Di balik perayaan tahunan RA Kartini lalu, masih saja ada yang skeptis: memangnya jasanya apa? Wong cuma buat surat? Ia saja meninggal di usia muda, bahkan ia sendirilah yang tertindas oleh budaya patriarki, coba bandingkan Kartini dengan pahlawan dengan Cut Nyak Dien misalnya.
Itu baru sebagian, di antara lautan orang yang memperingati hari Kartini dengan suka cita, sinisme tentangnya justru berjejalan di lini masa. Seakan tak sedikit pun tercuil rasa empati bahwa jiwanya terkorbankan oleh banyaknya impian yang tergadaikan.
Maka, saya ingin sekali berbalik tanya pada mereka yang meragukan jasa Kartini terlepas dari strategi politik yang dijalankan oleh pemerintah Belanda. Tahukah Anda, bahwa perjuangan edukasi Kartini kemudian diteruskan oleh adiknya? Warisan emansipasinya adalah simbol bahwa kebermanfaatannya masih berlanjut meski ia tiada.
Tapi di satu sisi, sikap tersebut memperlihatkan bahwa pengkerdilan tindakan perempuan selalu lumrah untuk diekspresikan, tak heran apresiasi terhadap perempuan adalah hal yang sulit untuk diungkapkan. Alih-alih dihargai, kondisinya selalu dipertanyakan dan diperbandingkan.
Bahkan di era keterbukaan informasi seperti sekarang, orang masih saja mempertentangkan menjadi ibu rumah tangga atau ibu pekerja. Di rumah, dikatakan menyia-nyiakan ilmu serta tak berjasa, sedangkan ketika menjadi pencari nafkah dituding menelantarkan keluarga dan sumber fitnah.
Memilih beraktivitas serta bergerak melakukan aksi sosial dikatakan terlalu berlebihan. Memilih melanjutkan pendidikan dikatakan mengapa harus mengejar-ngejar gelar, bukankah keluarga adalah segala-galanya?
Belum lagi seabrek batasan ini itu yang membuat perempuan akhirnya memilih menyerah dan tak berdaya. Pilihan apa pun itu selalu disalahkan. Seolah kesadarannya untuk memilih dan hidup bermanfaat bagi sesama serta bahagia menjalani kegiatannya bukan yang utama.
Belum lagi pertanyaan-pertanyaan yang menekan perempuan untuk terus memenuhi ekspektasi sosial: Kapan menikah? Kenapa masih pilih-pilih juga? Kapan punya anak? Kapan kakaknya punya adik? Kenapa lahiran caesar? Kenapa tidak menyusui? Kenapa memilih berpisah? Dan banyak lagi rundungan pertanyaan lainnya.
Padahal tiap perempuan punya kondisi yang tak bisa disamakan. Tak semua terlahir menjadi ratu yang ketika bangun semua kebutuhannya langsung tersedia. Banyak dari perempuan harus berpeluh siang malam untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sedang sebagian perempuan lainnya masih berjibaku mengurusi urusan domestik yang tak ada ujung garis selesainya.
Masing-masing mereka berjuang dengan caranya, mengejar impiannya dan tentunya ingin menjalani hidup dipenuhi dengan gelak tawa. Tapi, jangankan untuk menguatkan mereka, yang selalu terjadi adalah kehidupannya terus dibandingkan dan dipertanyakan. Seolah-olah semua perempuan harus menjadi sempurna tanpa cela. Pun ketika sudah menjadi yang terbaik, yang ia lakukan masih saja dianggap remeh temeh nan sia-sia.
Dan, lucunya banyak perempuan kemudian hanya sanggup tersenyum pahit dan tidak setega itu untuk bertanya balik: kapan mereka bisa berhenti menyangsikan? Dan lalu menghargai diri seluruh perempuan apa adanya. Sebab seperti yang tercantum dalam hadis, “Manusia terbaik (termasuk perempuan) adalah insan yang memberikan manfaat seluas-luasnya pada sesama.” Bukan ia yang fokus pada kesalahan orang lain, lalu merendahkan dan mengolok-oloknya. Sebab pertanggungjawaban perbuatan kita bukan kepada makhluk, tapi kepada Yang Maha Kuasa.
Oleh karenanya, izinkan saya mengirimkan salam dan pelukan erat kepada semua perempuan yang tak lelah untuk berusaha membahagiakan diri sendiri, keluarga hingga antarinsan manusia, tetaplah bergerak dan tebarkan cinta, kasih sayang serta manfaat bagi semesta.
“…’coz you are amazing just the way you are!”
Sumber: islami.co