Pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) di seluruh tanah Papua secara masif dilakukan pasca-pemberlakuan UU Otonomi Khusus 2001. Pemekaran DOB terbanyak pada tahun 2002, yaitu 14 kabupaten dimekarkan bersamaan berdasarkan UU No. 26 Tahun 2002.
Selanjutnya secara bertahap pemerintah memekarkan DOB kabupaten/kota hingga tahun 2009. Total daerah otonom di tanah Papua pada masa Otonomi Khusus (Otsus) jilid I adalah 2 provinsi, 40 kabupaten dan 2 kota. Dengan adanya Otonomi Khusus Papua jilid I dan bertambahnya Daerah Otonom Baru maka muncul beberapa persoalan sosial yang menjadi perhatian dan keprihatinan mayoritas masyarakat Papua, yaitu marginalisasi dan depopulasi orang asli Papua (OAP).
Persoalan tersebut masih sulit dituntaskan hingga diberlakukan UU Otsus No. 2 Tahun 2021 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Dengan motif yang sama seperti awal Otsus jilid 1, setelah perubahan UU Otsus dibarengi dengan pemekaran DOB 3 provinsi. Dengan demikian, di tanah Papua terdapat 5 provinsi, yaitu: Provinsi Papua, Papua Barat, DOB Provinsi Papua Selatan, DOB Provinsi Papua Tengah, dan DOB Provinsi Papua Pegunungan Tengah.
Setelah pemekaran provinsi nantinya ada pemekaran kabupaten/kota. Salah satu dampak dari pemekaran DOB yang saat ini dikhawatirkan oleh mayoritas masyarakat asli Papua adalah meningkatnya pertumbuhan penduduk akibat migrasi penduduk masuk, seperti yang terjadi sepuluh tahun pertama Otsus jilid I.
Menurut Data BPS tahun 2010, laju pertumbuhan penduduk sepanjang tahun 2000-2010 di Provinsi Papua adalah yang tertinggi di Indonesia, yaitu 5.39, sedangkan Provinsi Papua Barat sebesar 3.71. Sementara rata-rata nasional adalah 1.49. Salah satu faktor laju pertumbuhan penduduk tertinggi di Indonesia adalah transmigrasi dari luar masuk ke tanah Papua untuk mencari peluang kerja di provinsi dan kabupaten yang baru dimekarkan.
Sepuluh tahun berikutnya mulai dari tahun 2010-2019 laju pertumbuhan penduduk sedikit berkurang tetapi masih di atas rata-rata angka nasional, seperti di Provinsi Papua sebanyak 1.88 sedangkan Provinsi Papua Barat lebih tinggi yaitu 2.55. Angka pertumbuhan penduduk tersebut masih di atas angka rata-rata nasional sebesar 1.31. Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi disebabkan oleh migrasi masuk yang erat kaitannya dengan pertimbangan dan motif ekonomi. Menurut Data BPS tahun 2015, migrasi neto seumur hidup di Provinsi Papua Barat di tahun itu sebanyak 220,392 jiwa. Selanjutnya selama empat tahun bertambah 17,995 jiwa sehingga total migran masuk seumur hidup tahun 2019 sebanyak 238,387 jiwa.
Lima besar provinsi asal migran seumur hidup ke Provinsi Papua Barat berasal dari Maluku 17,1%, Sulawesi Selatan 15,8%, Jawa Timur 15,1%, Papua 10,6%, dan Jawa Tengah 10,1%. Sedangkan migrasi neto di Provinsi Papua tahun 2015 sebanyak 402,395. Migrasi terus bertambah, dari tahun 2015 hingga 2019 telah bertambah 26,181 jiwa sehingga total migran neto sebesar 428,576.
Lima besar provinsi asal migran seumur hidup yang datang ke provinsi Papua berasal dari Sulawesi Selatan 31,4%, Jawa Timur 16,7%, Jawa Tengah 11,4, Maluku 8,5, dan Nusa Tenggara Timur 5,3.
