Pada 26 Februari 2021, Universitas Malikussaleh (Unimal) melakukan kegiatan pemberian sertifikat penghargaan kepada KH Abdurrahman Wahid sebagai Presiden Keempat Republik Indonesia yang ikut berjasa dalam kegiatan penegerian Unimal pada 2001. Kegiatan ini merupakan agenda yang tertunda terkait dengan perayaan 51 tahun Unimal pada 12 Juni tahun lalu. Unimal menjadi perguruan tinggi negeri pada 1 Agustus 2001.
Penyerahan piagam penghargaan dan sketsa wajah Gus Dur itu diterima langsung oleh Allisa Qotrunnada Munawaroh Wahida atau Allisa Wahid, anak sulung almarhum, dan didampingi adik-adiknya di Hotel Millennium, Jakarta. Sayang, Bu Sinta Nuriyah tidak bisa ikut mendampingi karena harus menjaga diri dari dampak Covid-19 yang masih menggejala.
Dimensi keadilan
Kegiatan itu menjadi upaya memorialisasi Gus Dur, yang memang memiliki banyak jejak perdamaian dan demokrasi di Indonesia. Selama ini peran Gus Dur banyak diingat sebagai tokoh pluralisme dan multikulturalisme, dua hal yang semakin kering secara substansial saat ini meskipun secara instrumental terus dirayakan, tetapi ia kurang diingat karena jasa-jasanya di bidang pendidikan.
Padahal, upaya Gus Dur memajukan pendidikan, terutama pendidikan tinggi, juga dilakukan tanpa retorika. Sikapnya menyetujui proposal penegerian Unimal, sebuah kampus swasta yang sedang terpuruk akibat terbukanya konflik Aceh, dilakukan tanpa proses administrasi yang rumit.
Sumbu bara konflik Aceh memang paling menganga di wilayah Lhokseumawe-Aceh Utara, di samping Pidie dan Aceh Timur. Daerah itu termasuk paling deras merasakan dampak kekerasan dan teror akibat pemberlakuan daerah operasi militer (DOM) sehingga dunia pendidikan di Aceh merosot drastis.
Jejak perdamaian Gus Dur untuk menyetujui proposal penegerian perguruan tinggi di Aceh sama seperti ia menyetujui proposal penegerian Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) dan Universitas Trunojoyo Madura (UTM). Tanpa visi humanismenya yang tinggi, tidak akan mungkin lahir sikap untuk menegerikan kampus yang secara portofolio masih kurang layak.
Jika penegerian Unimal dianggap sebagai bagian dari solusi perdamaian dan rekonsiliasi Aceh, penegerian Untirta dan UTM ialah bagian untuk memastikan bahwa marginalitas masyarakat Baduy dan Madura tidak terjadi lagi di era reformasi. Di masa Orba, represi atas kelompok masyarakat marginal, baik melalui skenario kebijakan ataupun institusionalisasi militerisme, dianggap tak layak lagi dilanjutkan. Bagi Gus Dur, membangun kesetiaan berbangsa tidak mungkin diwujudkan dengan tekanan dan represi, tapi dengan memberikan keadilan (Suaedy, 2018 :7).
Sebagaimana ungkapan Gus Dur yang sangat terkenal, “Tanpa keadilan, perdamaian hanya menjadi ilusi,” tidak ada jalan memikat hati masyarakat yang pernah terluka seperti Aceh, Papua, Riau, Madura, dsb, kecuali dengan memberikan hak, yaitu air bening keadilan dalam wujud rekognisi identitas, rekonsiliasi, dan pemulihan kultural untuk menghilangkan dahaga inferioritas, depresi, dan marginalitas mereka.
Prinsip state-centric yang diterapkan di masa lalu sama sekali tidak dipilih Gus Dur meskipun hal itu tidak mudah karena mapannya sistem dan ideologi ‘serbanegara’ tertanam dalam tubuh negara dengan tata pemerintahannya. Hal yang paling kentara dari state-centric ialah pengelola negara, yaitu pemerintah, sebagai negara itu sendiri sehingga mengkritik pemerintah disamakan dengan menghina negara.
