Ajaran Tasawuf dalam Laku Gus Dur

Pesantren sebagai awal perjalanan sang guru bangsa merupakan komunitas tradisional yang serba sederhana dan terbatas. Kesederhanaan pesantren bukan hanya pada perilaku keseharian namun juga gaya hidup, cara berpikir hingga cara pemecahan sebuah permasalahan. Keterbatasan pesantren juga dirasakan warganya karena menjalani kehidupan dalam niatan belajar sehingga pergaulan tidak jauh layaknya lembaga pendidikan lainnya.

Kesederhanaan dan keterbatasan pesantren tersebut secara realita adalah hambatan belajar bagi warganya, namun dalam kaca pandang pesantren justru motivasi yang kuat untuk mengenal dunia secara universal. Kesederhanaan dan keterbatasan yang awalnya dipahami sebuah kelemahan, kelak akan menjadi modal kuat sang guru bangsa dalam menjalani perjalanan hidupnya dengan penuh hikmah. Perjalanan hidup sang guru yang dimulai dari sebuah kesederhanaan dan keterbatasan berakhir dengan kecintaan, kebahagiaan dan keluasan makna, sebuah inspirasi tanpa henti.

Kaca pandang pesantren dalam hal ini sebut saja motivasi dalam kitab Al-Hikam Ibn Atha’illah: ”Idfin wujudaka fil ardh al-khumul”, benamkanlah eksistensimu dalam tanah kerendahan, adalah bentuk motivasi yang di dalamnya tersirat kerja keras. Pemaknaan syarah/penjelas dalam kalimat tersebut diibaratkan penanaman kurma di padang pasir yang bijinya ditindih dengan batu agar ketika tumbuh akarnya kuat mencengkeram tanah. Kekuatan akar dalam belajar menjadi prioritas utama di pesantren agar kelak ketika para santri terjun di masyarakat tidak gampang roboh dan goyah atas terpaan ragam coba dan godaan berbagai uji. Motivasi yang didasarkan atas kesederhanaan dan keterbatasan tersebut melekat kuat di jiwa para santri yang mempengaruhi cara pandang hidupnya, baik beragama, berbangsa dan bernegara. Motivasi itu yang tampak dalam diri Abdurrahman Wahid, santri sederhana dan serba terbatas namun memiliki akar keyakinan yang kuat hingga mengantarkannya pada cita-cita menjulang untuk kepentingan umat manusia bukan dirinya semata.

Melihat sosok Gus Dur dari potret pesantren akan ditemukan sosok pribadi santri yang mengamalkan kitab akhlak karangan kakeknya Adabul Alim wal Muta’alim. Sebagai panduan belajar dan mengajar kitab Adabul Alim juga berisi karakteristik guru ideal yang tentu menjadi pedoman praktik kehidupan bagi para pengkajinya. Pedoman kehidupan itu tersertakan dalam jargon yang selalu digaungkan dalam pengkajiannya,”Apa pun pekerjaanmu tetaplah menjadi seorang guru”. Jargon tersebut menyiratkan bahwa guru bukan sekedar profesi namun kehidupan itu sendiri, dan ini didapati pada sosok Gus Dur. Karakteristik seorang guru dalam Adabul Alim meliputi: muroqobah, khauf, sakinah, wira’i, tawadlu’, khusyu’, tawakal, zuhud, dan qona’ah. Kesembilan sifat tersebut yang menjadi pesan Mbah Hasyim kepada para santrinya untuk dijadikan amaliyah yang melekat pada sosok santri.

Muroqobah yang memiliki makna mendekat ini diartikan dengan perilaku yang disandarkan atas pengawasan Allah atas diri manusia. Pola perilaku yang disandarkan atas pengawasan Allah ini akan banyak kita saksikan pada pribadi Gus Dur, bagaimana segala tindaknya didasarkan pada nilai-nilai kejujuran dan keterus-terangan. Persaksian yang menuduh Gus Dur melakukan tindak pidana korupsi pun berhenti tanpa bukti, hal ini mengindikasikan bahwa laku muroqobah Gus Dur sangat lekat pada perilaku kesehariannya, baik dalam urusan pekerjaan maupun pergaulan politisnya. Laku muraqabah ini pula yang mendasari Gus Dur begitu dekat di hati mereka yang tertindas dan terpinggirkan karena upaya pembelaan yang dilakukan Gus Dur dilakukan dengan tulus tanpa pamrih, itu yang dirasakan mereka yang dibelanya.