Berdasarkan data pertumbuhan penduduk akibat migrasi tersebut dikhawatirkan setelah pemekaran DOB 3 provinsi dan kabupaten/kota akan mengundang migrasi masuk secara besar-besaran ke tanah Papua untuk mengisi sebagian peluang lapangan kerja di pemerintahan dan perusahaan baru yang dibuka sehingga orang asli Papua semakin termarginalkan. Sebab faktanya selama 20 tahun Otsus jilid I dan pemekaran beberapa Daerah Otonom Baru di tanah Papua segala aspek kehidupan di sana masih didominasi oleh non-Papua, seperti UMKM, jabatan fungsional dan struktural di pemerintahan, pimpinan dan tenaga kerja di perusahaan swasta dan BUMN, anggota DPRD Kabupaten/Kota di Papua, dan sebagainya; hampir semua sudah didominasi oleh non-asli Papua.
Masyarakat asli Papua semakin termarginal, lalu muncul ancaman depopulasi orang asli Papua yang semakin meningkat setiap tahun. Untuk itu, dalam artikel ini akan menguraikan fakta-fakta marginalisasi dan depopulasi OAP di 2 provinsi lama dan 3 DOB Provinsi. Pembagian wilayah kabupaten/kota di setiap provinsi yang akan dibahas dalam artikel ini didasarkan pada hasil rancangan RUU DOB Papua oleh DPR RI.
Ancaman Depopulasi OAP Per Provinsi
Provinsi Papua meliputi Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Mamberamo, Sarmi, Kepulauan Yapen, Keerom, Waropen, Biak Numpor, Supiori, Nabire, dan Pegunungan Bintang. Pertumbuhan penduduk di wilayah ini semakin meningkat dari tahun ke tahun. Menurut data BPS tahun 2011, total jumlah penduduk tahun 2010 di 11 kabupaten/kota yang termasuk Provinsi Papua ini sebanyak 904,232 dan tahun 2020 meningkat menjadi 1,255,094, yang artinya terjadi peningkatan penduduk sebesar 28% sepanjang 10 tahun.
Komposisi penduduk orang asli Papua dan non-Papua hanya bisa menggunakan data Sensus
Penduduk tahun 2010 karena pada data Sensus Penduduk Tahun 2020 belum disajikan
data komposisi penduduk Papua berdasarkan kategori penduduk asli Papua dan non-Papua. Oleh karena itu, penulis menggunakan data SP-2010 dan data pendukung lainnya dari BPS untuk menggambarkan persoalan marginalisasi dan depopulasi di tengah pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat setiap tahun. Berdasarkan hasil olah data BPS SP-2010, komposisi penduduk OAP dan non-OAP di wilayah provinsi ini adalah OAP sebanyak 59% dan non-OAP sebanyak 41%. Beberapa kabupaten/kota didominasi oleh non-OAP, yaitu Kota Jayapura non-OAP 65%, Nabire non-OAP 52.46%, dan Keerom non-OAP 59%. Beberapa kabupaten yang non-OAP masih cukup signifikan, yaitu Jayapura 38.52%, Yapen Waropen 21.91%, Biak Numfor 26.18%, Sarmi 29.75%, dan Waropen 20.41%.
Komposisi penduduk ini merupakan data 10 tahun yang lalu. Artinya sudah pasti ada perubahan komposisi penduduk yang cukup signifikan karena berdasarkan data BPS tahun 2021 selama 10 tahun ini ada penambahan penduduk sebesar 310,795 jiwa. Salah satu penyebab peningkatan penduduk tersebut adalah migrasi penduduk non-Papua ke wilayah Provinsi Papua. Gejalah dominasi non-Papua tampak dari perolehan kursi DPRD Kabupaten/Kota periode 2019-2024, seperti Kota Jayapura dari 40 kursi: 27 non-OAP dan 13 OAP, Keerom dari 20 Kursi: 13 non-OAP dan 7 OAP. Termasuk kabupaten lain yang 10 tahun lalu masih didominasi OAP sekarang kursi legislatif dikuasai non-OAP, seperti Kabupaten Sarmi dari 20 kursi: 13 non-OAP dan 7 OAP, Kabupaten Jayapura dari 25 Kursi: 18 orang non-OAP dan 7 OAP.
