga cerita dari Asoka. Awal pacaran, dia sudah berkomitmen untuk tidak berhubungan intim.

Tapi, pacarnya selalu membujuk dengan iming-iming “aku janji akan nikah sama kamu,” Lama kelamaan, si pacar malah mengancam akan menyebarkan foto-foto mereka berdua tiap kali Asoka menolak ajakannya untuk berhubungan. Semua cerita ini terjadi di sekitar kita, dalam berbagai pola, bermacam bentuk, beragam nama, tapi sama-sama melanggar sexual consent.

Angka kekerasan seksual di ranah domestik masih sungguh mengkhawatirkan. Catatan Kekerasan terhadap Perempuan tahun 2019 yang dirilis Komnas Perempuan salah satunya melaporkan Kekerasan dalam Perkawinan dan Hubungan Pribadi.  Laporan ini menunjukkan 6.555 kasus kekerasan terhadap istri dan 1.815 kasus kekerasan dalam pacaran. Bentuk kekerasan seksual terjadi sebesar 25%, tertinggi kedua setelah kekerasan fisik. Ini baru data resmi, loh.

Apa kabar para perempuan seperti Melati, Mawar, dan Asoka, yang sepanjang waktu menjadi korban tapi dipaksa bungkam?Mulai menyadari pentingnya sexual consent sedikit demi sedikit memberi ruang bagi perempuan untuk menyuarakan keinginannya sendiri. Tapi, untuk menghapuskan segala potensi kekerasan seksual dalam relasi pribadi, butuh keseriusan dalam menghargai hak-hak perempuan sebagai pasangan yang setara.

Memastikan jika perempuan benar-benar bebas dari ancaman masuk neraka, keterpaksaan akan kewajiban, iming-iming semu, dan intimidasi apapun, sebelum mengatakan “iya” atau “tidak”. Sebab manusia yang telah menjalin ikatan tentu tetap memiliki otonomi diri. Begitu pula perempuan, meski berstatus sebagai istri atau pacar, masih dan akan selalu punya wewenang penuh atas tubuh dan pikirannya.

Penggerak Komunitas GUSDURian Makassar, Sulawesi Selatan.