Reformisme dalam Gerakan Keagamaan
Gambaran umum tentang gerakan masyarakat (istilah lain untuk ‘gerakan non pemerintah’, yang di negeri ini mengandung konotasi konflik faktual atau potensial dengan pemerintah) yang didorong oleh motif keagamaan meliputi spektrum yang membentang antara dua titik diametral di satu pihak, kecenderungan untuk mewujudkan sebuah ‘Kerajaan Tuhan’ di muka bumi, dan di pihak lain penolakan sasaran perjuangan seperti itu untuk dicukupkan dengan hanya memperbaiki keadaan masyarakat yang telah diterima bentuk dan bangunannya secara tuntas. Gambaran yang dikotomis seperti itu, mengandaikan bahwa kecenderungan mesianistik dan milenarianistik adalah satu-satunya kecenderungan revolusioner di lingkungan gerakan masyarakat yang memiliki motif keagamaan. Selain kecenderungan tersebut, motif keagamaan hanyalah mampu memunculkan apa yang oleh jargon Marxis dikenal sebagai ‘sikap reformis’, sebuah dosa tak berampun bagi ideologi revolusioner seperti komunisme.
Sempitnya spektrum pembagian sikap seperti itu kemudian sudah tentu menjadi sangat wajar kalau membuat ideologi-ideologi revolusioner bersikap tidak bersahabat kepada motif keagamaan dari gerakan-gerakan masyarakat yang ada. Oleh para teoretisi revolusi, gerakan masyarakat yang bermotifkan aspirasi keagamaan hanyalah berkesudahan pada dua ujung yang sama-sama tidak menggembirakan. Di satu pihak, kecenderungan messianistik hanyalah akan berarti elan revolusioner yang tidak memiliki ideologi yang jelas, berkesudahan pada kemenangan (itu pun kalau dapat dicapai) semu untuk sementara waktu saja dengan cepat kekuatan kontra-revolusi akan merampas kembali kekuasaan dari tangan mereka, karena pimpinan “revolusi” seperti itu segera akan terjerumus ke dalam pertentangan intern untuk memperebutkan kekuasaan hanya bagi diri masing-masing belaka. Kooptasi oleh kekuatan kontra-revolusi adalah kesudahan logis bagi kecenderungan mesianistik, betapa revolusioner sekalipun watak dan wawasan perjuangan yang dilancarkannya. Di pihak lain, kecenderungan reformis hanyalah akan memperkuat struktur yang ada, berarti melemahkan naluri revolusioner yang telah dimiliki rakyat.
Kedua kecenderungan itu tidak memberikan angin segar sama sekali kepada kiprah revolusioner untuk merombak struktur masyarakat yang ada dan menyusun masyarakat baru yang sepenuhnya berwatak egalitarian. Tidak heran kalau ideologi-ideologi revolusioner yang berasal dari pemikiran sekuler, seperti Marxisme dalam segala varian yang dimilikinya, cenderung untuk meremehkan arti kiprah revolusioner yang bermotifkan aspirasi keagamaan. Ungkapan Marx sendiri, bahwa ‘agama adalah madat (candu) bagi rakyat’, harus dipahami dalam arti dan latar belakang ini, karena baginya agama sama sekali tidak akan mampu menjadi kekuatan yang akan membebaskan rakyat dari belenggu penindasan antar-kelas dan eksploitasi oleh kaum modal. Sebaliknya, dalam hampir semua kejadian yang diamati Marx, agama (setidak-tidaknya lembaga keagamaan) hanyalah berfungsi sebagai alat pemberi legitimasi kepada struktur masyarakat yang tidak adil dan opresif.[1]
Sikap Marxisme yang seperti itu semakin diperkuat, atau dengan ungkapan lain “dibenarkan”, oleh metode pemikiran mereka yang sama historis-materialistis. ‘Objektivitas ilmiah’ menunjuk kepada peranan kontra-revolusioner yang dimainkan oleh lembaga keagamaan sepanjang sejarah, karena tidak ada jalan lain yang dapat ditempuhnya. Sikap revolusioner yang mungkin tumbuh di dalamnya hanyalah akan bersifat temporer belaka, hingga kekuasaan berada di tangannya. Di saat itulah watak sebenarnya “perjuangan revolusioner” kaum beragama akan menunjukkan wajah aslinya yang sama serakahnya dengan kekuatan lain yang tidak bermotifkan aspirasi keagamaan, kalau harus mempertahankan kekuasaan yang dinikmatinya sendiri. Watak dasar ini tidak dapat disembunyikan dari analisis yang bertumpu pada teori revolusi yang benar, karenanya kampanye anti-agama adalah bagian inhern dari perjuangan revolusioner. Kalau tidak dilakukan, itu hanyalah karena pertimbangan-pertimbangan taktis belaka.