Kabupaten Pegunungan Bintang-lah yang masih didominasi OAP dengan komposisi 95% OAP dan 5% non-OAP. Kursi DPRD juga 100% masih OAP. Kabupaten ini masih didominasi OAP karena baru dimekarkan tahun 2002. Belum ada industri/perusahaan pengelolaan kekayaan alam. Sebagian daerah juga masih terisolasi dan belum terhubung dengan berbagai jenis moda transportasi. Ke depan, setelah ada pemekaran provinsi, jalan akan terhubung antarkabupaten, antardistrik, dan kampung, tentu komposisi penduduk akan berubah seperti kabupaten lainnya.
DOB Provinsi Papua Selatan meliputi Kabupaten Merauke, Boven Digoel, Mappi, dan Asmat. Menurut data BPS tahun 2011, total jumlah penduduk tahun 2010 di 5 kabupaten yang termasuk Provinsi Papua Selatan sebesar 407,200. Sepuluh tahun kemudian terjadi pertumbuhan penduduk yang cukup signifikan. Menurut data BPS tahun 2021, jumlah penduduk tahun 2020 sebesar 513,617 jiwa, artinya terjadi peningkatan penduduk sebesar 21%. Komposisi penduduk di wilayah ini berdasarkan data SP-2010, adalah OAP 61% dan non-OAP 39%. Penduduk non-OAP di Merauke mendominasi dengan angka 62.73% dari total penduduknya. Sementara daerah lain masih didominasi oleh OAP.
Namun dengan pertumbuhan penduduk yang signifikan dalam 10 tahun terakhir ini tentu memberikan dampak pada komposisi penduduk penduduk OAP dan non-OAP. Beberapa fakta yang terjadi sepanjang 5 tahun terakhir ini bisa menjadi rujukan bagi kita untuk menilai eksistensi OAP di wilayah ini. Salah satu fakta, perolehan kursi DPRD periode 2019-2024.
Kabupaten Merauke dari 30 Kursi: 27 non-OAP dan 3 OAP, Kabupaten Asmat dari 25 Kursi: 11 non-OAP dan 14 OAP, Kabupaten Boven Digoel dari 20 Kursi: 14 non-OAP dan 6 OAP. Perolehan kursi DPRD di wilayah selatan ini mengindikasikan bahwa populasi penduduk OAP sudah mulai menjadi minoritas.
DOB Provinsi Papua Tengah meliputi Kabupaten Paniai, Mimika, Puncak, Dogiyai, Intan Jaya, dan Deiyai. Menurut data BPS tahun 2011, total jumlah penduduk tahun 2010 di 6 Kabupaten yang termasuk Provinsi Papua Tengah sebanyak 576,827 jiwa. Terjadi pertumbuhan penduduk selama 10 tahun. Menurut data BPS tahun 2021, total jumlah penduduk tahun 2020 sebanyak 997,460, artinya terjadi peningkatan penduduk sebesar 42%. Komposisi penduduk di wilayah ini berdasarkan data SP-2010, yaitu OAP 82% dan
non-OAP 18%.
Secara umum wilayah ini masih didominasi penduduk OAP, hanya di Kabupaten Mimika penduduk Non-Papua masih mendominasi dengan jumlah 57.49%. Dominasi non-OAP di Mimika berpengaruh juga dalam perolehan kursi anggota DPRD Periode 2019-2024, yaitu dari 35 kursi: non-OAP 17 orang dan OAP 18 orang. Kabupaten lainnya pada tahun 2010 masih didominasi OAP, namun dengan pertumbuhan penduduk 10 tahun terakhir ini komposisinya berbeda.
