Mengapa kita perlu belajar dari Gus Dur dalam kehidupan berbangsa? Toleransi bukan hanya menghargai perbedaan saja, lebih dari itu. Hakikat dari toleransi tertuang dalam tata cara berperilaku.
Gus Dur itu tidak hanya toleran, tetapi telah mampu berada pada tahapan koeksistensi sosial. Sikapnya terbuka dalam perbedaan, sehingga beliau mampu memosisikan banyak golongan, suku, bahkan agama secara sejajar.
Toleransi tidak pernah bisa dimungkinkan jika satu kebenaran berada di atas kebenaran yang lain. Toleransi diproses dalam pikiran, dan masuk dalam hati.
Toleransi bukan tentang orang lain, tapi diri sendiri. Ketika Melihat Gus Dur merangkul saudara di Papua dan Agama Kong Hu Chu, saat menjabat sebagai presiden.
Berarti, Gus Dur sudah melangkah jauh, dari ranah toleransi menuju pro eksistensi. Yaitu, suatu tahap bahwa agama kita dan agama mereka bukan untuk diri masing-masing, tapi untuk keberadaan kehidupan bersama.
“Di era sekarang ini, tidak ada satu golongan atau pemeluk agama mana pun yang bisa hidup sendiri. Terlebih hari-hari belakangan ini kita menghadapi Covid-19. Kita mesti saling bekerjasama bersinergi, agama dan para pemeluknya berada demi pro-eksistensi.” terang pak Darius Dubut dalam pidato pembuka diskusi kebangsaan yang diselenggarakan oleh GUSDURian Palangkaraya, Sabtu (12/6/2021).
Bagi Pak Dubut sebagai pegiat perdamaian, mengadakan acara dialog semacam itu merupakan metode paling manusia. “Itu sebabnya Gus Dur menolak melalui jalur kekerasan baik dari jalan militer atau kekerasan yang lain. Indonesia hanya mungkin dikembangan melalui dialog konstruktif dan progresif antar sesama bangsa,” lanjutnya.
Masyarakat yang damai bukanlah masyarakat tanpa konflik, tetapi bagaimana mensyukuri dan merangkul satu sama lain. Gus Dur telah memulai itu semua. Hari ini GUSDURian Palangkaraya coba merayakan itu.
“Bagi saya komunitas ini merupakan ajang belajar dari keagamaan masing-masing. Mulai dari kepompong hingga menjadi kupu-kupu”.
Situasi Warisan Orba
Pembicara diskusi kebangsaan, Ahmad Suaedy menjelaskan tentang bagaimana Gus Dur menebar cinta kasih di bumi Cendrawasih.
“Saya selalu menginginkan anak muda beragama agar belajar lebih khusus mengenai Papua. Karena Papua banyak salah dipahami baik oleh politisi, atau yang punya kepentingan lain,” terang anggota Ombudsman RI 2016-2021 tersebut.
Gus Dur adalah seseorang yang mampu begitu mendalam tentang Papua. Isu tentang Papua menjadi situasi yang aktual yang mesti dipahami bersama. Bangsa kita memang belum selesai melakukan semacam konsolidasi atau membangun national building karena begitu pluralnya.
“Tidak mudah tentunya membangun national building. Jika melihat pada negara maju seperti Prancis, Inggris, itu sudah lama terbentuk, sementara Indonesia baru 17 Agustus 1945, atau 28 Oktober 1928.”
Isu tentang perdamaian Papua menjadi pergulatan penting dari pergulatan kebhinekaan di Indonesia. Reformasi Indonesia adalah krisis multidimensi. Salah satunya datang dari isu pasca Orde Baru.
Marcus Milner pernah berkata, Gus Dur itu gagal karena pendekatan personal dalam reformis-militer. Aspinal juga mengemukakan bahwa Gus Dur (dan Megawati) tidak meninggalkan warisan reformasi, kecuali yang telah disiapkan oleh Habibie.
Namun, perlu dipahami, jika dalam hal bernegara, Gus Dur adalah orang yang reformis, tapi tidak modernis. Gus Dur melakukan perubahan berlandaskan pada tradisi.
“Saat menjadi presiden, ia berhadapan pada satu kondisi euforia demokrasi. Banyak wilayah yang ingin merdeka di beberapa wilayah, Aceh kemudian Papua tengah terjadi peningkatan kekerasan kala itu,” kata Suaedy.
Di samping itu, lanjutnya, militer dan politisi sedang mengalami frustasi karena kegagalan di Timor Timur. Sehingga pada puncak tuntutan merdeka Aceh dan Papua terjadi akibat kegagalan negosiasi Presiden Habibie.
Orba mewariskan sistem yang sangat eksploitatif. Bahkan setelah dihapusnya Daerah Operasi Militer kekerasan semakin tinggi.
Orde Baru membunuh civil society, dengan cara double absolutism kendaraan yang digunakan Islam dan falsafah Jawa. Apa pun kata negara harus dipatuhi, mengadopsi falsafah Jawa Manunggaling Kawula Gusti.