Pandangan seperti ini merupakan sikap yang dominan kalangan ideologi-ideologi revolusioner hingga tahun-tahun enam dan tujuh puluhan. Bahkan varian paling memperhatikan ‘aspek budaya dari perjuangan revolusioner’ di kalangan kaum Marxis, yaitu teori-teori revolusinya Antonio Gramsci di Italia pada tahun-tahun tiga puluhan, hanya berhenti pada apa yang disebutnya sebagai “perjuangan ideologis-kultural” saja, tanpa memberikan tempat kepada agama?.[2]
Menarik dalam hal ini adalah spekulasi tentang sikap pemerintahan komunis yang ‘manusiawi’ pimpinan Imre Nagy di Hongaria tahun 1956, jika seandainya tidak dihancur-leburkan oleh tank-tank Uni Soviet. Akan tolerankah sikapnya kepada gereja Katolik Hongaria jika sampai menang, mengingat kardinal Midzenty dipersalahkan oleh Uni Soviet sebagai salah satu biang keladi “pemberontakan Hongaria”, dan untuk itu harus minta suaka untuk belasan tahun lamanya di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Budapest? Ideologi revolusioner kaum nasionalis Arab, seperti Ba’athisme di Irak dan Syiria saat ini dan “sosialisme Arab” di Aljazair di masa pemerintahan Ahmed Ben Bella, yang bagaimanapun juga harus bersikap lunak terhadap motif keagamaan gerakan-gerakan Islam karena mayoritas penduduknya beragama Islam dan Pan-Islamisme memiliki jaringan organisasi berlingkup regional yang kuat, ternyata juga tidak mampu melepaskan diri dari kecenderungan meremehkan kemungkinan motif keagamaan dapat mendorong elan revolusioner dalam artinya yang benar.
Yang unik dalam sikap yang diperlihatkannya kepada aspirasi keagamaan adalah kemampuan ideologi revolusioner Pan-Arabis dari Gamal Abdel Nasser di Mesir untuk memasukan ke dalam teori-teori revolusinya peranan positif dari motif keagamaan, dalam hal ini Islam dan Kristen. Tetapi ini pun mungkin lebih disebabkan oleh kenyataan bahwa sejak semula pandangan revolusioner yang dimiliki Nasser tumbuh dari pergaulannya yang erat dengan gerakan Persaudaraan Muslimin (al-Ikhwan al-Muslimun, the Moslem Brethren), ketika pendirinya, Hasan al-Banna, masih hidup dan belum terbunuh, di samping oleh kenyataan bahwa Nasser dengan mudah dapat memperoleh dukungan dari al-Azhar untuk pandangan-pandangan revolusionernya, seperti land-reform dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan besar.
Adapun kesediaan al-Azhar untuk memberikan dukungan bukanlah karena pandangan keagamaan yang revolusioner, melainkan selamanya ia akan mendukung kebijaksanaan pihak yang memerintah, seperti terbukti dengan mudahnya al-Azhar berputar haluan dan mendukung kebijaksanaan Anwar Sadat setelah Nasser meninggal dunia, yang berwatak teknokratik dan berbalik dari arus sosialistik. Sedangkan Ba’athisme di Irak sekarang, yang melakukan pendekatan kepada aspirasi keagamaan –seperti kongres Rakyat-rakyat Muslim sedunia baru-baru ini- dalam peperangannya melawan rezim Khomeini di Iran, berbuat demikian jelas sekali hanya didorong oleh kepentingan taktis saja.