DOB Provinsi Papua Pegunungan meliputi Jayawijaya, Puncak Jaya, Yahukimo, Tolikara, Nduga, Lanny Jaya, Mamberamo Tengah, dan Yalimo. Menurut data BPS tahun 2011, total jumlah penduduk tahun 2010 di 8 kabupaten yang termasuk DOB Provinsi Papua Pegunungan Tengah sebanyak 891,885. Terjadi pertumbuhan penduduk selama 10 tahun.
Menurut data BPS tahun 2021, total jumlah penduduk tahun 2020 sebanyak 1,537,536. Artinya terjadi peningkatan penduduk sebesar 42%. Komposisi penduduk di wilayah ini berdasarkan data SP-2010 adalah OAP 97% dan non-OAP 3%. Wilayah ini termasuk salah satu provinsi yang memiliki jumlah populasi OAP terbanyak di tanah Papua.
Berdasarkan hasil pendataan penduduk asli Papua oleh Pemerintah Provinsi Papua tahun 2019/2020, penduduk berdasarkan marga berjumlah 2.386.048 jiwa. Data tersebut menunjukkan marga asli dari wilayah adat Lapago (wilayah DOB Provinsi Papua Pegunungan Tengah) mendominasi total penduduk OAP. Populasi marga terbanyak di Provinsi Papua adalah Kogoya sebanyak 160.292 jiwa, Wenda berjumlah 110.556 jiwa, Tabuni berjumlah 82.180 jiwa, Wonda berjumlah 79.039 jiwa, dan Murib berjumlah 68.743 jiwa.
Data tersebut menunjukkan bahwa pusat orang asli Papua terdapat di wilayah ini. Namun seiring dengan perkembangan pembangunan di wilayah ini, terutama di Kota Wamena yang akan dijadikan sebagai ibu kota provinsi sudah mulai didominasi oleh non-OAP. Tentu pertumbuhan penduduk migran di wilayah ini akan terus meningkat setiap tahun seiring dengan perkembangan pembangunan.
Provinsi Papua Barat meliputi Kabupaten Fakfak, Kaimana, Teluk Wondama, Teluk Bintuni, Manokwari, Manokwari Selatan, Pegunungan Arfak, Sorong Selatan, Sorong, Raja Ampat, Tambrauw, Maybrat, dan Kota Sorong. Menurut data BPS tahun 2011, total jumlah penduduk Provinsi Papua Barat tahun 2010 sebanyak 760.422. Terjadi pertumbuhan penduduk selama 10 tahun. Menurut data BPS tahun 2021, total jumlah penduduk tahun 2021 sebanyak 1.134.068, artinya terjadi peningkatan penduduk sebesar 33%.
Komposisi penduduk berdasarkan data SP-2010 beberapa kabupaten di wilayah ini sudah mulai
didominasi oleh non-OAP, seperti di Kota Sorong penduduk non-Papua mencapai 73,93 persen. Salah satu fakta, perolehan kursi anggota DPRD periode 2019-2024 di provinsi ini didominasi oleh non-OAP mengindikasikan populasi OAP semakin sedikit.
Perolehan kursi anggota DPRD di Kota Sorong dari 30 kursi: non-OAP 24 dan OAP 6, Kabupaten Sorong dari 25 kursi: non-OAP 18 dan OAP 7, Kabupaten Sorong Selatan dari 20 kursi: 17 non-OAP dan 3 OAP, Kabupaten Raja Ampat dari 20 kursi: 11 non-OAP dan 9 OAP, Kabupaten Fakfak dari 20 kursi: 8 OAP dan non-OAP 12 orang, Kabupaten Teluk Wondama dari 25 kursi: 11 OAP dan 14 non-OAP. Komposisi kursi anggota DPRD Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat tersebut mengindikasikan bahwa dalam 10 tahun terakhir ini komposisi penduduk didominasi oleh non-OAP.
