Dua tahun sudah, pandemi Covid-19 membuat masyarakat Indonesia dan utamanya kaum Muslim mengalami disrupsi luar biasa dalam tradisi terbesarnya: mudik untuk berlebaran. Tahun ini adalah tahun kebangkitannya, setelah Presiden Jokowi mengumumkan secara resmi bahwa larangan mudik tidak akan diberlakukan di tahun 2022 ini.
Mudik Lebaran memang bukan hal yang remeh bagi bangsa Indonesia, bukan sekadar mengakhiri ibadah Ramadan, juga bukan sekadar libur panjang. Ini adalah tradisi yang sangat unik menggambarkan watak khas masyarakat Muslim Indonesia.
Dalam bahasa Gus Dur, mudik Lebaran menjadi salah satu bentuk pribumisasi Islam, di mana nilai-nilai islami diekspresikan secara khas dalam konteks masyarakat yang menghidupinya. Bakti kepada orangtua dan tetua, saling memaafkan, beribadah bersama, dan menjaga persaudaraan dengan silaturahmi adalah nilai-nilai yang sangat kuat dalam Islam, dan semua nilai ini menjadi penyebab tradisi mudik Lebaran.
Tak heran, setiap tahun jutaan orang memilih untuk mudik walaupun dengan bersusah-payah. Berbagai cerita seru menjadi rekam sejarah tradisi mudik Lebaran sejak puluhan tahun lalu. Tidak hanya berebut tiket pesawat, kereta, atau kapal, warga bahkan berebut calo tiket. Harga tiket melambung tanpa batas, itu pun tetap tidak menghalangi orang membelinya.
Yang paling klasik tentu kisah mudik dengan kereta api. Sebelum sistem perkeretaapian ditransformasi di bawah kepemimpinan Ignasius Jonan, setiap tahun kita disuguhi gambar bagaimana orang berjubel berebut masuk kereta, bahkan sampai masuk melalui jendela. Saya sempat merasakan berdiri berdesakan selama 10 jam di dalam kereta api dari Yogya menuju Jakarta, hanya bisa mengistirahatkan diri sekian menit di stasiun-stasiun pemberhentian.
Tahun 2022 ini, mudik Lebaran pasti menjadi sebuah fenomena yang luar biasa. Presiden Jokowi memberikan data, perkiraan pemudik tahun ini sekitar 85 juta jiwa. Jumlah yang fantastis untuk sebuah proses mobilitas temporer dalam jangka waktu hanya sekian hari, tetapi tak bisa dihindari sebagai dampak dua tahun tanpa mudik.
Langkah-langkah antisipasi terus dikebut oleh pemerintah terkait dengan infrastruktur penunjang mobilitas. Antisipasi juga dilakukan untuk mengurangi risiko penyebaran Covid-19. Vaksinasi booster terus diakselerasi dengan mengajak organisasi masyarakat, sebagaimana yang dilakukan Polri dan Kemenag dengan menggandeng PB Nahdlatul Ulama menyelenggarakan 1 Juta Vaksinasi Booster Serentak di seluruh Indonesia dalam kurun tiga hari.
Menarik juga untuk menyimak hasil survei preferensi mudik tahun 2022 yang dilakukan oleh perusahan penyedia jasa layanan perjalanan Pegipegi terhadap sekitar 600 orang responden dari seluruh Indonesia. Sebesar 80 persen menyatakan akan mudik tahun ini, dibandingkan dengan hanya 25 persen yang menyatakan mudik tahun lalu. Preferensi moda transportasi untuk mudik adalah pesawat 35 persen dan kendaraan pribadi 35 persen, dan sisanya terbagi antara transportasi umum lainnya. Insight ini tentu perlu menjadi bahan penyiapan infrastruktur dan pengelolaan arus di jalan raya.
Temuan lainnya adalah tentang rencana aktivitas favorit selama di kampung halaman. Kuliner bersama keluarga menjadi rencana favorit, dipilih oleh 52 persen responden. Sebanyak 27 persen memilih untuk mengunjungi tempat wisata terdekat dari kampung halaman, dan 11 persen memilih untuk staycation (menginap jangka panjang) di hotel dalam kota.
Temuan tentang aktivitas mudik ini menjadi fenomena yang menarik bila dibandingkan dengan tradisi mudik Lebaran di masa beberapa dekade lalu. Dulu, kegiatan mudik Lebaran didominasi oleh kunjungan kepada sanak-saudara untuk bermaaf-maafan dan saling menjamu. Di beberapa daerah, ini berlangsung sampai Lebaran hari ketujuh.
Bagi orang Indonesia yang kental dengan keluarga besar, mengunjungi semua tetua keluarga dan tokoh setempat menjadi kewajiban sosial. Rumusnya mirip dengan slogan SDGs: tidak ada yang tertinggal (no one left behind), sebab bila ada tetua yang tertinggal akan ada dinamika sosial yang terjadi alias ditegur sebagai sikap tidak menghormati.
Ini adalah upaya untuk menyucikan diri dari kesalahan-kesalahan di masa lalu, juga untuk menjaga hubungan persaudaraan. Anak cucu yang masih muda diperkenalkan kepada simbah atau datuk-datuk dalam keluarga besarnya. Di sinilah dibangun kinship (sistem dan semangat kekerabatan) yang menjadi benang pengikat antar-anggota keluarga. Jangankan berwisata, menjalankan tugas ini saja sudah mengambil seluruh waktu mudik.
Rupanya transformasi mudik bergerak ke arah menjauh dari tradisi silaturahmi keluarga besar. Kini kunjungan dan sungkeman hanya dilakukan kepada keluarga terdekat saja, sedangkan silaturahmi dengan keluarga besar disederhanakan bertemu dalam kegiatan halalbilhalal bila ada. Waktu mudik Lebaran kemudian lebih banyak digunakan untuk berlibur bersama keluarga dekat. Bila demikian, nilai-nilai yang dulu menjadi semangat mudik lebaran tentunya juga mengalami perubahan.
Apakah perubahan tradisi ini merefleksikan perubahan nilai pada masyarakat, menjauh dari sistem keluarga besar menjadi semakin mengecil menjadi fokus pada keluarga batih? Bagaimana dampaknya terhadap sistem kekerabatan dan sistem sosial di Indonesia? Seberapa besar tradisi mudik lebaran memengaruhi dinamika sistem sosial di Indonesia?
Alangkah menarik bila ada riset yang mendalaminya untuk membantu pemahaman kita. Jangan-jangan suatu ketika nanti, sebagian besar tradisi dengan nilai-nilai luhur itu hilang, hanya menyisakan ritual makan opor ayam dalam mudik Lebaran. Semoga tidak!
________________
(Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 24 April 2022)
Sumber: kompas.id