Perang kembali meletus. Kali ini antara dua negara yang masuk dalam zona Eropa: Rusia dan Ukraina. Media di seluruh dunia beramai-ramai memberitakan perang yang terjadi di zaman modern itu. Kita di Indonesia yang menyantap limpahan informasi harus membela yang mana?
Masyarakat dunia terlihat membela Ukraina. Aksi-aksi solidaritas bermunculan tidak hanya di jalan-jalan, tapi juga di berbagai ruang publik. Mulai dari penyematan bendera Ukraina di pojok layar televisi hingga bentangan spanduk bertuliskan “Stop War” oleh para pemain sepak bola sebelum berlaga.
Tentu saja, layaknya senapan-senapan yang meletus di medan perang, cuitan dan konten solidaritas terhadap Ukraina juga meletus di media sosial. Bila Anda mengamati garis waktu pada akun media sosial Anda, hampir tak ada pengguna yang berpihak pada Rusia. Perang itu benar-benar terlihat hitam-putih.
Sembari membela pihak yang diserang, orang-orang juga mengecam Presiden Vladimir Putin. Kecamannya bukan sekedar kata-kata, melainkan bermuatan kebencian yang membuncah terhadap sang diktator. Maka beberapa negara mulai memberi sanksi dan orang-orang menyingkirkan segala hal terkait Rusia.
Sejak perang dimulai, dunia memutuskan hubungan dengan Rusia. Perusahaan-perusahaan internasional menarik modalnya dan menghentikan aktivitas produksi di sana. Kegiatan ekspor-impor dengan negeri beruang merah diembargo. Pemodal-pemodal Rusia, termasuk pemilik klub sepakbola Chelsea, dipaksa melepas investasi di luar negeri.
Para olahragawan menolak bertanding dengan lawan asal Rusia. Olahragawan Rusia juga tak mendapat izin berlomba di ajang tingkat dunia. Segala pengetahuan mengenai Rusia juga dijauhi, seperti sebuah lembaga pendidikan di Italia yang melarang membaca novel Fyodor Dostoyevsky.
Benarlah sebuah untaian hikmah Imam al-Syafi’i yang dipelajari para santri di pesantren: “Pandangan penuh keridhaan buta terhadap setiap aib, sebagaimana pandangan kebencian selalu jeli terhadap semua cela”, begitu kira-kira bunyinya.
Lalu kita harus bela yang mana? Pandangan umum kita akan memutuskan untuk membela Ukraina. Dalam perang terbaru itu Ukraina-lah yang menderita. Rusia jelas-jelas menginvasi mereka, memborbardir rumah-rumah penduduk, meluluh-lantakkan desa-desa.
Namun fakta yang berkembang kemudian tampak sedikit mengganggu. Ada tendensi rasisme dalam perang Rusia-Ukraina ketika para pengungsi berkulit hitam kesulitan keluar dari negeri mereka. Ini ditambah lagi dengan reportase media Barat yang menarasikan betapa memilukannya pemandangan orang-orang berkulit putih, bermata biru dan berambut coklat terluka.
Tentu saja perang menimbulkan rasa pilu, tapi narasi emosional semacam itu tidak muncul ketika media-media melaporkan kondisi rakyat Palestina, Irak, Afganistan, Yaman, dan negara-negara non-Barat lainnya. Sanksi terhadap Rusia dan vonis kejahatan Putin tak pernah berlaku bagi negara penginvasi seperti Israel dan tentunya Amerika.
Hal itu menimbulkan anggapan publik non-Barat bahwa ini adalah perang Eropa, perang kulit putih, bukan perang “kita”. Ketika jadi korbannya, Barat serta-merta mengungkapkan kegalauannya, tapi tidak ketika rakyat Palestina selama puluhan tahun hidup menderita.
Namun skema Barat-non-Barat agaknya perlu direvisi ulang setelah senator Irlandia, yang notabene berkulit putih, justru sangat lantang mengkritik perilaku bias tersebut. Meski begitu, perang Rusia-Ukraina sudah terlanjur bernuansa rasis. Mungkin karena itulah tidak semua negara mendukung sanksi terhadap Rusia dan tidak semua publik dunia menunjukkan solidaritasnya pada Ukraina.
Perilaku bias Barat terhadap Ukraina dibanding terhadap Palestina membuat kalangan Muslim cenderung diam. Tapi jika kita ingin menelisik lebih dalam, sebagian Muslim bahkan lebih condong kepada Rusia.
Setidaknya demikian kesan yang saya dapat di lingkungan pergaulan saya. Lingkungan kerja dan pertetanggaan saya banyak terdiri dari kalangan Muslim konservatif pemilih Prabowo pada pemilu terakhir. Dalam obrolan sehari-hari, mereka cenderung tidak mengungkapkan solidaritas terhadap rakyat Ukraina, jika tidak menyatakan membela Rusia. Merekalah pihak yang sama yang membenci komunisme.
Sekalipun tidak mengerti akar masalahnya, sikap mereka nampaknya didasarkan pada persilangan perang Rusia-Ukraina dengan NATO dan Amerika. Jadi dalam kecondongan kepada Rusia, mereka kelihatannya lebih memandang keterkaitan Ukraina dengan Amerika ketimbang Rusia dengan komunisme.
Selain itu, di kalangan ini beredar informasi bahwa di Rusia terdapat banyak penduduk Muslim dan konon Muslim Chechnya berada di pihak Rusia. Sementara di Ukraina, lagi-lagi menurut informasi yang sampai kepada mereka, Islamofobia merebak – sesuatu yang terdengar masuk akal setelah pengungsi Ukraina berkulit putih lebih diutamakan untuk pemerintahnya selamatkan.
Saya akan sangat tertarik jika nantinya ada survei mengenai opini publik Indonesia terhadap perang Rusia-Ukraina. Publik berpihak pada yang mana dan atas dasar afiliasi (agama, kelompok sosial, tingkat ekonomi) apa? Survei itu akan membuktikan benar-tidaknya asumsi betapa pandangan, sikap, dan perilaku di tingkat dunia bisa dipengaruhi oleh kondisi dalam negeri.
Jadi kita harus membela yang mana? Kita nampaknya ragu-ragu dalam menghadapi situasi perang Rusia-Ukraina yang sebagian kalangan memandangnya sebagai awal Perang Dunia ke-3. Seperti orang yang ragu apakah wudhunya batal atau tidak, kita harus kembali ke konsep paling awal dan mendasar.
Orang yang ragu apakah wudhunya batal atau tidak adalah orang yang yakin bahwa ia sudah berwudhu. Jadi ia harus kembali kepada keyakinan dasar itu. Maka ia tak perlu berwudhu lagi.
Begitu pula ketika harus membela yang mana, kita kembali kepada konsep dasar, yaitu kemanusiaan. Kita harus membela siapa pun dan pihak mana pun yang direnggut kemanusiaannya, yang dirampas hak-haknya, baik itu rakyat Palestina maupun rakyat Ukraina. Tapi jangan lupa, rakyat Rusia juga menderita karena sanksi Eropa. Rakyat Rusia yang tak setuju perbuatan pemerintahnya.