Warisan yang lain kontrol yang kelewatan pada Aceh dan Papua menyebabkan penghancuran masyarakat sipil karena kontrol yang dilakukan sampai pada ranah budaya. Hal itu kemudian menimbulkan nasionalisme lokal.
Pendekatan Gus Dur
Itulah kondisi yang bisa dibilang kacau balau saat menjadi presiden. Gus Dur menawarkan kewarganegaraan bhinneka.
TH Marshall, seorang peneliti, merupakan orang pertama dalam sosiologi yang menemukan bahwa individual rights, atau pendekatan individu yang dilakukan Gus Dur menjadi landasan adanya multicultural citizenship.
Kewarganegaraan hendaknya tidak didasarkan pada pendekatan individualistik tetapi pada kolektivistik.
Salah satu yang penting adalah seorang warga negara harus dihargai dan dihormati bukan karena individunya, tapi berdasarkan kolektivisnya.
Di dalam Islam Gus Dur mencerminkan antara orang yang teokrasi dan sekuler berposisi di tengah, dengan memanfaatkan kultur lokal dan paradigma klasik untuk menbangun paradigma baru.
Gus Dur mengoperasikan satu perdamaian di Papua dan Aceh dengan pendekatan personal approach, dan civil society empowerment. Gus Dur adalah orang yang sangat dekat dengan pemuka agama di semua daerah.
“Jika kalian bertanya pada pemuka agama di Aceh antara tahun 2000 pasti bertemu Gus Dur. Begitu juga dengan orang Papua, yang mana orang Papua mengirim orang dari daerah dari berbagai organisasi pada acara sebuah besar di Papua kala itu.”
Gus Dur membangun citizenship sehingga nama yang dahulunya Irian Jaya menjadi Papua, itu sebagai sebuah kebanggaan.
Kedua secara bendera, yang dahulu sangat dilarang saat Orba yaitu pengibaran bendera Kejora.
Gus Dur memperbolehkan pengibaran bendera bintang Kejora karena dianggap sebagai bendera kultural tanpa tendensi politik. Ia mempersilakan pengibaran bendera Bintang Kejora di bawah bendera Merah Putih.
Secara umum strategi yang dilakukan oleh Gus Dur guna merangkul Papua kala itu terbagi menjadi tiga.
Pertama recognize, bahwa papua adalah bangsa Indonesia 100%, keinginan untuk merdeka itu boleh, yang tidak boleh adalah merdeka sendiri. Merdeka yang dimaksudkan bahwa bangsa Papua berada di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kedua, Gus Dur memberikan respect, orang Papua diberi kebebasan ekspresi, mengembalikan kehormatan, kesetaraan, dan kebebasan.
Ketiga, institusi transformasional melalui RUU Otonomi Khusus. Melalui dialog Hukum Adat, Dana Otsus, Pilsuna, dan Parpol Lokal di Papua.
Seorang mahasiswa asal Papua, Alexander Yigibalom Alex yang merupakan peserta diskusi, menuturkan pengalaman dan kenangan manis yang dilakukan Gus Dur selama menjadi presiden.
“Ada 4 hal penting bagi orang Papua, yang sampai saat ini kenapa Orang Papua selalu menyebut nama Gus Dur. Bahkan ketika terjadi konflik di Surabaya, gubernur Papua sempat menyebut nama Gus Dur. Beliau mempertanyakan, kenapa kader Gus Dur di Jawa Timur tidak melindungi anak kami di Surabaya”
Pertama, pada tahun 2000 Kongres Rakyat Papua yang akan tertunda karena kendala finansial tetap berlanjut berkat jasa Gus Dur.
Gus Dur hadir memberikan uang 1 Milyar namun dengan perjanjian antara Gus Dur dan orang Papua yaitu harus tidak ada orang asing saat kongres tersebut. Orang asing yang dimaksud itu semua orang, selain orang Papua asli dilarang masuk, atau menyusup dalam kongres.
Kedua, Gus Dur membuat perbedaan itu Indah, menjembatani nilai-nilai toleransi antarumat beragama. Tidak pernah ada benturan antarorang Papua dengan pihak lain saat Gus Dur menjabat sebagai presiden.
Ketiga, Gus Dur mengubah nama Irian Jaya, menjadi Papua. Padahal dahulu saat Orba, menyampaikan nama saya orang Papua, langsung dibunuh, ditangkap, dihilangkan.
Keempat, Gus Dur mengizinkan pengibaran Bintang Kejora di seluruh tanah air, terutama pada 4 Desember dengan syarat kibarkan bendera merah putih lebih tinggi.
“Dari tujuh presiden di Indonesia, hanya presiden keempat yang mampu menyelesaikan persoalan di Papua. Gus Dur sosok presiden yang mencintai dan peduli dengan bangsa Papua,” terang Alex sembari mengenang sosok Gus Dur.
Setelah Gus Dur dilengserkan, terjadi degradasi yang signifikan dalam persoalan Papua. Ahmad Suaedy mengharapkan, anak muda agar belajar tentang Papua. Bukan dengan emosional, tetapi dengan dialog dan rasional.
(Artikel ini pertama kali dimuat di alif.id)