Bukti paling kongkret dari pengamatan bahwa ideologi-ideologi revolusioner selalu melihat dengan penuh kecurigaan kepada motif keagamaan yang dimiliki gerakan masyarakat dapat dilihat pada kasus India. Hingga saat ini, tak ada satu pun pandangan revolusioner yang berkembang di India yang memiliki kaitan dengan aspirasi keagamaan, kecuali gerakan Hindu Aria Samaj yang berpusat di negara bagian Haryana, Motif keagamaan yang paling militan sekalipun, seperti yang diperlihatkan oleh Mahatma Gandhi dengan prinsip Ahimsa dan Satyagraha-nya[3] dan Vinoba Bhave[4] dengan “revolusi spiritual”-nya untuk menuntut “pembagian tanah secara sukarela oleh kaum tuan tanah”, ternyata berwatak reformatif belaka, dengan tidak memiliki elan revolusioner sama sekali. Transformasi dalam jargon mereka berarti keinsafan spiritual, bukannya penggulingan kekuasaan pihak yang memerintah. Dengan sendirinya ideologi-ideologi revolusioner di negeri itu cenderung meremehkan arti motif keagamaan gerakan-gerakan masyarakat yang ada di India, ideologi revolusioner haruslah berwatak sekuler, baru akan memperoleh pengakuan dari sesama lingkungan revolusioner. Dan sekulerisme dalam konteks India adalah peremehan motif keagamaan, yang tidak memiliki validitas sama sekali. Adanya perkecualian sikap, seperti penampilan ulama berpengaruh Maulana (Kiai) Ishaq di salah satu negara bagian dalam berkali-kali pemilihan umum, sebagai calon partai komunis India, tidak lain hanyalah “penyesuaian taktis” belaka atas keadaan yang tak dapat dielakkan.
Demikian pula keadaannya dengan “tradisi revolusioner” di Cina, hanyalah dengan menumbuhkan kecenderungan teknokratik dan membantai program utama revolusioner yang dicanangkan Mao Zedong sajalah, melalui empat pokok modernisasinya Deng Ziaoping, baru Komunis dapat bersikap toleran terhadap aspirasi keagamaan. Itu pun berarti bukan adanya derajat toleransi tertentu oleh sebuah ideologi revolusioner kepada aspirasi keagamaan, melainkan justru ketika ia kehilangan watak revolusionemya dan berkembang menjadi sesuatu yang reformatif.
Agama sebagal Motif
Namun, dalam tahun-tahun enam dan tujuh puluhan mulai terjadi pergeseran dalam pandangan yang dimiliki ideologi-ideologi revolusioner atas motif keagamaan gerakan masyarakat. Apa yang terjadi di Mesir, setelah Nasser berhasil mengkonsolidasikan kekuatan revolusioner (yang ironisnya tercapai ketika ia membabat kekuatan inti gerakan yang semula, memberikan inspirasi revolusioner kepada dirinya, yaitu gerakan Persaudaraan Muslim), merupakan salah satu titik balik pandangan ideologi-ideologi revolusioner terhadap motif keagamaan dari gerakan masyarakat. Demikian pula tersingkirnya Ben Bella dari kekuasaan dan digantikan oleh Houari Boumedienne membawa kepada perubahan sikap sebuah ideologi revolusioner terhadap aspirasi keagamaan (yang ironisnya ditutup dengan munculnya Ben Bella saat ini justru sebagai ‘Pembela Islam’ di hadapan ‘ideologi-ideologi sekuler’).
Di Amerika Latin, sejak awal tahun-tahun enam puluhan Uskup Agung Rio de Janeiro (waktu itu, kini Uskup Agung Olinda-Recife) Holder Pessoa Camara telah mencanangkan perjuangan menolong kaum miskin “untuk mengatasi keadaan dan memperbaiki nasib mereka sendiri”, sebuah lompatan sangat jauh dari karitas konvensional yang umum dianut hingga saat itu.[5] Tahun 1955 Dom Helder telah mengikuti persiapan pembentukan Konferensi Uskup-uskup Amerika Latin (CALEM), yang nantinya akan memainkan peranan sangat penting dalam merumuskan teologia Katolik yang berwatak revolusioner dan memberikan dukungan kepada gerakan-gerakan masyarakat yang memiliki ideologi revolusioner.[6] Tahun 1959 mendirikan Bank of Providence yang didirikan khusus untuk “melayani kaum miskin”, dan pada tahun 1968 melancarkan gerakan acao esperanza (operasi harapan) dan Dewan Keadilan dan Perdamaian. Untuk pertama kalinya dalam sejarah umat Katolik di Amerika Latin, perdamaian dikaitkan secara institusional dengan konsep keadilan yang berlingkup makro, sebuah pendekatan yang dalam jargon ideologi-ideologi revolusioner dikenal dengan sebutan ‘wawasan struktural’.
