Social Media

“Cancel Culture” dan Pengadilan Jalanan

Hampir saban hari saya menemukan tweet berantai yang diawali dengan ‘Twitter, please do your magic!’, atau diakhiri dengan ‘A thread’, dan kalimat-kalimat sejenisnya. Berbagai topik dibicarakan, mulai tips membuat makanan, informasi orang hilang, hingga pengungkapan kasus-kasus tertentu.

Salah satu perbincangan yang kerap diungkap melalui thread adalah dugaan kekerasan seksual. Kebanyakan akun-akun yang mengangkat kasus tersebut menceritakan sudah mencari keadilan di mana-mana, tetapi hasilnya nihil. Beberapa orang bahkan mengaku sudah memproses kasusnya selama bertahun-tahun.

Dari kisah-kisah tersebut, media sosial seolah memberikan tempat yang ‘lebih adil’ bagi mereka. Setidaknya, ada banyak dukungan yang mengalir, dilihat melalui komentar, like, dan retweet. Korban yang selama beberapa waktu merasa sendiri, ternyata didukung oleh banyak pihak.

Dukungan ini tidak sekadar kata-kata. Dalam sekejap, identitas terduga pelaku bisa didapat secara lengkap, mulai nama, foto, alamat, nama orangtua, dan sebagainya. Jika terduga pelaku adalah pesohor, ia bisa kehilangan banyak hal seperti sponsor dan kredibilitas. Citra sebagai pelaku kejahatan seksual pun bisa melekat seumur hidup, meski secara hukum tidak pernah diputuskan melalui pengadilan.

Itulah cancel culture, sebuah budaya yang memiliki efek luar biasa bagi terduga pelaku. Dalam beberapa kasus, hukuman sosial ini bahkan lebih kuat efeknya daripada putusan hakim terhadap pelaku kriminal. Mereka bisa kehilangan karir, menghancurkan legasi, mencerai beraikan keluarga, bahkan menyebabkan bunuh diri (Dershowitz, 2020).

Acap kali, hukuman sosial ini benar-benar mendorong seseorang untuk tidak punya tempat lagi. Bagi sebagian orang, itu adalah bentuk keadilan. Para pelaku sudah memberikan pengalaman pahit bagi orang lain. Sudah saatnya mereka harus menerima balasan setimpal. Begitu sebagian pendapat yang kerap kita temukan.

Apalagi, jika melihat tren, kebanyakan kasus kekerasan seksual memiliki pola. Seorang pelaku biasanya melakukan aksi tersebut berulang-ulang terhadap korban yang berbeda-beda. Karenanya, pelaku kekerasan seksual kerap disebut predator.

Mendelegitimasi Individu

Cancel culture yang marak belakangan merupakan perkembangan sebuah sikap yang sudah dikenal sejak lama dengan nama McCarthyism. Hal ini didasarkan pada sikap senator Amerika bernama Joseph McCarthy yang melakukan sebuah gerakan untuk mendelegitimasi individu yang terindikasi terkait sayap kiri (komunisme) atau pinkos pada 1940-an. Gerakan tersebut meluas, membuat siapa saja yang terkait left-wing menjadi terasing dari lingkungannya.

Seseorang yang menjadi target cancel memang tidak mendapat hukuman pengadilan. Namun kredibilitasnya yang sudah hancur membuatnya hidup dalam pengasingan sosial. Ia bisa kehilangan sumber penghasilan, mendapat stereotip, dan berbagai kerugian yang membuatnya putus asa.

Di era media sosial, cancel culture mewujud dalam berbagai peristiwa. Ia lahir sebagai sebuah hukuman alternatif karena hukum ‘sejati’ tidak mampu menjawab tuntutan. Dalam kasus kekerasan seksual, korban yang tidak mendapat keadilan sejati kemudian mendapatkan solidaritas dalam berbagai bentuk. Yang paling ekstrem, dukungan itu berupa perisakan dan penghakiman terhadap pihak yang dianggap bertanggung jawab.

Apakah kondisi ini adil? Jika dilihat dari kacamata hukum, tentu tidak adil menghakimi pihak yang belum dinyatakan bersalah. Hanya saja, pengadilan jalanan ini terjadi akibat pengadilan semestinya tidak pernah bisa diharapkan. Jangankan ditindak, laporan korban sering kali tidak mendapat respons yang berpihak. Banyak korban akhirnya memilih bungkam dan menanggung penderitaan seorang diri.

Kisah-kisah terbengkalainya laporan kekerasan seksual banyak bertebaran. Peristiwanya ada yang di lokasi kerja, kampus, tempat umum, hingga lembaga keagamaan. Kita tentu masih ingat kasus pelecehan seksual di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang hingga kini belum tuntas. Pada September 2021, korban membuat thread yang memantik kemarahan publik terhadap lembaga negara tersebut. Pasalnya, peristiwa itu sudah terjadi sejak 2015. Namun, sesuai pengakuan korban, kasus tersebut tidak pernah ditindak sehingga ia memilih jalan untuk spill di media sosial.

