Social Media

Forum 17-an GUSDURian Klaten: Membaca Nasionalisme Pemuda Masa Kini

KLATEN – GUSDURian Klaten mengadakan sarasehan kebudayaan dalam kegiatan rutin Forum 17-an dengan tema “Membaca Nasionalisme Pemuda Masa Kini”. Kegiatan tersebut dilaksanakan di rumah Limasan Ngemplak, Brangkal, Karanganom, Klaten pada Jumat, 19 Agustus 2022 jam 19.00 WIB.

Dihadiri sekira 20-an peserta, acara malam itu menghadirkan beberapa tokoh FKUB (Forum Kerukunan Umat Bergama) Klaten seperti Pdt. Krispandaru, Pdt. Lukas Prastowo, dan Muhmmad Milkhan. Sementara moderator yang memandu acara adalah Ibu Dhyana Wijayanti. Rangkaian acara dimulai dengan pembacaan cerpen yang kemudian dilanjutkan dengan acara utama diskusi tentang nasionalisme pemuda.

Moderator membuka dengan narasi intoleransi yang mulai tumbuh di lingkungan generasi muda. Berdasarkan survei dari UIN Raden Mas Said bahwa di tahun 2020/2021 lulusan SMA yang masuk perguruan tinggi setuju penerapan sistem khilafah dengan presentase 54%. Masalah tersebut menjadi perspektif yang menarik untuk didiskusikan sebagai bentuk peran pemuda membangkitkan nilai-nilai nasionalisme.

Pak Lukas mewanti-wanti gerakan nasionalisme harus diaplikasikan secara tepat sesuai konteks yang berlaku. Kadang dalam beberapa hal, nasionalisme bisa bermutasi menjadi chauvinisme, primordialisme, hingga sukuisme yang dikhawatirkan malah menimbulkan perpecahan. Sementara Mas Milkhan menambahkan bahwa sebelum menggairahkan nasionalisme, perlu dipahami akar masalah konflik yang dimulai dari adanya perbedaan.

Pak Ndaru juga mengingatkan pentingnya toleransi sebagai senjata menumbuhkan semangat nasionalisme. Beliau berkisah tentang sisi menarik dari nilai kemanusiaan yang sudah diaplikasikan di GKJ Pedan, Klaten. Bu Dhyana menambahkan pentingnya peran serta elemen masyarakat mengampanyekan nasionalisme di ruang-ruang publik seperti sekolah dan tempat ibadah.

Mas Milkhan menambahkan tentang pentingnya peran pemuda dalam meng-counter narasi paham radikalisme, khususnya di lingkup GUSDURian. Beliau juga bercerita tentang “virus” GUSDURian yang mulai berkembang di Solo Raya seperti Wonogiri, Sragen, Sukoharjo, dan Karanganyar. Harapannya ada anjangsana dan kolaborasi program kerja untuk menyemarakan semangat bergusdurian.

Saat ini, Gus Dur bukan hanya dipandang sebagai mantan Ketua PBNU atau mantan presiden RI. Gus Dur yang diwadahi GUSDURian berevolusi menjadi gaya hidup dan ideologi milik kemanusiaan. 9 nilai utama Gus Dur menjadi pondasi nasionalisme yang melihat bahwa kemanusiaan mendahulukan keberagamaan. Mas Milkhan juga berharap pemuda (khususnya penggerak GUSDURian Klaten) menjadi inisiator kampanye kemanusiaan sebagai konten kontranarasi intoleransi.

Patut dimaklumi, bahwa perkembangan teknologi digital sudah menjadi kebutuhan pokok generasi muda yang mengonsumsi informasi apa pun di internet. Diakui bahwa kaum moderat cukup terlambat berkreasi di media digital yang mulai banyak dikampanyekan ideologi Islam konservatif dan takfirisme. Sehingga butuh kejelasan agenda GUSDURian Klaten membentengi generasi milenial dari paham-paham antinasionalisme.

Di sisi lain, patut disyukuri bahwa isu keagamaan dan nasionalisme sudah mulai berkurang dari tahun ke tahun. Apalagi di tahun ini, kegiatan 17-an sudah tidak lagi ramai isu larangan hormat bendera, sekolah yang tidak mengadakan upacara, dan pengharaman lagu kebangsaan. Ada optimisme di generasi muda atau generasi Z ini tentang kecerdasan bermedia sosial. Anak-anak sudah pandai memilah informasi asli ataupun hoaks.

Malah sekarang yang sering terjebak pada narasi hoaks di media adalah generasi tua. Potongan video yang bernuansa konfrontatif bisa menjadi sarana menyebarkan paham intoleran ketika mereka yang diberi panggung. Jadi ada peran yang lebih besar bahwa seluruh elemen masyarakat (bukan hanya pemuda) bisa terdoktrin paham antinasionalisme.

Dari pembahasan panjang lebar mengenai nasionalisme pemuda, GUSDURian Klaten menggagas beberapa program yang ingin diaktualisasikan dalam bentuk media digital. Tujuannya tentu memberi panggung nilai-nilai moderasi agar bisa dilihat banyak generasi milenial. Selain itu juga peran serta tokoh-tokoh pemuka agama dalam mengajarkan nilai pancasila kepada jamaahnya.

Seperti yang dilakukan Pdt. Lukas di GKI Klaten ketika menginisiasi konsep toleransi melalui 3 tahapan. (1) aku dan kau. Bagaimana setiap orang harus bisa memahami konsep beragama dan berkemanusiaan antarpersonal, bukan dari cerita orang lain. (2) kita. Konsep eksklusivitas persaudaraan yang terjalin mesti berbeda agama. (3) kami. Memberikan pemahaman bahwa kita semua adalah saudara dalam kemanusiaan. Harapannya tidak ada kecurigaan dalam proses persahabatan antaragama.

Acara ditutup dengan kesimpulan betapa pentingnya peran pemuda menjaga kebhinekaan, khususnya di Klaten yang menjadi salah satu kiblat toleransi di Indonesia. Misalnya Candi Plaosan yang merupakan perwujudan nyata toleransi agama Hindu dan Buddha dalam sejarah Kerajaan Mataram Kuno (abad 8-10 Masehi). Candi Plaosan dibangun oleh Ratu Sri Kaluhuran yang menganut agama Buddha dan bersuami dari Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu yaitu Rakai Pikatan.

Penggerak Komunitas GUSDURian Klaten. Penggagas Komunitas Seniman NU.