Sebagaimana narasi besar pada umumnya, agama bisa ditafsirkan, dimaknai, dan dihayati secara beragam. Dari sini kemudian muncul sikap yang beragam pula. Atas nama agama, seseorang bisa menebarkan cinta kasih dan kedamaian; namun atas nama agama pula seseorang bisa menebarkan kebencian dan kekerasan.
Yang memprihatinkan, fenomena yang terakhir ini (kebencian dan kekerasan) masih terus mewarnai jagat keagamaan di tanah air. Wujudnya bisa dalam bentuk kekerasan dan pemboman yang dilakukan para teroris. Selain itu, ada pula teror dan kekerasan yang dilakukan sekelompok umat beragama, baik kepada umat beragama lain maupun kepada umat seagama namun dianggap berbeda aliran, mazhab, atau keyakinan.
Ironisnya, teror dan kekerasan antara penganut agama (keyakinan) satu dengan penganut agama (keyakinan) lainnya acapkali “didesain” dan “direkayasa” kelompok-kelompok tertentu dengan target-target tertentu pula yang bernuansa “politis”. Kebencian, teror, dan kekerasan atas nama agama yang telah berlangsung sekian lama di republik ini, tak mampu diatasi oleh pemerintah secara bijak.
Ketidaktegasan pemerintah melindungi warga negara dan menjamin kebebasan beragama dan beribadah menyebabkan kasus kebencian dan kekerasan atas nama agama berlarut-larut, terulang lagi, dan terulang lagi. Bahkan, untuk sekadar melakukan kebaktian atau ibadah pun, jamaah agama tertentu kerap dihalangi dan dihambat. Sungguh ironis dan menyedihkan.
Antara Keterpaksaan dan Kesadaran
Dengan beragama, seseorang bisa menjadi matang dan bijak, namun ada juga yang justru menjadi kekanak-kanakan dan picik. Semuanya tergantung pada penghayatan para pemeluk agama itu sendiri. Contoh kepicikan tampak pada sikap kaum beragama yang memandang umat beragama atau yang berkeyakinan lain sebagai musuh, bukan sesama manusia yang bersaudara. Padahal, yang layak dilawan dan dimusuhi seharusnya hanyalah orang yang bertindak aniaya, zalim, korup, jahat, dan menebar kekerasan, apa pun keyakinan dan agamanya.
Agama juga bisa dihayati secara dewasa dan merdeka, namun kadang juga dijalani secara kekanak-kanakan dan membelenggu. Dalam hal yang pertama, seseorang menghikmati agama untuk menapaki kehidupan yang semakin baik, berguna, dan bermakna. Namun, dalam konteks yang kedua, seseorang menjalankan agama—terutama dalam soal ritualitas atau ibadahnya—untuk meraih pahala (surga) dan menghindarkan diri dari siksa (neraka). Di sini, beragama sangat berkaitan dengan pamrih yang kelak didapatkan.
Seseorang sangat giat atau bersusah payah menjalankan ibadah karena terobsesi kehidupan yang enak dan nyaman di kemudian hari “kelak”. Implikasinya, dia pun terlalu sibuk dengan ritual yang berorientasi personal belaka, daripada memaknai ibadah dalam konteks yang lebih luas, baik secara personal maupun (terutama) sosial.
Seseorang yang menjalankan agama secara dewasa dan merdeka tak ada unsur keterpaksaan, melainkan murni karena kesadaran. Sebaliknya, seseorang yang menjalankan agama secara picik dan kekanak-kanakan, biasanya ada unsur-unsur keterpaksaan dan rasa takut. Seseorang yang beragama secara dewasa tak lagi menggunakan perspektif untung dan rugi dalam menghayati dan menjalankan agamanya.
Ia tak terpengaruh oleh faktor iming-iming berupa pahala (surga) dan faktor ancaman berupa siksa (neraka) kelak, melainkan ia hanya ingin menjalankan agama (termasuk ritualitas dan ibadahnya) dalam bingkai makna menuju kehidupan yang lebih baik. Ia ingin baik, berguna, dan bermakna bukan hanya bagi diri sendiri, keluarga, dan orang-orang terdekatnya, melainkan (sebisa mungkin) juga bagi masyarakat luas dan umat manusia. Persis seperti pesan hadis Nabi: “Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya”.
Seseorang yang menjalankan agama secara dewasa, misalnya, menjalankan ibadah puasa bukan soal kewajiban karena takut ancaman atau siksa (neraka) serta ingin meraih pahala, imbalan, dan reward (surga), melainkan karena dengan berpuasa kehidupannya bisa semakin baik, sehat, berguna, dan bermakna. Banyak kajian medis menyimpulkan bahwa puasa justru menyehatkan badan dan menjernihkan pikiran.
Selain itu, puasa juga bisa membersihkan hati dan menyucikan jiwa; membentuk watak atau etos yang baik dan unggul kejujuran [di tengah budaya korupsi yang berurat berakar], sikap ulet dan pantang menyerah; mengendalikan nafsu dan ego, karena nafsu dan ego merupakan sumber ketidakbahagiaan; mengasah empati pada sesama; serta memupuk solidaritas sosial dan upaya menolong sesama, terutama kepada manusia yang lemah, miskin, sengsara, dan tertindas.
Dewasa atau Kekanak-kanakan?
Begitu pula, bagi seseorang yang menjalankan agama secara dewasa dan merdeka, ibadah shalat dan haji punya makna tersendiri, baik yang mengarah ke “dalam” (hati, akal-pikiran, jiwa, dan psikis), maupun yang yang mengarah ke “luar” (sosial-kemasyarakatan, kehidupan yang lebih luas).
Begitulah, ritual dan ibadah apa pun dihayati dan dimaknai menuju kehidupan yang semakin baik, berguna, dan bermakna; bukan karena takut ancaman Tuhan atau karena motif ingin menabung pahala, ganjaran, dan imbalan yang berlipat-lipat. Inilah perspektif beragama secara dewasa, matang, dan merdeka. Berbeda dengan hal ini, persepktif beragama yang picik, kekanak-kanakan, dan membelenggu biasanya ada unsur keterpaksaan, ancaman, dan iming-iming.
Bukankah hanya anak kecil yang acapkali diperlakukan secara tidak baik dengan cara diancam, dimarahi, dan ditakut-takuti (jika dia “nakal”, berulah, dan membangkang), serta diberi janji dan iming-iming berupa hadiah dan pujian (jika dia “baik”, menjalankan perintah, dan menurut)?
Sumber: islami.co