Faktor Dominan Depopulasi OAP
Banyak faktor yang menyebabkan depopulasi OAP. Namun dalam artikel ini hanya membahas 4 faktor dominan, yaitu akibat penyakit HIV/AIDS, konflik OPM dengan TNI/Polri, minuman keras, dan kualitas hidup sehat yang masih rendah.
Pertama, ancaman depopulasi akibat penyakit HIV/AIDS di tanah Papua semakin meningkat setiap tahun. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua Barat, Otto Parorongan melaporkan kasus HIV/AIDS per September 2020 mencapai 20.496. Penderita penyakit HIV/AIDS terus bertambah dan setiap tahun ada kasus kematian. Pada tahun 2018 lalu, Dinas Kesehatan Provinsi Papua Barat melaporkan 426 kasus kematian.
Sedangkan di Provinsi Papua, Ketua harian Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Provinsi Papua, dr. Anton Tony Mote melaporkan jumlah data pengidap kasus HIV/AIDS di Provinsi Papua hingga 1 Desember 2021 mencapai 46.967 kasus. Kasus tersebut tersebar di 29 kabupaten/kota Provinsi Papua.
Kasus HIV/AIDS tersebut ini lebih banyak diidap oleh kalangan orang asli Papua yang masih berusia produktif. Jumlah penderita HIV/AIDS yang terus meningkat setiap tahun ini semakin mengancam kehidupan orang asli Papua. Generasi muda Papua yang diharapkan menjadi iron stock atau penyambung keturunan marga/klen dan sukunya sebagian sudah tertular penyakit mematikan ini, sehingga akan memutus keberlanjutan keturunan akibat kematian dini.
Akibat dari ini akan terjadi pelambatan pertumbuhan penduduk OAP di masa mendatang. Kalau tidak segera ditangani dengan baik akan terjadi depopulasi masif.
Kedua, kematian akibat konflik OPM dengan TNI/POLRI. Pada masa Orde Baru, sepanjang tahun 1970-1998 sampai detik-detik Reformasi digulirkan di Indonesia, masyarakat Papua hidup dalam cengkraman rezim Orde Baru yang otoriter dan militeristik.
Pada masa ini banyak kasus pembunuhan terhadap OAP saat melakukan operasi militer. Beberapa operasi militer yang cukup terkenal, yaitu Operasi Sadar (1965-1967), Operasi Batarayudha (1967-1969), Operasi Wibawa (1969), Operasi Koteka di Jayawijaya (1977), Operasi Sapu Bersih I dan II (1981), Operasi Tumpas (1983-1984), Operasi Sapu Bersih III (1985).
Tahun 1996 operasi militer di Mapenduma, Biak berdarah tahun 1998-1996, operasi militer di Mapenduma, Biak berdarah tahun 1998, Abepura Berdarah, Wasior Berdarah, dan Wamena Berdarah tahun 2001. Sepanjang operasi militer tersebut banyak merenggut nyawa masyarakat asli Papua. Setelah pemberlakuan Otsus jilid I juga kasus pembunuhan masyarakat sipil OAP terus berlanjut, terutama pembunuhan masyarakat sipil OAP di daerah-daerah konflik, seperti di Nduga, Puncak, Puncak Jaya, Timika, Yahukimo, Intan Jaya, dan wilayah lainnya.
Kasus pembunuhan pelajar, mahasiswa, dan aktivitas saat aksi protes atau demo di beberapa kota, seperti kasus terbaru pembunuhan massa demo tolak pemekaran DOB Papua di Yahukimo tahun 2022, pembunuhan massa aksi tolak rasisme di Deiyai tahun 2019, pembunuhan pelajar di Paniai tahun 2014, dan masih banyak lagi kasus pembunuhan saat aksi damai yang berujung ricuh.
