Awalnya makanan, lama-lama kosmetik, kemudian barang tak habis pakai seperti kulkas pun ikut disertifikasi halal supaya dapat stempel produk islami.
Tak sedikit kita lihat produk-produk yang diafiliasikan dengan identitas keagamaan belakangan ini. Dalam syariat Islam, telah lumrah pengelompokan makanan dan minuman berdasarkan halal-haram sejak ratusan tahun lalu. Muslim diperintahkan untuk mengonsumsi makanan yang halal saja dan meninggalkan yang haram. Kini, konsep halal-haram telah meluas. Halal-haram tidak lagi digunakan untuk mengelompokkan makanan saja, tapi juga untuk barang-barang nonpangan. Mulai dari kulkas bersertifikasi halal sampai sandal juga ikut dilabeli halal. Halalisasi produk ini semakin meluas menjadi fenomena penempelan identitas islami di kluster-kluster perumahan.
Saya tumbuh besar dan tinggal di pinggiran ibu kota. Tempat jutaan warga yang menyangga ibu kota bernaung. Sejak beberapa dekade belakangan memang terjadi pertumbuhan penduduk yang cukup dahsyat di pinggiran Jakarta. Fenomena ini merupakan efek bola salju yang tak terpisahkan dari model pembangunan sentralistik sejak era orde baru. Perumbuhan penduduk tentu mendatangkan sebuah konsekuensi, yaitu peningkatan kebutuhan rumah sebagai kebutuhan primer manusia.
Karena masalah kriminalitas dan budaya rumah tapak yang mengakar di masyarakat, model perumahan kluster cukup mendulang cuan bagi pengembang perumahan. Saya telah melihat banyak kluster mulai dibangun sejak dahulu. Namun, saya terkejut ketika melihat identitas keagamaan ikut ‘ditempel’ demi memuluskan penjualan real estate terutama kluster-kluster perumahan. Identitas keagamaan yang ‘ditempel’ wujudnya seperti pelabelan perumahan ‘syariah’ atau perumahan ‘halal’. Ditambah lagi dengan penamaan perumahan atau tipe rumah yang sarat dengan unsur-unsur ‘Arab’ atau ‘kearab-araban’, padahal belum tentu islami.
Ketika saya amati, secara desain, interaksi sosial, apalagi falsafah pembangunan, saya gagal menemukan perbedaan antara kluster perumahan yang diberi identitas islami dengan kluster perumahan biasa. Seolah, sama-sama saja konsepnya. Konsep rumah tapak yang cenderung eksklusif dan dipagari (gated community) serta terletak di pinggiran kota (suburban) adalah template lama yang sudah direplikasi oleh banyak perumahan tipe kluster lainnya. Perbedaan-perbedaan yang saya temukan hanyalah pada penamaan yang islami dan ornamen serta dekorasi ala Timur Tengah yang seringkali tidak kontekstual dengan lingkungan sekitar. Saya tidak dapat menemukan nilai-nilai luhur islami mewujud secara konkret.
Ketika seorang bayi lahir ke bumi, bayi itu lumrahnya akan diberi nama. Kelak ketika besar nanti, nama diharapkan sebagai pembeda antara si bayi dengan orang selain ia. Jadi ketika ia dipanggil, ia akan menoleh ke arah orang yang memanggil karena nama dia adalah identitas yang membedakannya dengan orang lain. Nama mewakili seluruh jiwa dan raga kita yang utuh termasuk watak, sifat, dan segala hal lain yang diatribusikan kepada diri kita. Lantas, nama yang disematkan ke perumahan beridentitas islami tersebut mewakili atribut apa? Saya sangat menyayangkan betapa nilai-nilai islami yang rahmatan lil’ alamin jarang diwujudkan dalam perumahan ‘islami’ dan kelihatannya sama-sama saja dengan perumahan lainnya. Maka, demi menjawab kegundahan ini, saya menelaah berbagai literatur.