Kebanggaan
Apa yang dilakukan Gus Dur dengan menerima proposal dari kalangan ulama Aceh, di antaranya dari Abu Panton (Tgk Ibrahim Bardan), Abu Ibrahim Woyla, Waled Marhaban, Buya Bukhari, dan Tu Bulqaini, untuk menegerikan Unimal telah memberikan hasil. Dari sebuah kampus yang tidak pernah dipandang, dari sebuah kampus yang mahasiswanya kurang dari 1.000 orang, dan kalah pamor jika dibandingkan dengan dua PTN di Aceh yang lebih dulu menyejarah, kini Unimal telah tumbuh sebagai salah satu kampus PTN yang berprestasi.
Unimal saat ini dari data Webometric Ranks berada di urutan 40 terbaik nasional, dengan jumlah mahasiswa 22 ribu. Unimal juga menjadi PTN satker yang menjadi penerima kartu Indonesia pintar (KIP)-kuliah tertinggi nasional. Demikian pula klaster penelitian melompat dari ‘binaan’ menjadi ‘utama’. Hal ini menunjukkan kepercayaan Gus Dur pada masa lalu telah terikat prestasi di hari ini, dengan tetap teguh sebagai kampus rakyat.
Untirta juga menjadi kampus PTN yang dinegerikan pada 2001 dengan daya pacu tinggi kemajuannya. Sebelum dinegerikan, Untirta hanya sebuah PTS yang kurang signifikan, tetapi kini telah menjadi kampus besar di Provinsi Banten. Bahkan, Untirta telah memiliki nilai akreditasi A untuk institusi berdasarkan keputusan BAN-PT Nomor 364/SK/BAN-PT/Akred/PT/XII/2018.
Demikian pula UTM, telah menjadi kampus kebanggaan masyarakat Madura yang mulai bersaing dengan perguruan-perguruan tinggi di Jawa Timur dan Indonesia bagian timur. Tanpa kepercayaan untuk memberikan kesempatan, apa yang terjadi hari ini tidak mungkin menjadi lompatan besar.
Apa yang dilakukan Gus Dur untuk dunia pendidikan sebenarnya sinergis dengan perannya dalam mengelola tata kepengurusan diri potensi lokal, dari masyarakat yang baru keluar dari situasi represif dan despotisme. Dengan mengutip pandangan ahli pendidikan dari Brasil, Paolo Freire, Gus Dur menganggap berpendidikan ialah proses untuk mengembangkan kecerdasan dan bukan semata akumulasi jenjang pendidikan dan kuantifikasi gelar. Pengembangan kecerdasan berarti memupuk harapan untuk bisa meraih kebahagiaan dan memecahkan banyak misteri dalam kehidupan.
Proses pendidikan sangat berhubungan dengan penguatan status kewarganegaraan. Konsep itu sebenarnya menjadi nadi dalam menelusuri darah Indonesia yang bineka. Namun, sayangnya dalam praktik diskursif yang terjadi di dunia pendidikan ialah homogenisasi dan hegemonisasi sehingga semakin sulit melihat keberagaman yang sesungguhnya, seperti yang terjadi di kasus jilbab bagi nonmuslim di Padang demi terlihat seragam dengan siswa muslim lainnya. Pendidikan ialah empati kepada minoritas, dengan merayakan keberagaman budaya sebagai sikap toleran, welas asih, dan saling menghormati identitas.
Warisan Gus Dur memberikan harapan kepada ‘kampus-kampus yang tidak terlihat’ di antara kampus-kampus ternama ialah sikap yang bisa kita samakan dengan konsep ‘Kampus Merdeka, Merdeka Belajar/KMMB’ pada era sekarang. Pendidikan harus membangun kultur bagi pendidik dan peserta didik untuk menghilangkan perasaan takut, sambil terus mengambil jarak pada situasi yang bisa meremukkan kebebasan itu sendiri. Pendidikan harus bisa membentengi masyarakat dari korosi kekuasaan, baik oleh negara maupun dunia industri yang membuat masyarakat menjadi tiada.
Tantangan inilah yang harus diingat terkait dengan sejarah 20 tahun kampus PTN yang dinegerikan Gus Dur pada era vivere pericoloso itu. Yang penting dilakukan adalah mengingat jasa baik beliau dengan mengonteksualisasikan sembilan nilai utama Gus Dur dalam dunia pendidikan, antara lain ketauhidan, kemanusiaan, kesetaraan, dan keadilan untuk 20 tahun, bahkan 200 tahun ke depan.
Sumber: mediaindonesia.com