Saya adalah seorang remaja perempuan yang lahir di sebuah desa di Kalimantan Barat, tepatnya di kecamatan Tayan Hulu kabupaten Sanggau. Desa itu merupakan akses untuk perjalanan antarkota antarpropinsi. Terkadang di saat-saat tertentu bisa dijumpai para tentara yang entah berapa jumlahnya melintas di sana saat pagi. Barangkali karena wilayah kami tidak begitu jauh dari perbatasan negara atau wilayah terluar dari Indonesia sehingga penjaga keamanan cukup banyak ditempatkan di wilayah kami. Mereka menyapa warga yang berlalu lalang baik menggunakan motor, mobil, dan pejalan kaki yang berkerja dan berangkat berkebun.
Mayoritas dari warga kami bekerja di kebun atau ladang. Mereka setiap hari berangkat kerja lengkap dengan baju khas berkebunnya, tak lupa jarai (sejenis keranjang yang digunakan masyarakat untuk membawa peralatan berkebun dan bekal makanan). Kehidupan harmonis tampak dari para warga saling bertegur sapa satu sama lain, tak jarang ada tradisi mampir untuk ngopi dan berbincang.
Sejak kecil hidup di tengah-tengah masyarakat yang beragam dengan berbagai perbedaan yang ada baik agama, bahasa, suku, dan adat istiadat, perlahan namun pasti sikap toleransi itu mulai tumbuh dengan sendirinya. Hal tersebut terjadi karena kebiasaan lalu berkembang hingga saat ini.
Ada sebuah kisah saat saya duduk di bangku sekolah dasar. Saat itu, sekolah kami tidak meliliki ruang kelas yang cukup untuk dijadikan kelas tersendiri bagi pelajaran agama. Di kelas kami terdapat tiga agama yang berbeda. Saya masih ingat betul di mana saya dan delapan orang teman sesama muslim berada di ruang kelas yang sama, menjadi satu, hanya posisi bersebelahan dengan delapan orang teman kami yang beragama Kristen. Kami sama-sama duduk tanpa ada pembatas.
Selain berbagi kelas, kami juga harus berbagi papan tulis. Ya, satu papan tulis untuk dua pelajaran agama berbeda. Biasanya, saat akan memulai pelajaran, guru agama kami harus bergantian dulu. Guru agama Kristen mulai membuka kelas dengan berdoa dan kemudian dilanjutkan dengan dengan bernyayi lagu rohani. Kami yang beragama Islam diam dengan sikap tenang. Kemudian saat mereka selesai, barulah setelahnya kami yang beragama Islam mulai membaca doa dan sholawat Nabi.
Selain itu ada juga tradisi tahunan yang menurut saya sangat menarik. Saat musim tanam tiba, banyak warga yang membuka lahannya untuk ditanami padi. Di sanalah masyarakat dengan latar belakang berbeda saling berinteraksi. Saling bahu-membahu membantu, bersenda gurau di sela-sela waktu bekerja dan istirahat sembari menikmati kopi. Ketika ada acara hajatan besar seperti pernikahan para ibu-ibu pun saling membantu menyiapkan hidangan untuk acara. Kendati terasa klise tapi ada satu hal menarik, ketika yang memiliki hajatan beragama Katolik atau Kristen, biasanya ibu-ibu yang muslim akan ditugaskan untuk memasak dan mengatur seluruh menu masakan yang akan dihidangkan untuk tamu muslim, untuk mencegah saat pengolahan makanan tidak tercampur dengan hidangan khusus tamu non-muslim yang biasanya berbeda secara syariat agama.
Melihat para ibu berinteraksi dalam situasi ramai seperti itu menjadi sangat menarik karena berbagai bahasa bisa muncul dalam satu tempat. Ada yang bercakap dengan bahasa Jawa, Melayu, Dayak, Madura, juga bahasa Indonesia. Jika mengingat itu saya selalu berpikir bagaimana bisa ibu-ibu berbeda latar belakang ini bisa saling berbaur tanpa ada batas penghalang. Sejak saat itu saya mulai paham bahwa tolerasi menjadi perekat bagi harmonisasi hubungan antarmanusia. Kehangatan serta keakraban mereka memberikan pemahaman bahwa keberagaman itu yang membuat hubungan dan kehidupan bersosial lebih berwarna.
Tahun 2016, saya memutuskan merantau. Memulai belajar di pulau seberang. Di Yogyakarta saya menjalani tiga tahun masa sekolah di Madrasah Tsanawiyah (SMP) hingga berlanjut hingga sekarang di Madrasah Aliyah (SMA). Saya tinggal di sebuah pondok pesantren di Kotagede. Tinggal di lingkungan yang berbeda dengan lingkungan sebelumnya menumbuhkan bentuk pemahaman baru lagi bagi saya. Terlebih saat memilih tinggal di pondok pesantren dengan lingkungan lebih majemuk dari sisi karakter orang-orangnya. Yang saya temukan di sini menjadi sebuah tantangan baru, bukan perihal agama, suku, dan bahasa seperti di kampung halaman. Di sini semua muslim, meski dengan beragam bahasa. Kami punya tujuan yang sama, yaitu untuk mencari ilmu.
Sebenarnya bagi saya yang berangkat dari pelosok nun jauh di Kalimantan, bukan hal yang mudah ketika harus berinteraksi dan berbaur di antara mereka, bahkan saya harus membiasakan diri selama tiga tahun masa Tsanawiyah untuk bisa merasa nyaman dan kerasan. Orang-orang dengan ragam bahasa dan karakter unik memberikan saya pengetahuan baru bahwa perbedaan bukanlah tembok penghalang untuk berbaur, bahwa cara pandang kita terhadap orang lain menentukan bagaimana kita bersikap terhadap orang tersebut. Dari kisah pengalaman pada saat Sekolah Dasar hingga saat ini, mengajarkan saya bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan berbagai ragam dan perbedaan agar suatu saat manusia tahu bahwa setiap perbedaan memiliki cara tersendiri untuk selaras.
Sebagai seorang remaja perempuan yang tengah tumbuh dan sibuk mencari jati diri, saya sadar kelak akan terjun dan berinteraksi langsung dengan masyarakat. Toleransi menjadi pondasi utama. Toleransi tidak hanya mengajarkan cara menghargai, tetapi juga cara pandang kita terhadap orang lain. Sebagai perempuan dan santri pelajar, perbedaan dan keberagaman bukan suatu penghalang untuk membawa diri berinteraksi di tengah lingkungan pertemanan dan bermasyarakat.
______________
Artikel ini adalah hasil kerja sama neswa.id dengan Jaringan GUSDURian untuk kampanye #IndonesiaRumahBersama