Mengingat Kembali Riyanto

Namanya Riyanto, nama yang mungkin baru dikenal banyak orang setelah kisahnya diangkat ke layar lebar. Film berjudul “?” (Tanda Tanya) yang rilis pada tahun 2011 itu menceritakan sedikit dari perjuangan pahlawan bernama Riyanto. Pada tanggal 24 Desember tahun ini, tepat 20 tahun perayaan kematiannya. Tidak ada yang mengira bahwa pada malam natal tahun 2000 itu menjadi malam terakhir dia bertugas.

Sedikit kisah tentang Riyanto, secara umum kehidupannya berjalan seperti pemuda pada umumnya. Dia bekerja sebagai buruh timbang di koperasi, yang jauh dari kejayaan harta. Riwayat pendidikannya pun jauh dari kata berprestasi, dia hanya seorang lulusan SD. Namun pemuda itu memiliki nilai berharga yang tak dimiliki orang lain, kekayaan akan cinta kasih, toleransi, dan rasa kemanusian yang besar. 

Pada malam Natal 2020, dia yang tergabung dalam kelompok Barisan Ansor Serbaguna (Banser) NU, melakukan tugas mulia yang biasa dilakukan. Riyanto bersama tiga rekannya melakukan penjagaan malam natal bersama kepolisian di Gereja Eben Haezer Mojokerto. Pada awalnya, perayaan Misa Natal berjalan lancar. Sampai pukul 20.30 WIB setelah salah satu jemaat mencurigai sebuah bingkisan di dalam gereja.

Riyanto yang berada ditempat kejadian, tak banyak berpikir dan membuka bingkisan tersebut. Setelah dibuka ternyata bingkisan tersebut berisi kabel yang terhubung pada bom. Riyanto yang mengetahui ada bom di genggamannya, dia tentu bingung dan berada pada kondisi dilematis, di satu sisi dia tak ingin panik dan mengganggu jemaat gereja yang sedang khusuk beribadah. Namun di sisi lain dia sedang menghadapi bahaya besar dan mempertaruhkan nyawanya. 

Tanpa mengganggu jemaat yang sedang beribadah, dia langsung memeluk bingkisan dan membawanya lari menjauh keluar gereja. Namun nahas bom itu meledak sebelum sempat dibuang. Riyanto gugur malam itu di medan perjuangan, dan sekaligus mengakhiri tugasnya di dunia yang fana, dan menikmati singgasana yang indah di surga. Sebagai manusia normal, dia mungkin bisa saja memilih istirahat dan tidur nyenyak di rumahnya, namun dia lebih memilih mengorbankan waktunya demi membantu saudara-saudaranya. 

Riyanto 20 tahun lalu, sosok yang tidak mengenal sekat ras, budaya, dan agama. Sebagai lulusan sekolah dasar, tidak banyak pula pengetahuan yang ia punya dibandingkan seorang sarjana. Namun yang ia ketahui bahwa sesama manusia tidak boleh saling membunuh, sesama manusia harus saling menolong. Hanya pelajaran dasar itu yang dia pahami dan diterapkan benar, sampai ujung hayatnya. 

Pahlawan kecil itu telah berpulang 20 tahun lalu, kini yang tersisa hanya namanya yang diabadikan sebagai nama sebuah gang di Mojokerto. Sebuah penghargaan yang tentu tak seberapa dengan jasanya. Tapi setumpuk penghargaan pun tak mungkin dia harapkan, karena memang Riyanto mengabadikan dirinya dalam toleransi dan kemanusiaan.

Seandainya dia masih hidup sampai sekarang, mungkin hatinya hancur melihat Indonesia saat ini. Dia pasti menangis mendengar kabar dari Sigi, Sulawesi Tengah. Dimana manusia saling membunuh dengan alasan yang tentu tidak dibenarkan. Dia pasti menangis melihat para politisi menjual agama dalam Pemilu. Rasanya, memang benar kini kau telah berpulang, dunia ini terlalu jahat bagi manusia mulia seperti mu.

Dialah Riyanto, sosok pahlawan yang tidak pernah mendapat gelar pahlawan kebanggaan. Dialah pahlawan sederhana yang kini hanya bisa kita kenang dari nama jalan, foto, dan film layar lebar. Semoga kau tenang dalam tujuan akhirmu, semoga Indonesia dapat belajar dari nama sederhanamu dalam memahami pelajaran tentang toleransi dan kemanusiaan.

GUSDURian Mojokerto.