Khauf makna aslinya takut, namun takut hanya kepada Allah adalah penjelas berikutnya dari kata ini. Laku khouf juga menjadi pesan utama dalam perjuangan seorang muslim, yakni perjuangan tanpa mengenal takut kecuali kepada Allah semata. Makna khouf yang demikian mengingatkan kita akan sepak terjang Gus Dur dalam perjuangannya membela kaum minoritas, tanpa takut, tanpa mundur, tanpa berhenti meski resiko dan rintangan amatlah besar dan tajam namun langkah itu terdengar tegap bahkan sampai sekarang. Mencari padanan pejuang yang tidak mengenal takut tentu amatlah jarang, karena laku khouf ini merupakan manifestasi dari kuatnya keyakinan dan tebalnya ghirah (semangat) perjuangan, tanpa itu langkah mundur akan selalu menjadi pilihan. Semakin takut kepada Allah maka semakin berani dalam menegakkan kebenaran dan keadilan, itu terdapat dalam pribadinya, sosok pribadi pemberani dalam melawan oligarki.

Sakinah berarti tenang merujuk pada pendapat al-Jurjani makna sakinah lebih kepada ketenteraman hati pada saat datangnya sesuatu yang tidak diduga karena berdasar keyakinan atas diri dan kebenaran yang dipegangnya. Para asatidz (para ustaz) di pesantren lebih menyamakan sakinah dengan kata rahmah dan thuma’ninah, artinya tenang dan tidak gundah dalam melaksanakan ibadah.

Gus Dur seperti yang kita saksikan adalah sosok yang tenang dalam menerima berita apa pun terkait dengan dirinya terlebih berita buruk sekali pun, ini menunjukkan laku sakinah telah membudaya dalam kehidupannya. Pembawaannya yang jenaka dan humoris merupakan pancaran laku sakinah yang telah mendarah daging sehingga topan badai perpolitikan, perbedaan, dan permusuhan tidaklah menjadikannya gontai dan ragu dalam memegangi kebenaran yang diyakininya.

Wira’i merupakan salah satu sifat dalam maqomat tasawuf yang tercantum dalam Adabul Alim sebagai karakter guru yakni sifat menjaga diri atau bertakwa. Sekian definisi wira’i bisa secara umum diartikan sebagai malu berbuat maksiat kepada Allah dan manusia, suatu sikap menjauhkan diri dengan hal-hal yang haram dan syubhat. Sifat wira’i ini pula yang melekat pada sifat zuhud yakni tidak berlebihan terhadap dunia serta qona’ah, suatu sikap yang menerima ketentuan Allah dengan penuh lapang tanpa beban. Ketiga sifat tersebut tentulah didapati pada sosok pribadi Gus Dur yang dalam hal-hal unik akan kita temukan, mulai dari tidak punya uang sampai harus meminjam hingga tak memiliki dompet layaknya orang pada umumnya. Sifat yang terakumulasi dari ketiga sifat tersebut lebih dari sekedar ciri fisik yang terlihat namun memancar melalui ketulusan dalam berjuang dan mendampingi mereka yang terkucil dan terpinggirkan saat yang lain mundur dengan berbagai alasan, Gus Dur senantiasa tegar meski dengan berbagai kecaman.

Perpaduan berikutnya adalah sifat khusyu’ dan tawakal, yakni ciri fokus dan menyerahkan semua hasil kepada Allah setelah berusaha secara maksimal adalah ciri yang amat melekat pada pribadi Gus Dur. Kedua sifat tersebut menjelaskan pribadi Gus Dur menjadi sosok yang sangat fokus pada tujuan perjuangan meski dengan cara yang tidak mudah ditebak. Meski banyak yang melabeli Gus Dur dengan pandangannya yang jauh akan sebuah rencana masa depan namun para pengkaji langkah-langkah perjuangan beliau akan menemukan detil-detil fokus tersebut pada taktik dan strateginya. Kefokusan dalam langkah dan strategi tersebut kemudian ditutup dengan kalimat “begitu aja kok repot” sebagai bentuk tawakal khas santri, bahwa perjuangan dengan kesungguhan pun tidak selalu sesuai dengan ekspektasi untuk itu serahkan segala hasilnya kepada Allah semata.

Kesekian nilai tersebut adalah ungkapan seorang murid sederhana dan penuh keterbatasan ilmu dalam mengamati karakter guru yang melekat pada sosok guru bangsa. Karakter guru yang secara turun temurun lakunya didapati pada kakek dan bapaknya. Karakter yang mengingatkan pada seluruh pencintanya bahwa nilai-nilai yang terwariskan darinya tak akan lekang termakan zaman. Karakter yang menyiratkan sebuah perjuangan yang tidak boleh padam, layaknya penjaga api perjuangan para generasi penerusnya senantiasa dituntut mengaca pada karakter tersebut. Karakter yang menghidupkan nyala cinta pada sesama tanpa memandang perbedaan ras, suku, dan agama. Karakter yang mengajarkan cinta dalam kebhinekaan Indonesia.

Sumber: alif.id

Penulis tinggal di Tebuireng, Jombang.