Jumlah kasus pembunuhan di penghujung Otsus jilid I, Amnesty International Indonesia mencatat total ada 95 jiwa meninggal dunia dalam berbagai kasus di Papua. Rinciannya: pada tahun 2018 ada 12 kasus yang mengakibatkan 18 jiwa meninggal, tahun 2019 ada 16 kasus dengan 32 jiwa meninggal, tahun 2020 ada 19 kasus dengan 30 jiwa meninggal, tahun 2021 ada 11 kasus dengan 15 jiwa meninggal, dan masih banyak kasus pembunuhan yang belum terdata dengan baik.
Hal ini menunjukkan bahwa sepanjang konflik politik antara OPM dengan TNI pasca Pepera tahun 1969 sampai saat ini berkontribusi terhadap depopulasi orang asli Papua.
Ketiga, Kematian OAP akibat minuman keras terus meningkat di seantero tanah Papua. Kebiasaan sebagian OAP minum minuman keras secara berlebihan menjadi faktor penyebab komplikasi penyakit yang dapat berakibat fatal, seperti gangguan pencernaan, penurunan fungsi otak dan saraf, disfungsi seksual, kanker, serangan jantung, diabetes, gangguan kehamilan, kerusakan tulang, gangguan fungsi mata, dan penyakit hati, sehingga terjadi kematian dini.
Pada 2017 Gubernur Papua Lukas Enembe mengatakan, sebanyak 22% kematian di tanah Papua disebabkan konsumsi minuman keras (miras).
Hal itu membuat miras jadi salah satu penyebab terkikisnya populasi penduduk asli Papua selain
penyakit-penyakit di daerah tersebut. Laporan Polda Papua juga mengiyakan asumsi Gubernur Papua Lukas Enembe. Data yang dilansir pada 2019 menyimpulkan bahwa 1.485 kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan 277 warga meninggal sebagian besar terjadi didahului konsumsi miras.
Keempat, kematian akibat kualitas hidup sehat masih rendah. Kesadaran OAP untuk hidup sehat masih rendah sehingga rentan terkena penyakit. Diperparah dengan minimnya fasilitas kesehatan dan tenaga medis di daerah pedalaman sehingga penyakit yang seharusnya bisa disembuhkan tetapi tak bisa tertolong. Kasus kematian rata-rata di daerah pedalaman, seperti kasus gizi buruk di Asmat tahun 2018.
Mantan Menteri Kesehatan, Nila Djuwita F Moeloek melaporkan kurang lebih ada 71 orang meninggal akibat wabah campak dan gizi buruk. Menurut data BPS tahun 2012, angka kematian balita per 1000 kelahiran hidup di Provinsi Papua menempati posisi pertama sebanyak 115 dan selanjutnya Provinsi Papua Barat sebanyak 209. Angka ini jauh lebih besar dari rata-rata angka nasional sebesar 40.
Angka kematian ibu per pulau tahun 2015 juga menunjukkan bahwa NTT, Maluku dan Papua menempati posisi terbanyak, yaitu 489 kasus. Tahun 2016 Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua dr. Aloysius Giyai, M.Kes mengungkapkan angka kematian bayi di sembilan kabupaten di Provinsi Papua pada tahun 2016 masih cukup tinggi, yakni 20 kematian per 1.000 kelahiran bayi.
Sembilan wilayah itu terletak di daerah pegunungan tengah dan kepulauan di Papua, yaitu Pegunungan Bintang, Puncak, Puncak Jaya, Nduga, Yahukimo, Mamberamo Tengah, Deiyai, Dogiyai, dan Waropen. Kematian bayi di Papua tertinggi karena salah satu faktornya adalah kualitas hidup yang masih rendah di kalangan masyarakat asli Papua.
Kematian akibat kualitas hidup yang rendah juga tercermin dari data Angka Harapan Hidup (AHH) yang masih di bawah rata-rata nasional. Seperti tahun 2021 Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan Angka Harapan Hidup penduduk Provinsi Papua terhitung pada saat lahir selama 65,93 tahun dan Provinsi Papua Barat selama 66,14 tahun. Angka tersebut masih di bawah rata-rata AHH nasional, yaitu 73,5 tahun terhitung mulai pada saat lahir.
