Yogyakarta – Dalam rangka memperingati Forum 17-an, GUSDURian Yogyakarta mengadakan kegiatan diskusi dan nonton bareng film “Asa”. Kegiatan tersebut dilakukan di Pura Jagatnata, Sorowajan, Banguntapan, Bantul pada 16/8/22 kemarin. Melalui tajuk “Merdeka dari Kekerasan Seksual”, acara itu dihadiri oleh Kalis Mardiasih dan Suharti Muhlas sebagai narasumber.
Acara yang berisi kegiatan diskusi dan nonton bareng (nobar) film Asa tersebut berjalan dengan sangat meriah. Hampir semua peserta menunjukkan antusiasme dan mendapat bagian untuk memberikan tanggapan mereka tentang film Asa.
Film yang diproduksi oleh Rifka Annisa, salah satu lembaga advokasi perempuan yang berfokus terhadap pendampingan kekerasan seksual tersebut berisi tentang kisah remaja yang berinisial AL. Ia hamil karena mengalami kekerasan seksual dan mendapat pendampingan oleh Rifka Annisa. Diangkat dari kisah nyata proses pendampingan Rifka Annisa, film tersebut menyajikan kisah yang cukup menguras emosi para penonton.
Peserta sangat aktif berdiskusi. Mereka seolah masuk dalam film tersebut, Sebagaimana yang diceritakan oleh salah satu peserta, “Kata ibuku, kasus hamil yang tidak diinginkan itu adalah sesuatu yang kompleks. Jadi tidak bisa di-judge,” jelas seorang peserta bernama Eni.
Setelah peserta memberikan tanggapannya, pemantik lalu menanggapi pernyataan peserta.
“Pencegahan terhadap kekerasan seksual harus digaungkan. Setiap sekolah harus memberikan edukasi yang baik akan reproduksi,” terang Suharti, salah satu pengurus Rifka Annisa.
Forum semakin menarik ketika peserta dari teman tuli juga memberikan tanggapan atas permasalahannya dengan dibantu oleh seorang JBI (juru bahasa isyarat). Para peserta merefleksikan kekerasan seksual yang dialami oleh lingkungan terdekat, bahkan dirinya sendiri.
Sementara itu Kalis, pemantik lain yang juga concern di isu tersebut, justru melihat kekerasan seksual sebagai masalah yang terus menerus terjadi. Baginya, sebagai perempuan perlu menyuarakan kasus kekerasal seksual sebagai bagian dari perjuangan kemanusiaan. Tidak hanya itu, ia juga menambahkan tentang pentingnya keterlibatan perempuan dalam menyuarakan kekerasan seksual.
“Kita adalah pemilik tubuh atau tubuh itu sendiri. Hal itu yang harus dikaji oleh diri kita sebagai perempuan yang utuh,” tutur Kalis.
Diskusi ditutup dengan pemotongan tumpeng sekaligus refleksi kemerdekaan.