Innalillahi wa inna ilaihi raji’uun.
Ya Allah, bangsa ini sungguh kehilangan mutiara yang berharga, mata air kearifan: Buya Maarif.
Buya adalah tokoh yang sangat dihormati Gus Dur. Buya sendiri sering berujar kalau dalam kondisi sekarang beliau merindukan Gus Dur. “Gara-gara Gus Dur sudah tidak ada, tinggal saya sendirian yang harus bicara dan dikejar media.”
Kesahajaan Buya Maarif adalah inspirasi. Buya selalu merasa sebagai orang biasa, enggan diberi perlakuan khusus. Antri ya antri. Naik pesawat juga selalu kelas ekonomi. Itu membuat saya sadar diri. Saya tidak ada apa-apanya dibanding beliau. Jadinya saya lebih kuat menjaga diri & menghindari pelayanan-pelayanan khusus, biar tetap grounded & membumi. Kalau naik pesawat, naik ekonomi saja, malu sama Buya.
Beliau tidak begitu suka dibantu. Dibawain tasnya saja, ndak mau. Makanya saat Buya berkenan saya tuntun, saya senang sekali. Berkah buat saya.
Saya beruntung, berulang kali mengobrol berdua, di mana saja. Di rumah, di kantor Muhammadiyah, di kantor, di pesawat, di bandara, di acara-acara. Begitu banyak pelajaran berharga dari beliau.
Saya bersaksi, Buya orang yang berhati bersih, bernurani jernih, dan berjiwa besar. Segalanya dilakukan untuk umat dan bangsa.
Buya sudah mengakhiri tugas sebaik-baik manusia: membawa banyak kebaikan bagi bangsanya. Semoga kami pun bisa sepertimu. Tugas kami membawa obor kehidupan bangsa, mencintai dan merawatnya sebagaimana Buya & Gus Dur teladankan.
Selamat jalan, Buya Maarif. Semoga Allah SWT menerimamu dengan sebesar-besarnya cinta-Nya. Lahu al-fatihah.