Langkah-langkah seperti itu dengan cepat mendorong perkembangan baru di kalangan gerakan masyarakat yang bermotifkan aspirasi keagamaan di Amerika Latin. Dalam tahun 1972 muncullah sebuah rumusan baru, yaitu teologia pembebasan, yang diajukan oleh Gustavo Merino Guitierez di Peru.[7] Oleh teologia ini dipersoalkan kebenaran sikap untuk membatasi lingkup pelayanan oleh gereja terhadap perorangan warga masyarakat, tanpa dikaitkan dengan struktur masyarakat. Spiritualitas bukanlah hanya milik individu saja, melainkan juga sesuatu yang imperatif bagi masyarakat. Sebuah masyarakat tanpa spiritualitas hanyalah akan berujung pada penindasan, ketidakadilan, pemerasan dan perkosaan atas hak-hak asasi warganya. Kasih Kristiani hanyalah akan terwujud, kalau masyarakatnya digarap untuk melestarikan kasih itu sendiri, bukan menghilangkannya. Gereja, untuk menegakkan kebenaran, haruslah bersedia memberikan dukungan penuh kepada gerakan-gerakan revolusioner yang berupaya memperjuangkan masyarakat yang adil dan benar-benar demokratis. Ini adalah keharusan mutlak, walaupun gerakan-gerakan itu menggunakan metode kekerasan dalam perjuangan mereka, sedangkan gereja sendiri tidak turut terlibat dalam tindak kekerasan itu. Kekerasan yang dilakukan gerakan-gerakan masyarakat hanyalah refleksi belaka dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh sistem kekuasaan dalam struktur yang pincang. Implikasi terjauh dari gejolak revolusioner itu adalah akibat logis belaka dari perkembangan kesejarahan yang telah terjadi sebelumnya. Walaupun butir-butir di atas bukanlah rumusan yang secara harfiah dituliskan oleh Merino sendiri, namun ia adalah kesadaran umum yang terdapat di kalangan para ‘teolog pembebasan’ sendiri, terbukti dari keterlibatan aktivis semacam pastor d’Escoto, salah seorang tokoh utama gerakan masyarakat revolusioner Sandinista yang akhirnya berhasil menggulingkan rezim diktator Somoza dan kini menjadi Menteri Luar Negeri Nikaragua.
Perkembangan seperti itu tidak hanya dapat dibatasi pada perkembangan di kalangan kaum Katolik Amerika Latin saja, melainkan juga terjadi di kalangan kaum Katolik di luar kawasan tersebut dan di kalangan non-Katolik di seluruh dunia. Gema dari kecenderungan revolusioner gerakan masyarakat yang bermotif keagamaan tenyata tidak bersumber hanya pada teologia pembebasan saja, melainkan juga pada semangat Oikumene gereja-gereja Kristen dan paham-paham Pan-Islamik di Timur Tengah dan Asia Selatan. Perjuangan oikumenik untuk melawan dominasi perusahaan perusahaan trans-nasional (TNE, transnational enterprise) di negara negara berkembang, mengharuskan gerakan masyarakat di kalangan kaum Kristen untuk mempertanyakan kebenaran “etik Kristen yang kapitalistik”, yang pernah didengung-dengungkan Max Weber.[8] Demikian pula wawasan egalitarian dari paham Pan-Islamik yang revolusioner, seperti intelektual ‘santri’ semisal Ali Syari’ati di masa kekuasaan rezim Shah Reza Pahlevi, bahkan mempersoalkan kelayakan konsep pembangunan yang bersifat teknokratik dan pandangan politik yang berwatak kompromistis terhadap konsep tersebut. Demikian pula, di India muncul tahap terakhir dari perkembangan sekte reformis Hindu Aria Samaj, yang mencanangkan ‘keimanan adalah land reform, kalau tidak diselenggarakan pemerintah, haruslah diwujudkan sendiri oleh masyarakat’ untuk kredo semacam ini, salah seorang pemukanya, Swami Agnivesh, harus berkali-kali masuk penjara di masa undang-undang keadaan darurat diproklamasikan oleh Indira Gandhi dalam pemerintahan periode pertamanya.
