Mendengar, melihat, dan hadir di tengah pesantren adalah hal yang unik sekaligus menyenangkan. Pasalnya pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan yang asli dari Indonesia dan memiliki keunikannya masing-masing hingga detik ini.
Kita tidak dapat menyeragamkan ribuan pesantren yang ada di Indonesia. Pesantren Krapyak Yogyakarta dan Gontor misalnya. Krapyak umumnya dikenal dengan metode hafalan Al-Qur’annya, sementara Gontor unggul di penguasaan bahasanya.
Demikian pula pesantren-pesantren lainnya yang tersebar di seluruh Indonesia. Apa pun perbedaannya, tidaklah menjadi kekhawatiran bersama, selagi pesantren masih mengajarkan kurikulum dan pendidikan yang baik untuk santri-santrinya. Kecuali pesantren yang memang tidak senapas dengan semangat ke-Indonesiaan.
Sangat menarik kiranya ketika kita melacak asal-usul keilmuan pesantren yang sampai detik ini masih bisa survive dan makin diminati publik. Melacak dan meraba asal keilmuan pesantren sulit rasanya untuk melepaskannya dengan kehadiran Islam di Nusantara, khususnya Indonesia. Keduanya adalah hal yang saling berkelindan.
Dalam hal ini (asal-usul keIlmuan pesantren), Gus Dur membaginya menjadi dua gelombang. Pertama, pengetahuan keislaman yang bersamaan dengan masuknya Islam ke Nusantara di abad 13. Kedua, ketika para ulama lokal mengembara ke belantara padang pasir, utamanya di Mekkah dan kembali ke tanah air, lalu membangun pesantren-pesantren besar.
Ilmu tasawuf, tafsir, hadis, dan sebagainya adalah bentuk keilmuan yang datang pada gelombang pertama di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari ajaran maqom dalam tasawuf. Kenyataan sebelumnya, tanah air kita sudah dipijaki oleh ajaran agama sebelumnya, yakni pengkastaan dalam masyarakat Hindu. Terdapat kesamaan antara maqom dalam tasawuf dan pengkatasaan dalam agama Hindu.
Hal demikianlah yang antara lain menyebabkan agama Islam dapat diterima dengan lapang dada tanpa kekerasan. “Lembaga-lembaga pesantren itulah yang paling menentukan watak keislaman kesultanan di wilayah Indonesia, lalu disebarkan ke polosok desa,” ungkap Zamakhsyari Dhofier di bukunya Tradisi Pesantren (1982).
Pada gelombang ini, ajaran-ajaran Islam didominasi oleh praktik-praktik wiridan atau tarekat (segi amaliah-nya). Gus Dur memberi dua contoh kitab yang sering dikaji pada masa ini yakni kitab Al-Hikam-nya Atoillah dan Bidayatul Hidayah-nya Imam Al-Ghozali. Maka menjadi jelas bahwa tasawuf adalah orientasi yang menentukan corak keilmuan pesantren kala itu.
Gelombang kedua berada pada abad 19, bertepatan dengan naiknya perekonomian rakyat dan perkebunan yang makin meluas. Dengan sendirinya, kalangan santri lokal yang memiliki biaya cukup, mereka pergi merantau mendalami Ilmu agama Islam sampai ke tanah Mekkah. Atau bisa saja, sesuai dengan apa yang dicatat Cak Nur bahwa “mula-mula orang zaman dahulu ketika melaksanakan ibadah haji dengan keadaan yang memaksanya untuk menetap lama di sana, akhirnya sekaligus mendalami ilmu agama yang kelak diajarkan ketika pulang ke tanah air”. (Lihat buku Bilik-Bilik Pesantren)
Dari proses inilah lahir ulama-ulama tangguh dalam disiplin ilmu agama, seperti Kiai Nawawi Banten, Kiai Mafhudz Termas, Abdul Somad Palembang, Mbah Kholil Bangkalan, Mbah Hasyim Asy’ari, dan ulama-ulama lain yang tidak terputus sampai hari ini. Jika di gelombang awal berorientasikan ketasawufan dan praktik wiridan, maka gelombang kedua arah orientasi keilmuan pesantren bergeser menjadi gerakan pendalaman ilmu fiqh beserta alat bantunya secara tuntas. Ini dapat ditengarai dengan hadirnya kitab seperti kitab Jurmiyah, Jauhar Tauhid, dan seterusnya.
Barulah kemudian di fase ini muncul nama-nama orang (kiai) yang bukan saja pandai-rutin di segi amaliah-nya dan banyaknya pengikut tarekat saja, namun juga pengetahuannya yang mendalam mengenai ilmu agama. Bahkan sampai-sampai ulama tanah air menggubah sebuah kitab berbahasakan Arab. Kiai Nawawi Banten dengan kitab Nur Ad-dzolam-nya, Ihsan Jampes dengan Sirojut Tolibin-nya, dan masih banyak kitab lagi yang masih kita kaji sampai hari ini.
Terkait ini, KH. Said Aqil Siroj dalam bukunya Tasawuf sebagai kritik Sosial (2006), menyatakan bahwa “ini juga membuktikan kemampuan ulama di pesantren untuk mengkombinasikan kemampuan mendalami ilmu agama secara tuntas dan mengamalkan tasawuf secara tuntas pula”. Maka atas dasar pengamatannya, Gus Dur memberi simpulan bahwa asal-usul tradisi keilmuan pesantren di satu ujung berasal dari perkembangan tasawuf pada masa lampau, dan di ujung lain atas pendalaman ilmu-ilmu fiqh melalui penguasaan alat-alat bantunya.