Media sosial berhasil memunculkan kembali kasus tersebut. Publik pun menaruh perhatian dan meng-cancel KPI dengan beragam ekspresi. Ada yang mengubah keterangan Wikipedia, ada pula yang membuat meme mempertanyakan sikap abai lembaga negara.

Korban Ketidakpastian

Di antara maraknya budaya spill, muncul kabar mengejutkan. Seorang pemuda di Tangerang tewas gantung diri. Kepolisian sedang menginvestigasi kasus tersebut. Beberapa hari sebelumnya, sang pemuda baru saja ramai dibicarakan di Twitter. Ia diduga melakukan kekerasan seksual kepada beberapa korban. Ia bahkan mengancam jika ada yang melaporkan. Namun beberapa korban kemudian tetap melaporkan terduga pelaku dan mengungkap ke publik melalui jalur spill.

Nama, alamat, kampus, asal sekolah, hingga aktivitasnya diungkap. Hal ini cukup membuat karir dan reputasinya hancur. Tak lama kemudian, terduga pelaku membuat tweet, mengakui perbuatannya dan akan meminta maaf kepada para korban. Sehari berselang, terduga pelaku diberitakan bunuh diri.

Kasus tersebut menunjukkan betapa tekanan batin juga dialami oleh para pelaku yang mendapat perhatian dari publik luas. Bahkan setelah berita tersebut, respons publik internet beragam. Ada yang memutuskan tidak lagi membicarakan kasus tersebut, ada pula yang tetap menghujat terduga pelaku karena dianggap sudah merusak hidup banyak orang.

Membaca berita tersebut membuat saya termenung. Saya kemudian bertanya-tanya, siapa yang harus disalahkan? Kita ingin menghukum para pelaku kekerasan seksual semaksimal mungkin. Namun kita kerap melupakan bahwa terduga pelaku juga manusia yang memiliki hak asasinya. Artinya, seberat apa pun hukuman yang diterima, kita harus punya perspektif tetap menjamin hak hidupnya.

“Tapi kan para pelaku membuat banyak orang menderita.”

Benar. Saya pun sangat marah dengan para predator seksual setiap kali membaca pengakuan korban. Kejahatan mereka membuat banyak korban kehilangan arah. Bahkan ada banyak korban yang ingin mengakhiri hidup akibat peristiwa mengerikan yang terjadi pada dirinya.

Para pelaku harus dihukum seberat-beratnya!

Namun saya kemudian teringat satu hal. Kita belum punya mekanisme hukum terkait kekerasan seksual. Kekerasan seksual masih berada di wilayah etika, belum menjadi persoalan pidana. Jika kita tanyakan, apa itu kekerasan seksual? Mungkin banyak orang tak mampu menjelaskan. Atau penjelasan setiap kepala akan berbeda-beda. Karenanya, pelaku kekerasan juga merupakan korban. Korban dari ketidakpastian hukum.

Sayangnya, sejak 2016 rancangan undang-undang tentang pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual belum juga disahkan. Pembuat kebijakan seolah membiarkan masyarakat memiliki cara masing-masing untuk mendapatkan keadilannya. Alhasil, spill dan cancel culture menjadi cara yang marak digunakan.

Ketidakpastian hukum membuat orang meraba-raba dan secara subyektif mengidentifikasi tindakan yang dialaminya sebagai kekerasan seksual. Sebagai contoh, ada kisah sejoli yang pernah melakukan hubungan seksual berkali-kali. Namun satu waktu, pasangannya menjalin hubungan dengan orang lain. Pasangan yang sakit hati kemudian mengaku sebagai korban kekerasan seksual dan melakukan spill di media sosial.

Ada pula kasus percumbuan dalam hubungan tanpa status. Satu hari satu pihak mengajak serius, akan tetapi pihak lainnya menolak karena tidak siap membina hubungan percintaan. Setelah itu, percumbuan yang lalu dianggap sebagai kekerasan seksual dan di-spill melalui media sosial.

Kisah-kisah semacam itu membuat kasus kekerasan seksual menjadi semakin kabur. Cerita kekerasan seksual bukan lagi digunakan untuk mencari keadilan, tetapi menjadi senjata untuk menyerang orang yang tidak disukai.

Meski demikian, cerita-cerita kekerasan seksual yang di-spill membuat publik marah yang berujung pada tindakan doxing dan cancel culture. Padahal bisa jadi cerita tersebut tidak benar. Jika pun benar, sejauh mana kita boleh bersikap? Pertanyaan-pertanyaan ini akan selalu ada selama kita belum memiliki kepastian hukum.

Dalam menyikapi kasus kekerasan seksual kita harus menempatkan satu kaki pada sisi korban dan satu kaki lain di posisi netral. Fakta hukum yang membuat kita akhirnya bisa berpihak penuh di sisi yang benar. Namun bagaimana jika sejak awal korban sejatinya bukanlah korban? Bagaimana pula kita harus bersikap jika kenyataannya kita belum memiliki mekanisme hukum?

Kenyataan ini membuat saya akhirnya menemukan siapa yang patut disalahkan.

_______________

Artikel ini pertama kali dimuat di detik.com pada 29 Maret 2022

GUSDURian. Aktif menulis di berbagai media daring.