Social Media

Menemukan Allah dalam Pengorbanan: Merayakan Idul Adha bersama St. Ignasius Loyola

“Ambillah Tuhan, dan terimalah
Seluruh kemerdekaanku, ingatanku, pikiranku,
Dan segenap kehendakku, segala kepunyaan dan milikku.
Engkaulah yang memberikan,
Pada-Mu Tuhan, kukembalikan.
Semuanya milik-Mu, pergunakan sekehendak-Mu.
Berilah aku cinta dan rahmat-Mu,
Cukup itu bagiku”

(St. Ignasius Loyola, LR No. 234)

Syahdan, Abraham (Bapak Umat Beriman) yang sedang merindukan sosok Sang Ilahi—ketika menyaksikan matahari, kemudian menyembahnya karena menyaksikan kejadian luar biasa yang ia sangka di sanalah Realitas Tertinggi bernama Tuhan berada. Namun ketika matahari tenggelam, Abraham merasa kecewa karena Tuhan yang ia sembah mestinya tidak dapat tenggelam.

Lalu ketika ia melihat bulan—ia pun terdorong menyembahnya. Namun, ternyata bulan pun dapat tenggelam sebagaimana matahari. Abraham pun mulai gelisah melihat sesembahannya yang semu itu. Dia mencari lagi, mencari Tuhan yang sejati—yang tak termakan waktu. Mencari pencipta matahari dan bulan yang fana itu. Ia mulai memikirkan hal di balik ciptaan-ciptaan Tuhan itu. Satu realitas serta dzat yang melampaui semua materi tersebut. Hal ini yang juga dapat ditemukan ketika kita membuka kembali riwayat peziarahan seorang guru besar kehidupan spiritual manusia, Santo Ignasius dari Loyola dalam peziarahannya mematangkan spiritualisnya—“menemukan Dia dalam segala”.

*

Tepat pada tanggal 9 (atau 10) Juli besok, umat muslim di seluruh dunia –termasuk Indonesia– akan merayakan serta mengingat kembali momentum bersejarah dalam tradisi imannya, yakni memperingati pengorbanan Ibrahim atau di kalangan Kristiani akrab disapa Abraham. Sosok yang mendapat julukan bapak umat beriman ini memang menjadi titik temu dari tiga tradisi agama sekaligus. Ketiga tradisi agama ini kembali diingatkan sebuah peristiwa bersejarah tentang utusan Tuhan bernama Abraham yang juga melalui peziarah panjang mencari serta menemukan hingga kemudian mentaati Tuhan yang kemudian memberi pengajaran kepada Abraham tentang makna pengorbanan.

Menemukan Allah Dalam Segala Dan Segala Dalam Allah: Menjalani Laku Pengorbanan Lillahi Ta’ala

Dalam lintasan peziarah panjang Inigo Lopez de Loyola—demikian sapaan masa kecilnya, hingga pada malam perjalanannya ke Roma, Ignasius mendapat penampakan Yesus yang bersabda “Aku akan memberkatimu di Roma”. Pada titik inilah kemudian Ignasius mencapai puncak kematangan rohaninya dengan kemudahan “menemukan Tuhan dalam segala”. (L.A. Sardi, SJ, 2018: 76. Banawiratma, 2017: 134).

Kontemplasi untuk mendapatkan cinta. Pada bagian pendahuluan dari Latihan Rohani (LR) ini, Ignasius menekankan dua prinsip. Pertama, cinta harus lebih diwujudkan dalam perbuatan daripada diungkapkan dalam kata-kata (LR. 230). Kedua, cinta terwujud dalam saling memberi kedua belah pihak. Yang mencintai memberi dan berbagi dengan yang dicintai apa yang dia miliki atau sesuatu yang mampu dia berikan: begitu juga sebaliknya. Dengan demikian, cinta adalah berbagi dan saling memberi. (P. Bagus Widyawan, SJ, 2019: 31)

Buah dari kontemplasi ini adalah usaha untuk melakukan pelayanan. Dalam terang hablu min Allah atau mengasihi/mencintai Allah, seseorang akan menyerahkan segala hal kepada Allah dan memohon cinta dan rahmat-Nya karena itu cukup baginya. Demikian juga yang diterangkan oleh Ignasius Loyola dalam LR No. 234 di atas yang juga pernah diungkapkan oleh sufi perempuan bernama Rabi’ah al-Adawiyah yang tidak lagi membutuhkan surga atau pahala—yang ia butuhkan adalah Tuhan Semesta Alam—Sang Kekasih semata.

Dalam sebuah munajat atau doa yang dipanjatkan kepada Sang Kekasih, Rabi’ah al-Adawiyah dengan mahabbah atau kecintaan kepada Allah. Tak berbeda dengan St. Ignasius Loyola yang juga menginginkan Allah saja.

“Ya Allah, apa pun yang akan Engkau
karuniakan kepadaku di dunia ini,
berikanlah kepada musuh-musuh-Mu.
Dan apa pun yang akan Engkau
karuniakan kepadaku di akhirat nanti,
berikanlah kepada sahabat-sahabat-Mu.
Karena Engkau sendiri, cukuplah bagiku”.

(Rabi’ah al-Adawiyah)

*

St. Ignasius Loyola setidaknya sudah memberi isyarat bahwa menemukan Tuhan dalam segala merupakan proses rohani yang tidak singkat. Demikian juga yang dialami oleh Abraham ketika harus menanti kelahiran putranya yang amat lama—hingga datang suatu hari, Sang Khalik memintanya untuk dikurbankan sebagai tanda ketaatan atau kepatuhan terhadap perintah-Nya.

Kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam hidup manusia ini terus bergerak dari tataran spiritual yang abstrak menuju ke tataran kehidupan sehari-hari yang konkrit. Ignasius memberikan satu model latihan dalam kehidupan sehari-hari dengan istilah examen conscientiae, yakni sebuah pemeriksaan kesadaran bahwa Tuhan sungguh hadir dalam kehidupan serta kegiatan kita.

Dalam dinamika LR, orang-orang yang menjalaninya diajak untuk merenungkan kembali secara imajinatif kelahiran, kehidupan (karya), kematian serta kebangkitan Kristus. Secara khusus, “kontemplasi untuk mendapatkan cinta”—mengundang umat beriman untuk mencintai dan melayani Tuhan dalam setiap aspek kehidupan.

Permenungan ini membantu kita untuk mengalami Tuhan dalam cinta lewat seluruh pengalaman hidup kita. Pengalaman menjadi basis dan sarana menghadirkan kesadaran bahwa Tuhan dapat ditemukan dalam segala hal, termasuk dalam pengorbanan. Momentum Idul Adha atau sering disebut Idul Qurban diperingati juga sebagai momentum untuk semakin meningkatkan kadar ketakwaan atau mengasihi Allah sebagaimana kata “qurban” diambil dari bahasa Arab “qarib” dan Ibrani “qarava” yang sama-sama berarti dekat atau mendekatkan, dalam hal ini—mendekatkan diri kepada Sang Kekasih—Sang Ilahi.

Iman merupakan sesuatu yang abstrak. Namun beriman, adalah sesuatu yang hal konkrit. Tentu beriman bukan dalam hal kognisi atau pengetahuan saja, hal ini tentu tidak cukup. Beriman adalah perkara hubungan seseorang dengan Allah Sang Pencipta serta sesama ciptaan-Nya. Dari sini, beriman merupakan proses setia terhadap jalan yang dipilih meski merupakan suatu anugerah yang sudah barang tentu membutuhkan perjuangan untuk membangun serta membawa dampak bagi semesta.

Spiritualitas Ignasian yang terletak pada “mencari dan menemukan Tuhan dalam segala hal” adalah satu dorongan atau motivasi bagi para pecinta di jalan Allah. Dalam disposisi batin yang demikian dan kenyataan bahwa kita hidup era dimana ego kemanusiaan serta sifat kebinatangan begitu deras ingin menguasai kesadaran batiniah manusia. Dari sini, Allah senantiasa mengajak manusia untuk meng-Ilahi, untuk menyadari eksistensi dirinya sebagai ciptaan yang memiliki kemuliaan serta pancaran Ilahi.

Perkembangan spiritualitas Ignasius dihayati dengan latihan-latihan rohani, sebagaimana perkembangan dan kesehatan fisik dihayati dengan latihan-latihan jasmani. Latihan-latihan rohani merupakan kegiatan agar diri sendiri terbuka dan siap untuk menyambut karunia yang dimohonkan. Oleh karena itu, kalau Ignasius mencari dan menemukan Allah dalam segala dan segala dalam Allah, bisa dikatakan Allah mencari dan menemukan Ignasius agar di mana pun dan kapan pun Ignasius bersama dengan Allah secara aktif ikut mengerjakan proses evolusioner karya-Nya. (Banawiratma, 2017: 141).

*

Quad mihi agendum? Apa yang mesti aku perbuat? Dari sikap rohani dan usaha pribadi tersebut, lahirlah maksim Ignasian yang berbunyi, “Berusahalah sekuat usaha, seakan-akan semuanya tergantung kepada Allah dan percayakan semuanya kepada Allah seakan-akan semua tergantung pada usahamu sendiri. Inilah sikap mengandalkan Tuhan yang memacu usaha dan kreativitas seorang manusia atau usaha sungguh-sungguh (jihad) seorang manusia beriman dengan keterbukaan terhadap penyelenggaraan Ilahi.” (L.A. Sardi, SJ, 2018: 63)

Kita mencari dan menemukan Allah dalam dalam segala sekaligus menjadi semangat pengorbanan kita—itulah wujud dari cinta tertinggi kepada Tuhan. Mengapa ketika ingin bersyukur pada-Nya kita senantiasa berbaik baik kepada manusia? Tentu tidak lain dan tidak bukan karena citra Allah berada dalam diri ciptaan-Nya yang bernama manusia. “Allah memberikan diri-Nya kepadamu, berikanlah dirimu kepada Allah”, meminjam istilah Beato Robert Southwell.

Tradisi umat muslim dalam melakukan simbolisasi pemotongan hewan kurban sekaligus menjadi penanda bahwa manusia harus mampu menaklukkan atau turut memotong hasrat kebinatangan serta egoisme kemanusiaan yang masih hinggap dalam dirinya sebagai manusia. Pengejawantahan nilai tertinggi Ad Maoirem, Dei Gloriam seorang Abraham yakni memuliakan nama Allah yang lebih besar membawa kita kembali menghadirkan permenungan kita tentang hakikat dari penciptaan kita—yakni menyembah hanya dan untuk-Nya (lillahi ta’ala). Selamat menghadirkan memberikan diri kepada Allah dengan memberikan pengorbanan yang tulus kepada-Nya di bulan yang sama dengan Ignatius’s Day—hari besar Sang Waliyullah—Santo Ignasius dari Loyola –yang jatuh pada tanggal 31 Juli.

Wabarik ala sayyidina Ibrahim, wa ala ali sayyidina Ibrahim.

St. Ignasius Loyola, doakanlah kami.

_______________

Artikel ini pertama kali terbit di usd.ac.id



Santri Pascasarjana Teologi UKDW Yogyakarta dan aktivis YIPC (Young Interfaith Peacemaker Community).