Tulisan ini sebenarnya berbekal dari catatan dan pidato Gus Dur dari berbagai sumber yang terserak dan tidak terdokumentasikan dengan baik sebagai satu catatan yang utuh. Ide-ide beliau ini, sering dikutip oleh para akademisi akan tetapi ketika dilacak di mana dokumentasi itu berada, sulit sekali untuk ditemukan. Hal ini merupakan sebuah kewajaran sebab Gus Dur memang sering berpidato dalam berbagai forum dan orasi ilmiah, dengan pola pidato tanpa teks. Itulah yang menjadikan sulitnya melacak sumber dokumentasi tertulis tersebut dan apalagi di jaman beliau hadir, tidak ada dokumentasi YouTube seperti sekarang ini.
Sebagaimana diketahui bahwa Gus Dur memiliki andil yang besar dalam perjuangan land reform (reforma agraria) dan diakui oleh banyak pihak. Penulis tidak mendaku bahwa tulisan ini sejalan dengan apa yang ada dalam pemikiran dan benak beliau, khususnya bila dikaitankan dengan konsepsi land reform yang pernah beliau gaungkan jauh-jauh hari sebelumnya. Akan tetapi, penulis meyakini bahwa apa yang terucap dari tutur Bapak Bangsa yang merupakan tokoh dan sekaligus cucu dari pendiri NU (Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari) ini adalah semata karena dipenuhi oleh pancaran nur ilahi sehingga yang muncul di permukaan adalah ketulusan beliau. Berkah dari pancaran nur ilahi inilah yang menjadikan apa yang beliau sampaikan senantiasa berwawasan holistik dan benar-benar universal melampaui zamannya, dan masuknya kepentingan pribadi.
Indonesia merupakan negara agraris dengan mayoritas penduduknya bermata pencaharian dari sektor pertanian. Luas lahan pertanian dari tahun ke tahun berjumlah tetap, sementara jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian masih tetap bertahan dan justru mengalami peningkatan.
Di satu sisi, pertanian merupakan sumber utama pemasukan kas negara dengan menyumbang angka Gross Domestic Product (GDP) berkisar 45% dan terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Ada beberapa sebab terjadinya penurunan, antara lain:
- Semakin berkurangnya lahan pertanian yang diakibatkan oleh proses pewarisan dan konversi lahan dari lahan pertanian menjadi pemukiman atau lahan industri serta berbagai imbas pembangunan lainnya.
- Angka pertambahan penduduk yang bekerja di sektor pertanian tidak disertai dengan angka pertambahan luas lahan pertanian, sehingga terjadi ketimpangan. Akibat tidak langsungnya adalah semakin bertambah angka kemiskinan yang melanda para petani.
- Kebijakan pembukaan lahan baru pertanian, lebih dominan dikuasai oleh para pemilik modal (kapitalis) dan tidak langsung menyasar kepada para petani kecil di pedesaan.
- Terancamnya kepemilikan lahan oleh para petani akibat dijual karena semakin menurunnya tingkat penguasaan lahan sehingga mendorong petani untuk beralih ke sektor mata pencaharian lainnya.
Jika kondisi ini dibiarkan secara terus menerus, maka bukan mustahil akan banyak petani yang mengalami kemiskinan di negaranya sendiri, sementara Indonesia merupakan negara yang luas dan memiliki banyak wilayah hutan dan perkebunan yang saat ini dikelola oleh pemerintah dan kepanjangan tangannya, yaitu BUMN (Badan Usaha Milik Negara).
Beberapa fakta di atas ini menjadi menjadi dasar pijakan mengapa begitu penting dilakukan langkah reforma agraria (land reform). Istilah land reform itu sendiri memiliki makna perlunya untuk memformat ulang (reformasi) tentang kepemilikan lahan dan sekaligus pendayagunaannya. Sasaran utama dari land reform adalah para petani yang lahannya terus mengalami penurunan akibat sistem pewarisan dan ekses tidak langsung dari pembangunan dan industrialisasi. Sudah barang tentu, pelaku reforma agraria ini harus diawali oleh pemerintah selaku pemegang kebijakan. Tanpanya, status land reform akan berubah menjadi aksi penyerobotan dan inkonstitusional, sehingga pelaku di lapangan bisa diseret ke meja hijau (pengadilan).