Di kawasan-kawasan lain, gerakan masyarakat yang bermotifkan aspirasi keagamaan di kalangan kaum Katolik juga muncul, seperti di Filipina, Korea Selatan, dan Hongkong (yang merupakan pusat jaringan komunikasi regional untuk kawasan Asia Pasifik). Di Filipina, gerakan masyarakat dengan aspirasi keagamaan Katolik itu mengajukan sebuah strategi yang unik di hadapan sistem kekuasaan yang sudah begitu absolut penguasaannya atas kehidupan politik formal, yang oleh kalangan mereka sendiri dinamai “kolaborasi kritis”, dirumuskan oleh kardinal Jaime Sin.[9] Menurut strategi ini, gerakan masyarakat akan mendukung sepenuhnya langkah langkah konstruktif yang diambil pemerintah, tetapi akan mengajukan koreksi tuntas atas keadaan serba timpang. Hak melakukan kritik itu tidak dibatasi hanya pada sikap reaktif belaka, melainkan diletakkan dalam sebuah kerangka aktif mengambil inisiatif untuk memperbaiki keadaan dan mengajukan usul-usul perubahan. Langkah mengajukan kritik ini, menurut tuduhan pemerintah Presiden Marcos, justru disalahgunakan oleh kalangan gerakan masyarakat yang dipimpin kaum pendeta, untuk menghasut rakyat melakukan pemberontakan militer. Mereka dituduh oleh pimpinan militer sebagai penunjang dan pendukung pemberontakan komunis yang diprakarsai Tentara Baru Rakyat (New People’s Army). Konflik terbuka antara pemerintah Marcos dan gerakan masyarakat yang dipimpin para pendeta Katolik itu telah berlangsung bertahun-tahun, dan tampaknya justru akan berlangsung lebih intensif di masa depan yang dapat diperkirakan.
Di Korea Selatan, keadaannya juga tidak berbeda, kalau dilihat dari adanya konflik antara pemerintah militer yang berkuasa dan gerakan masyarakat yang memiliki motif keagamaan, walaupun sudah tentu lingkup pertarungannya lebih kecil dari di Filipina. Masalah pemulihan hak-hak asasi manusia dan penegakan kedaulatan hukum adalah ‘garapan’ gerakan-gerakan masyarakat tersebut, di mana berkecimpung para agamawan Katolik dan Kristen. “Tangan Tuhan yang terbelenggu”, judul sebuah sajak protes penyair Kristen Kim Chi Ha yang sangat populer, adalah bukti dari kuatnya kaitan antara aspirasi keagamaan mereka dan kecenderungan kuat untuk menolak keadaan yang tidak adil dan sangat menindas. Dengan pengorbanan sangat berat berupa masa tahanan sangat lama, hukuman terlalu berat dan siksaan badani, para pelopor gerakan masyarakat itu hingga saat ini -setelah lebih dua belas tahun- tidak pernah mengendurkan tuntutan mereka. Apa yang mereka lakukan, oleh mereka sendiri, dirumuskan sebagai “perjuangan menegakkan masyarakat yang sesuai dengan kehendak Tuhan”, di mana berkembang demokrasi yang sebenarnya, tegak kedaulatan hukum dan terjaga hak-hak asasi manusia.
Di Hongkong, sejumlah pusat komunikasi yang melayani jaringan gerakan-gerakan masyarakat di seluruh Asia-Pasifik dengan giat menyelenggarakan forum-forum untuk membahas konteks perjuangan yang selayaknya dimiliki oleh kaum beragama kawasan ini, dan menerbitkan publikasi periodik tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan perjuangan gerakan masyarakat di berbagai negeri itu. Judul media periodik yang mereka terbitkan, seperti Arena of Asian Exchange, Hotline Asia-Pasific, dan Monitor, mencerminkan fungsi pelayanan regional itu. Fungsi tersebut sangat penting artinya bagi gerakan-gerakan masyarakat yang ada di kawasan Asia-Pasifik, karena ia merupakan jaringan tukar-menukar pengalaman dan pengarahan kontak, yang akan memperkaya ragam, corak dan isi kiprah mereka dalam perjuangan sangat berat mewujudkan aspirasi mereka sendiri.