Professor Ariel Heryanto, dalam bukunya Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia, mengemukakan mengenai indikasi gelombang islamisasi masyarakat kelas menengah Indonesia sejak era 2000-an awal sampai tahun 2012. Prof. Heryanto menemukan indikasi ini melalui kajian riset kebudayaan, salah satunya melalui film. Menurut Prof. Heryanto, tren ‘islamisasi’ ini telah melalui proses panjang dan tidak terjadi secara tiba-tiba. Namun, Prof. Heryanto berhasil dengan cermat mendeskripsikan tren afiliasi identitas suatu kelompok masyarakat dengan identitas keagamaan. Beberapa tahun setelah buku Identitas dan Kenikmatan dirilis, kita dapat mengamati fenomena ‘islamisasi’ dengan lebih kentara.
Pada tahun 2019, BBC merilis artikel yang membahas mengenai perumahan islami di Indonesia yang berjudul “Perumahan dan permukiman syariah: Ancaman bagi toleransi dan budaya lokal?“. BBC meliput perumahan ‘syariah’ dan pihak pengembang mengakui bahwa memang ada tren kecenderungan rumah tapak dengan sistem kluster yang beridentitas islami lebih diminati.
Secara moral, saya tidak akan membahas soal benar-salah dari model pemasaran seperti ini. Saya lebih tertarik untuk membahas mengenai konsep dan desain dari perumahan beridentitas islami ini. Bagaimanakah implementasi dan perwujudan identitas islami dan nilai-nilai yang terkandung dalam Islam dibangun sebagai hunian?
Pengembaraan saya berujung menemukan jurnal internasional yang mendeskripsikan kota-kota islami dan arsitektur islami di dalamnya. Sebelum masuk lebih jauh, kita perlu sepakat mengenai definisi arsitektur islami karena tidak semua hal yang dibangun oleh muslimin adalah islami. Palmer (2009) mendefinisikan arsitektur islami sebagai segala konstruksi, baik bangunan sekuler maupun bangunan religius, yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip nilai Islami.
Arsitektur islami terus berkembang sesuai zaman dan senantiasa kontekstual dengan lingkungannya. Namun, senantiasa ada nilai-nilai yang diemban dalam arsitektur islami. Salah satu prinsip yang paling utama mewujud dalam kota-kota islami terdahulu adalah prinsip ‘La dharar wa la dhirar’ yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah (Hakim, 2013). Jika diartikan secara bebas, artinya adalah jangan memberikan kemudharatan bagi diri sendiri dan jangan membawa kemudharatan bagi orang lain. Dalam konteks ini, kemudharatan juga diartikan sebagai jangan menyakiti, membahayakan, mencelakai, mempersulit, atau membuat kerusakan baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.
Prinsip ‘La dharar wa la dhirar’ akhirnya mewujud menjadi berbagai elemen arsitektur yang tidak hanya mementingkan diri sendiri tapi juga memikirkan kenyamanan dan keamanan tetangga serta lingkungan sekitarnya. Prinsip ini lantas mewujud menjadi berbagai nilai dan norma yang diterima komunitas muslim. Contohnya, hak bersama untuk mendapatkan air, udara, sinar mentari, ventilasi, dan privasi harus terjamin dan tidak boleh diganggu. Tak berhenti di sana, prinsip tersebut juga mewujud menjadi larangan untuk meletakkan halangan di jalan. Segala hal yang dirasa menyulitkan pengguna jalan sebisa mungkin disingkirkan. Harusnya, prinsip tersebut dapat dikontekstualisasikan di kota-kota Indonesia dengan penyediaan ruang jalan yang berkeadilan bagi seluruh pengguna, tidak hanya memberi prioritas untuk kendaraan bermotor seperti yang lumrah kita lihat.
Bila kita berkaca pada realita permukiman di Indonesia sekarang ini, berapa banyak konflik pengguna jalan yang merasa terganggu dengan mobil warga yang parkir di badan jalan? Konflik seperti ini adalah mudharat yang ingin dihindari dari prinsip ‘La dharar wa la dhirar’. Maka timbul pula pertanyaan, apakah kompleks perumahan beridentitas islami telah mewujudkan hak pengguna jalan yang setara? Seperti menyediakan trotoar dan berbagai fasilitasnya bagi pengguna jalan yang melintas di depan pagar komplek yang tinggi dan mengintimidasi. Apakah komplek beridentitas islami telah memberikan akses yang setara bagi pejalan kaki dan pesepeda yang melintas melalui kompleks dan merasa aman dari pengguna mobil dan motor yang lebih cepat?
