Jaringan GUSDURian bersama INFID (International NGO Forum on Indonesian Development) mengadakan pertemuan media pada Selasa, 23 Maret 2021. Pertemuan tersebut diadakan dalam rangka peluncuran “Survei Persepsi dan Sikap Generasi Muda terhadap Intoleransi dan Ekstremisme Kekerasan di 6 Kota”.
Acara diisi oleh beberapa narasumber seperti Ahmad Zainul Hamdi (Koordinator Penelitian), Suraji (Manajer Program Jaringan GUSDURian), Dr. Ninik Rahayu (Taprof Lemhannas RI), Muhammad AS Hikam (Pengamat Politik & Penasihat INFID), dan Ika Ningtyas (Sekjen AJI). Sedangkan Sugeng Bahagijo (Direktur Eksekutif INFID) menjadi pembuka pertemuan dan Kalis Mardiasih (Pegiat Toleransi) sebagai moderatornya.
Survei ini dilakukan tahun 2020, yaitu pada November-Desember di 30 kecamatan di 6 kota, yang meliputi Bandung, Makassar, Solo, Surabaya, Jogja, dan Pontianak. Penelitian tersebut melibatkan responden sebanyak 1.200 orang.
Sebelumnya, Jaringan GUSDURian bersama INFID juga pernah melakukan survei yang sama pada 2016 lalu. Pada survei tahun 2016, ditemukan hasil kurang dari 5% responden anak muda yang semangat mendukung intoleransi dan ekstremisme. Sedangkan survei kali ini dilakukan untuk mengukur tren yang berkembang selama empat tahun terakhir terkait persepsi dan sikap anak muda.
“Survei kali ini hendak melihat apakah ada perbedaan atau persamaan. Sejauh mana trennya?” ungkap Sugeng Bahagijo dalam pembukaan acara. “Survei ini bisa menjadi gambaran mikro Indonesia 2024, pilihannya ke mana? Apakah para pemilih muda akan percaya pada politik identitas atau sebagian besar percaya pada kebangsaan Indonesia dan persatuan Indonesia? Ini akan bisa menjadi salah satu indikatornya,” lanjutnya.
Presentasi lebih lengkap tentang hasil survei yang dilakukan dipaparkan oleh Ahmad Zainul Hamdi selaku koordinator penelitian. Pria yang akrab disapa Dr. Inung tersebut mengemukakan beberapa temuan hasil penelitian di lapangan.
“Kami menemukan kecenderungan yang sama, baik di tahun 2016 maupun 2020. Yaitu, selalu ada jarak yang menganga antara sikap tegas menolak kekerasan dan sikap yang mulai abu-abu ketika masuk ke dalam isu intoleransi,” terang Dr. Inung. “Sekalipun demikian, ketika ditanya apakah setuju dengan toleransi, angka persetujuan itu tinggi sekali. Tapi ini hanya persetujuan normatif. Kalau kita breakdown menjadi beberapa pernyataan untuk mengukur intoleransi mereka, hasilnya mulai problematik.”
Sejalan dengan itu, Muhammad AS Hikam memberi respons terkait hasil penelitian yang dipaparkan oleh Dr. Inung. “Saya melihat hasil ini sebagai peringatan ya. Bahwa ada perkembangan-perkembangan yang perlu diperhatikan dalam rangka menyikapi ekstremisme berbasis kekerasan ini.”
Di sisi lain, Dr. Ninik Rahayu mengaitkan hasil penelitian ini dengan SKB 3 Menteri yang muncul akibat kasus intoleransi di sekolah. Dr. Ninik menyampaikan, “Survei INFID ini, dalam konteks pertahanan nasional, semakin memperkuat sisi positif dari dikeluarkannya SKB 3 Menteri. Karena SKB 3 Menteri masih mendapat tantangan. Hasil survei ini bisa menjadi background untuk memperkuat bagian dari respons cepat atas keresahan masyarakat di berbagai wilayah terkait simbol identitas keagamaan tertentu yang diwujudkan dalam seragam sekolah.”
Melihat persepsi dan sikap anak muda terhadap intoleransi dan ekstremisme tidak terlepas dari pengaruh media. Ika Ningtyas menjelaskan secara luas tentang peran media, terutama media sosial terhadap anak muda. “Survei ini menunjukkan bagaimana media meng-cover isu-isu intoleransi dan ekstremisme kekerasan yang kemudian dikonsumsi oleh generasi muda dan membentuk persepsi dan sikap mereka,” terang Sekjen Aliansi Jurnalis Indonesia tersebut.
Acara yang berlangsung dari jam 14.00-16.00 WIB itu tayang secara live di kanal Youtube dan Zoom INFID. Dalam akhir acara, Suraji menutupnya dengan harapan bahwa hasil survei ini bisa menjadi landasan untuk berbagai rencana yang akan datang. “Kami memandang survei yang kita lakukan ini betul-betul memberikan basic informasi bagaimana melangkah ke depan.” (MP)