Gerakan Keagamaan dalam Perspektif Struktural
Dari apa yang diuraikan di atas menjadi jelas, bahwa spektrum perjuangan gerakan masyarakat yang bermotifkan keagamaan telah bergeser dari titik semula dalam masa dua puluh tahun terakhir ini. Pada sebuah sisi, kita melihat masih adanya orientasi yang tidak jelas, kiprah yang dilakukan hanya mengikuti alur karitas konvensional dan jaringan pendidikan yang “biasa-biasa” saja. Kegiatan kemasyarakatan yang dilakukan tidak memiliki sasaran perombakan masyarakat sama sekali. Orientasi ini adalah apa yang di atas sudah disebutkan sebagai ‘reformisme’, menurut jargon teori revolusi.
Di sisi lain, terjadi perubahan mendasar. Jika dahulunya “ujung sana” itu diduduki oleh gerakan yang berwatak mesianistik dan milenarianistik, maka sekarang muncul orientasi baru berupa kecenderungan memadukan aspirasi keagamaan dan kerangka pemahaman keadaan yang bersifat struktural. Dengan kata lain, militansi keberagaman yang revolusioner dalam wawasan dan watak. Namun, sebenarnya watak revolusioner itu kebanyakan masih terbatas pada wawasannya saja, belum menjadi sesuatu yang programatik dan didukung oleh bangunan institusional yang sesuai dengan kebutuhan melaksanakan revolusi. Boleh dikata revolusioner dalam retorika dan reformistik dalam kerja nyata.
Keadaan seperti ini bukannya tidak mengandung bahaya yang terbesar di antaranya adalah hilangnya kredibilitas karena jarak yang terlalu jauh antara kata dan perbuatan. Dalam keadaan yang untuk mudahnya dapat dirumuskan sebagai “menjurus kepada kepribadian terpecah” itu, dengan sendirinya lalu mudah terjadi kesimpangsiuran pendapat dalam merumuskan kerangka, sasaran dan lingkup kiprah yang harus dilakukan, di samping perbedaan mendasar dalam menilai keadaan. Ini sudah tentu akan membawa kepada suatu konsekuensi sangat berat, yang akhir-akhir ini juga sudah mulai tampak muncul di negeri kita, yaitu berupa proses fragmentasi yang tidak berkesudahan. Kecenderungan berpecah-pecah dan berkeping-keping itu dengan sendirinya akan memunculkan sebuah stadia baru pula, yang perlu ditinjau secara khusus, yakni munculnya utopia baru akibat kekecewaan yang berkepanjangan terhadap keadaan sendiri.
Utopia baru itu adalah idealisasi revolusi secara sangat berlebih-lebihan, dalam bentuk upaya merumuskannya secara sangat terperinci dan tuntas. Revolusi, seperti semua hal dan keadaan di dunia fana ini, memiliki kelebihan dan kekurangannya. Salah satu kekurangannya adalah keterbatasan yang dimilikinya untuk mengayomi kehidupan masyarakat. Nuansa kultural yang pada dirinya adalah akibat logis atau bagian inhern dari proses sejarah, sering dilihat dari sudut pandangan “merugikan atau menguntungkan revolusi” belaka, bukannya dari sudut pandangan keberadaan nuansa itu sendiri dan haknya untuk tetap hidup. Dengan demikian, keragaman dikorbankan untuk kepentingan mensukseskan revolusi, seperti terjadi pada kasus kelompok Indian Miskito di Nikaragua saat ini.
Sering kali penyeragaman kegiatan (dan kelembagaan) itu berakibat pada ‘pencurian’ revolusi untuk menjaga dan mengkonsolidasikan kehadiran salah satu pihak saja yang turut memenangkan revolusi, seperti apa yang terjadi di Iran. Revolusi Islam, yang tadinya adalah milik dan saluran aspirasi banyak kekuatan sosial-politik yang berkiprah bersama, setelah kemenangan tercapai lalu berubah menjadi ‘revolusi mullah’ saja, yang ditubuhkan dalam “Republik Islam Iran” dengan partainya sendiri yang bernama sama.
