Di beberapa bagian Jakarta, malam itu ada rintik hujan. Magrib hampir berakhir, begitu pula kalender 2009 hampir usai. Tanggal 30 Desember 2009 jam 18.45 WIB, Gus Dur meninggalkan kita semua. Segenap pihak merasa kehilangan. Ia seperti lautan. Menyimpan penuh potensi gagasan yang tiada batas, memiliki sikap tak tertahankan. Menerobos kemapanan pikiran orang kebanyakan dan berani melawan garangnya kekuasaan, tanpa kekerasan. Bersamaan dengan itu semua, ia membela komunitas “plankton” atau minoritas berposisi lemah, dan senantiasa menyelipkan guyonan ceria, bagaikan “wisata” komunikasi.
Wafatnya Gus Dur membuat semua pihak merasa sangat kehilangan, termasuk masyarakat kelautan. Hingga saat ini terdapat tiga tokoh fenomenal yang berjasa besar terhadap kebaharian di Indonesia:
Pertama, adalah Ir. H. Djuanda, Perdana Menteri yang mendeklarasikan dasar-dasar negara kepulauan pada tanggal 13 Desember 1957, yang selanjutnya ditetapkan sebagai Hari Nusantara.
Kedua, adalah Komodor Yos Sudarso, komandan kapal perang yang gugur membela kedaulatan negara melawan penjajah Belanda di Laut Aru. Patriotisme, nasionalisme, dan keberanian berjihad di lautan semacam inilah sebagai model yang patut diikuti oleh generasi berikutnya.
Ketiga, adalah KH. Abdurrahman Wahid, yang pada saat menjabat sebagai presiden Republik Indonesia, pada tanggal 26 Oktober 1999 telah mengangkat Sarwono Kusumaatmadja sebagai Menteri Eksplorasi Laut, yang setelah mengalami perubahan, kini disebut Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Langkah ini memiliki implikasi yang sangat besar bagi Indonesia sebagai sebuah negara maritim. Karena berbentuk kepulauan yang luas, maka faktor tingkat kesulitan dan permasalahannya menjadi sangat kompleks dan mahal. Untuk menanganinya, diperlukan unit organisasi pemerintahan yang proporsional, yakni setingkat departemen. Apalagi bila dipertimbangkan tantangan untuk mengelola potensinya yang luar biasa.
Sikap strategis Gus Dur dengan membentuk Departemen Eksplorasi Laut itu tentu tidak terduga dan mencengangkan. Hal ini mudah dipahami, karena saat itu paradigma tokoh pemerintahan maupun masyarakat pada umumnya, masih berorientasi terestrial atau memandang ke darat. Sebagai warisan sejak zaman Mataram yang dikondisikan oleh Belanda, bangsa ini sudah terlanjur memandang sebelah mata terhadap sektor kelautan dan perikanan. Terkadang muncul gagasan negeri maritim secara parsial, akan tetapi selanjutnya cepat tenggelam, nyaris tidak terdengar. Alhamdulillah, akhirnya mata-hati Gus Dur ternyata mampu menatap tajam kebutuhan objektif negeri bahari.
Membalas dengan canda
Siapa pun mengakui Gus Dur memiliki kemampuan menatap hidup dengan canda. Kalau kita amati, ada dua macam canda yang diungkapkan Gus Dur, yakni ada yang bersifat taktis dan strategis. Sebagai contoh dapat kami sampaikan pengalaman canda Gus Dur di Departemen Kelautan dan Perikanan.
Alkisah, awal jabatan Freddy Numberi sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan tahun 2004 lalu, mengundang Gus Dur untuk ceramah dalam suatu peringatan hari besar Islam. Dalam sambutan sebagai tuan rumah, Freddy bercerita saat sebagai “Gubernur Irian Jaya, menerima telepon tengah malam dari Presiden Gus Dur untuk diminta menjadi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan). Giliran Gus Dur naik ke mimbar untuk memulai ceramah, dengan senyum berucap: ‘Cerita Pak Freddy. Terima telepon dari saya tadi memang betul. Tetapi ada yang tidak disampaikan, yaitu pada saat terima telepon, beliau pakai koteka atau tidak.’” Tentu saja para hadirin meledak tertawanya. Selanjutnya suasana pun cair, Gus Dur lantas menyampaikan panjang lebar mengenai sejarah bahari di Indonesia.
Contoh di atas adalah salah satu canda taktis Gus Dur untuk memecahkan suasana. Ada canda lain yang bernilai strategis. DPR-RI periode 2004-2009 membentuk tim untuk menggagas penataan struktur Kabinet Pemerintahan Republik Indonesia. Berbagai formula masuk menjadi berita berbagai media massa, tentang keberadaan departemen atau kementerian. Termasuk muncul dalam surat kabar bahwa Departemen Kelautan dan Perikanan, perlu dihapus dengan alasan untuk penghematan anggaran. Pada saat ceramah di DKP, menanggapi info penghapusan tersebut ditanggapi dengan enteng, satu kalimat, tetapi esok hari telah menjadi headline media massa:
“DPR tidak tahu saja cara melakukan penghematan”. Dengan canda singkat tersebut, dalam wacana selanjutnya ternyata DKP tidak jadi hilang!
Begitulah Gus Dur, guru bangsa yang menatap objektif realitas Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan, yaitu setia membelanya, baik dengan kekuasaan maupun senyuman.
Selamat Jalan Gus Dur!
Sumber: santrigusdur.com