Langkah-langkah melakukan reforma agraria itu sendiri, sudah pasti harus dilakukan dengan jalan hati-hati dan mempertimbangkan aspek jangka panjangnya, baik terhadap masyarakat itu sendiri maupun terhadap lingkungan. Sejauh ini, langkah-langkah untuk melakukan reforma agraria tersebut sudah disampaikan tahapan-tahapannya oleh para ahli di bidangnya. Beberapa tahapan ini adalah sebagai berikut:
- Land reform adalah bertujuan untuk menyediakan peluang bagi bertambahnya lahan pertanian yang dimiliki oleh para petani, petambak yang lahannya semakin hari semakin sempit akibat tergerus industrialisasi dan sistem pewarisan.
- Land reform dilakukan dengan melakukan pengalihan fungsi lahan dengan meminimalisir usaha perambahan hutan, sebab hutan merupakan paru-paru dunia dan sekaligus merupakan penyangga lingkungan. Hutan merupakan aset bagi anak cucu di masa mendatang sehingga menghendaki untuk terus dipertahankan.
- Langkah pengonversian lahan pada reforma agraria adalah dilakukan dengan fokus utama pada lahan yang selama ini dikelola oleh negara dan merupakan hasil warisan dari penjajah kolonial. Lahan ini (saat ini) adalah yang dikelola oleh PTPN yang merupakan bagian dari BUMN. Sebagaimana pernah disampaikan oleh Gus Dur, bahwa 40% dari lahan perkebunan PTPN adalah berasal dari merampas tanah rakyat di masa kolonial oleh pemerintah kolonial, dan
- Reforma agraria di era modern juga memiliki obyek sasaran berupa pengembalian fungsi lahan yang telah ditinggalkan oleh industri pertambangan dan telah habis masa sewanya dengan memberdayakan masyarakat melalui jalan pembagian sertifikat hak milik (iqtha-i al-ardli) kepada mereka. Langkah untuk melakukan hal ini sudah diputuskan dalam hasil Musyawarah Nasional NU yang berlangsung di Lombok, Nusa Tenggara Barat pada 2017 yang lalu,
- Alih fungsi lahan dari hutan yang memiliki hak sewa kelola dengan tetap menjaga fungsi utama hutan sebagai penyangga lingkungan, sebagai hutan lindung, hutan rakyat dan hak aulayatnya.
Dari kelima hal di atas, yang senantiasa menjadi fokus perhatian dan sejak lama menjadi bahan kajian di ruang-ruang akademis dan senantiasa digaungkan oleh Gus Dur, adalah:
- Pengembalian lahan perkebunan PTPN yang asalnya diperoleh dari pembukaan hutan dan penyewaan lahan masyarakat sekitar perkebunan, namun dalam faktanya lahan itu tidak dikembalikan kepada masyarakat setelah habis masa sewanya. Alasan sederhananya adalah masyarakat ini tidak bisa membuktikan kepemilikan lahan tersebut melalui sertifikat kepemilikan akibat kebijakan Domein Verklaring dan penerapan Regering Reglements (RR) 1854 serta Agrorische Wet 1870 oleh Pemerintah Kolonial Belanda kala itu.
- Beberapa hutan ada yang pengelolaannya tetap dengan fungsi hutannya namun obyek tanaman yang dikembangkan tidak lagi berupa hutan alami melainkan menjadi hutan industri dengan ciri jenis tanaman yang dikembangkan adalah tanaman monokultur, seperti sengon, pinus, mahoni, cemara, jati, dan sejenisnya. Semua jenis kehutanan ini adalah bagian dari tinggalan sistem kolonial Belanda guna memuluskan pembangunan industrinya.
Kedua hal ini merupakan fokus untuk gerakan reforma agraria, khususnya ketika Gus Dur masih sugeng dan sering digaungkan oleh beliau. Bisa jadi ada data lain yang masih belum berhasil penulis himpun atau sampaikan. Semoga ke depan ada ruang untuk mengumpulkan ide dan gagasan terserak dari beliau ini. Wallahu a’lam bish-shawab.
_____________
Artikel ini adalah hasil kerja sama NU Online dan Jaringan GUSDURian untuk kampanye #IndonesiaRumahBersama