Apa yang terjadi di Iran itu. sebagai tahap konsolidasi kekuatan para mullah dan penggusuran pihak-pihak lain dalam percaturan politik, adalah contoh klasik dari ‘revolusi yang tercuri’ (the stolen revolution) yang umum terjadi dalam sejarah, seperti yang terjadi ketika Joseph Stalin ‘mencuri’ revolusi Bolshevik dari teman-teman seperjuangannya, termasuk musuh bebuyutannya Trotsky[10]. Dalam kaitan inilah akan terjadi pertentangan kepentingan gerakan masyarakat yang bersangkutan, antara kepentingan menjaga keragaman budaya yang menjadi kebutuhan inhern dari motif keagamaan yang berwatak universal dan kepentingan sistematisasi langkah-langkah perjuangan yang sangat dibutuhkan oleh elan revolusioner sesuatu gerakan.
Banyak aspek dari kecenderungan revolusioner, minimal dalam wawasan, yang menjiwai kiprah gerakan masyarakat yang bermotifkan keagamaan, namun dirasa bukan di sini tempat yang tepat untuk membahasnya secara tuntas. Tulisan ini dicukupkan dengan sekadar melemparkan pandangan kepada adanya fenomena itu sendiri. Ternyata, sebagai ganti ‘Kerajaan Tuhan’ di muka bumi, gerakan masyarakat di perempat abad terakhir abad ini memunculkan sebuah aspirasi keagamaan yang berbalikan, mendirikan sebuah “Republik Bumi” untuk dilestarikan hingga ke hari akhirat.
Catatan Akhir:
[1] Dalam konteks seperti itulah lahir jargon Marx yang sangat terkenal bahwa “agama adalah candu”. Sehingga jargon itu memang harus dilihat dari konteks sejarah kemunculannya. Dalam nada yang kurang lebih sama, Gregory Baum dalam Truth Beyonn Relativism (Wisconsin USA: Marquette University Press, 1977), menilai bahwa sesungguhnya kebenaran agama tidak bisa dilepaskan dari keterkaitannya dengan komitmen solidaritas dan emansipasi. Komitmen emansipasi di sini artinya agama harus mampu membebaskan umat manusia dari belenggu-belenggu ketertindasan dan kebodohan.
[2] Cari Boggs, Gramsci’s Marxism, (London: Pluto Press, 1976).
[3] Ahimsa adalah sebuah konsep nirkekerasan terhadap semua makhluk hidup. Ia merupakan ajaran meninggalkan kebencian dan menumbuhkembangkan sikap belas kasih berdasarkan kesatuan segala sesuatu. Sementara Satyagraha merupakan prinsip tentang kekuatan dan kebenaran cinta. Satyagraha merupakan metode meraih hak-hak melalui perjuangan dengan cara menanggung penderitaan pribadi (lebih jauh lihat Ved Metha, Mahatma Gandhi and His Aposties, (New York: Penguin Books, 1977).
[4] Vinoba Bhave adalah satu dari tiga orang (yakni Satish Chandra Das Gupta dan Abdul Gaffar Khan) penerus program Konstruktif yang dirumuskan Gandhi Program Konstruktif adalah program untuk mengabdikan diri kepada negerinya sesuai kemampunnya. Vinoba bergabung ke Ashram Gandhi tahun 1916 (Lihat Ibid).
[5] Karena konteks itulah di Amerika Latin kemudian lahir konsep Teologi Pembebasan, sebuah refleksi teologis yang berorientasi pada pembebasan kaum miskin dari kondisi tertindas.
[6] Bahkan akhirnya “komunitas eklesial basis yang miskin“ atau umat basis yang miskin menjadi salah satu program pastoral dokumen akhir CELAM III doi Puebla.
[7] Lihat Gustavo Gutierrez, A Theology of Liberation, Maryknoll: Orbis Books, 1973.
[8] Dalam soal ini lebih jauh lihat karya Max Weber, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, New York: Charles Scribner’s Son, 1958.
[9] Jaime Sin adalah kardinal Katolik Roma di Manila. Lahir di Panay Island Philipina yang pada tahun 1976 terpilih menjadi Kardinal termuda di The College of Cardinals.
[10] Trotsky, Leon (1879-1940), tokoh Marxis Rusia, yang menjadi motor revolusi terhadap Bolsheviks pada bulan Oktober 1917. Trotsky mengendalikan beberapa pos penting di pemerintahan Rusia.
(Tulisan ini sepenuhnya diambil dari buku Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan)
Sumber: santrigusdur.com