Rabah Saoud menulis mengenai prinsip arsitektur islami dalam jurnalnya. Saoud menemukan bahwa ada penekanan dalam aspek kesederhanaan yang mewujud dalam arsitektur islami. Arsitektur islami selalu identik dengan eksterior dan fasad yang sederhana sampai-sampai antarrumah terlihat mirip. Saoud menulis ada dua alasan dari kesederhanaan ini. Alasan pertama berkaitan dengan privasi penghuni. Saoud merujuk pada tulisan Edwards, dkk. yang menyebutkan mengenai “the architecture of the veil” alias arsitektur yang menyerupai tudung atau cadar. Alasan kedua berkaitan dengan ikatan sosial dan rasa persatuan antarumat yang sering disebut sebagai ukhuwah. Hubungan antar tetangga dapat terjaga dengan bentuk rumah yang sederhana dan tidak bermewah-mewahan. Rumah yang terlihat sederhana dari luar mengurangi gesekan sosial antara si miskin dan si kaya (Saoud, 2014). Aspek ini berkaitan erat dengan prinsip qanaah dan tasamuh yang ditekankan oleh Baginda Nabi Muhammad SAW.
Bila kita kembali berkaca pada perumahan beridentitas islami di Indonesia, berapa banyak prinsip-prinsip ini yang sudah tidak lagi sejalan? Perumahan yang kini menjamur malah membangun pagar yang tinggi dan memisahkan antara ‘yang luar’ dan ‘yang dalam’. Tak jarang, pagar tersebut membuat segregasi yang kentara antara ‘si miskin’ dan ‘si kaya’ demi menjawab masalah keamanan semata. Ditambah lagi dengan bentuk rumah yang megah, boros ruang, serta tidak mengindahkan keseimbangan ekologis seperti penyerapan air. Lucunya, rumah-rumah tersebut dihias dengan ornamen-ornamen ala timur tengah seperti mosaik keramik di luar rumah bahkan taman yang ditanami pohon palem dan kurma yang jelas-jelas tidak kontekstual dengan tapak sekitar.
Kota-kota islami terdahulu selalu dibangun menyesuaikan dengan tapak sekitar dan menyelesaikan masalah-masalah yang ada. Bukankah lebih baik bila perumahan-perumahan islami di Indonesia menyesuaikan dengan konteks yang lebih bermanfaat bagi kondisi masa kini? Gagasan-gagasan seperti mengurangi luas bangunan dan membuat sumur serapan air, menghias taman-taman dengan tanaman buah dan sayur komunal yang produktif, desain perumahan yang rendah karbon, ventilasi yang baik untuk mengurangi penggunaan AC demi mencegah pemanasan global harusnya dapat menjadi nilai unik yang kontekstual bagi peradaban manusia saat ini.
Alangkah baiknya, bila prinsip-prinsip islami dapat mewujud dengan kontekstual dalam perumahan beridentitas islami. Harapannya, perumahan-perumahan beridentitas islami dapat menjadi contoh bagi perumahan-perumahan lainnya dan mengubah paradigma pembangunan yang selama ini bernuansa eksklusif menjadi pembangunan yang adil dan egaliter sehingga dapat mengakomodasi budaya kekeluargaan yang selama ini ditanam dalam identitas bangsa. Perumahan beridentitas islami harusnya dapat mewujudkan nilai-nilai rahmatan lil’ alamin dalam setiap elemen di dalamnya dan menghasilkan eksternalitas yang positif bagi sekitarnya. Jangan sampai, penempatan identitas islami di perumahan-perumahan kelas menengah ini tak mewujud dalam desainnya apalagi jauh dari nilai-nilai islami.
Barangkali, kebaikan yang kita wujudkan dalam hunian kita akan kembali kepada diri kita bila kita berpikir lebih luas dari diri kita dan senantiasa bertasbih pada Allah atas indahnya ciptaannya melalui amal perbuatan yang menjaga kelestarian alam.
Sumber: alif.id