Orang Asli Terancam
Persoalan sosial yang sangat urgen di tanah Papua saat ini adalah marginalisasi dan ancaman depopulasi OAP. Selama 20 tahun Otsus jilid 1 berlaku di tanah Papua, Pemerintah Pusat hingga di Daerah belum menunjukkan arah pembangunan yang pro terhadap masyakat asli Papua sehingga semakin termarginalkan di semua bidang dan ancaman depopulasi semakin menguat di tengah gencarnya pembangunan infrastruktur di tanah Papua.
Sebagian kabupaten/kota penduduk OAP sudah menjadi minoritas, seperti Kota Jayapura, Kota Sorong, Nabire, Timika, Merauke, dan lain-lain. Oleh karena itu, pemekaran 3 DOB Provinsi hingga menjadi 5 Provinsi di Tanah Papua membuat mayoritas OAP pesimis dengan eksistensi hidupnya di masa mendatang. Pernyataan sederhananya adalah “Dua provinsi saja orang asli Papua sudah minoritas, apalagi menjadi lima provinsi, nanti kondisinya akan parah”.
Pernyataan ini didasari oleh pertumbuhan penduduk yang signifikan akibat migrasi masuk untuk mengisi berbagai peluang yang ditawarkan atas hadirnya DOB, dan di saat yang sama pula depopulasi OAP meningkat akibat tingginya kasus penyakit HIV/AIDS, konflik OPM dengan TNI/Polri, minuman keras dan kualitas hidup sehat yang masih rendah.
Oleh karena itu, persoalan marginaliasi dan ancaman depopulasi harus menjadi fokus utama dalam pemberlakuan UU Otsus jilid II dan Pemekaran DOB Provinsi di Papua.
Salah satu kelemahan mendasar pemerintah selama ini adalah belum adanya data orang asli Papua yang up to date di setiap wilayah adat dan kabupaten/kota. Badan Pusat Statistik Provinsi Papua dan Dinas Kependudukan juga sejauh ini belum cukup membantu pemerintah menyediakan data orang asli Papua.
Selama ini masih menggunakan data Sensus Penduduk SP-2010 yang disajikan berdasarkan suku bangsa, yakni komposisi penduduk orang asli Papua dan non-Papua berdasarkan kabupaten/kota. Data SP-2010 ini yang selama ini dijadikan sebagai rujukan untuk memetakan komposisi penduduk di setiap wilayah.
Sekarang sudah lebih 10 tahun, sudah pasti banyak perubahan komposisi penduduk di setiap wilayah. Untuk itu, diharapkan Data Sensus Penduduk 2020 dari BPS atau Data Penduduk dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil bisa menyediakan data komposisi OAP dan non-OAP di setiap wilayah.
Data ini sangat penting untuk memproteksi hak-hak dasar orang asli Papua di setiap wilayah. Selain itu, dalam rangka melindungi dan menjunjung harkat martabat, memberi afirmasi, dan melindungi hak dasar Orang Asli Papua, baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun sosial-budaya, perlu diberi kepastian hukum.
Sekarang sudah ada perubahan UU Otonomi Khusus No. 2 Tahun 2021. Regulasi tersebut harus diperkuat atau dibuat regulasi turunan untuk meminimalisir persoalan marginalisasi dan ancaman depopulasi, misalnya dibuat PP/Perppres/Perdasus tentang perlindungan dan pemberdayaan OAP, PP/Perppres/Perdasus tentang pembatasan migran masuk ke tanah Papua, PP/Perppres/Perdasus Tentang Perlindungan Tanah Adat, dan lain-lain yang bertujuan untuk memastikan eksistensi orang asli Papua saat ini dan masa mendatang.