Social Media

Gus Dur dan Islamisasi Pengetahuan

Sebagai seorang yang menggeluti diskursus seputar dialog agama dan sains -dalam arti luas, mencakup ilmu sosial humaniora-, penulis merasa antusias ketika berjumpa dengan tulisan Gus dur berjudul “Islamisasi Iptek Begaimana Wujudnya?”. Tulisan ini sendiri pertama kali dipublikasikan di Harian Kedaulatan Rakyat (KR) pada 17 November 2003.

Sebagai informasi, wacana Islamisasi Iptek atau juga dikenal sebagai wacana Islamisasi Pengetahuan dapat dikatakan berkembang secara global di tahun 70 hingga 80-an, khususnya setelah konferensi Mekkah di tahun 1977 terkait pendidikan yang menghadirkan sejumlah pemikir kenamaan Muslim dunia semacam Hossein Nasr, Ziauddin Sardar, Ismail Raji Al Faruqi, dan Naquib Al Attas.

Gagasan tersebut kemudian dengan cepat masuk pula ke wilayah Indonesia yang salah satunya tercermin dari penerbitan buku Faruqi Islamisasi Pengetahuan (1984) -terbitan penerbit Pustaka-, Al Attas Islam dan Sekularisme (1981) -terbitan penerbit Pustaka- serta Islam dan Filsafat Sains (1995) -terbitan Mizan-, Ziauddin Sardar Jihad Intelektual: Merumuskan Parameter-Parameter Sains Islam (1998) -terbitan Risalah Gusti-, hingga penerbitan karya-karya Nasr yang salah satunya “digawangi” oleh Gus Dur sendiri -tercatat Gus Dur menerjemahkan karya Nasr berjudul Islam dalam Cita dan Fakta (1981) -terbitan Lappenas- bersama dengan Hasyim Wahid.

Wacana tersebut -khususnya kemudian mengkristal menjadi wacana Islamisasi Pengetahuan yang ditawarkan Faruqi dan dalam derajat tertentu Al Attas- menimbulkan pro-kontra di kalangan intelektual Indonesia dan juga publik secara lebih luas. Ada kalangan yang menolak, ada yang mendukung penuh, dan ada kalangan yang menawarkan “jalan ketiga” semacam Kuntowijoyo yang merumuskan wacana ilmu sosial profetik.

Jika kita menggunakan kriteria Islamisasi Pengetahuan “secara sempit” yang mengacu pada gagasan Faruqi dan Al Attas maka kita bisa tempatkan Gus Dur sebagai sosok yang berdiri pada “jalan ketiga” sebagaimana Kuntowijoyo. Namun jika kita menggunakan kriteria lebih “luas” sebagaimana misal ditawarkan oleh Timothy Reagan dalam karyanya Non-Western Educational Traditions: Local Approaches to Thought and Practice (2018) yang memasukkan Nasr dan Sardar sebagai eksponen Islamisasi Pengetahuan, maka baik Gus Dur dan Kuntowijoyo dapat dimasukkan sebagai bagian dari kalangan yang simpatik terhadap gagasan Islamisasi Pengetahuan dalam arti “luas”.

Poin penting dari debat mengenai Islamisasi Pengetahuan ialah apakah sejatinya produksi ilmu pengetahuan kontemporer itu netral atau tidak. Kalangan yang menolak gagasan Islamisasi Pengetahuan melihat bahwa ilmu itu hakikatnya netral, sehingga tidak diperlukan proses rekonstruksi atau reorientasi ilmu. Berbeda dengan eksponen Islamisasi Pengetahuan yang melihat bahwa produksi ilmu pengetahuan saat ini tidaklah netral dan secara khusus bertentangan dengan ajaran Islam sehingga mesti direkonstruksi dan direorientasikan sedemikian rupa.

Kalangan kontra Islamisasi Pengetahuan melihat upaya rekonstruksi dan reorientasi pengembangan ilmu pengetahuan ini justru problematik karena justru akan menghambat kemajuan sains karena mesti “tunduk” pada “campur tangan” agama. Kita bisa katakan ada asumsi yang dipgang kalangan ini bahwa ilmu pengetahuan mesti “disterilisasi” dari “intervensi dunia luar” termasuk dalam hal ini “intervensi” agama.

Jika kita mendudukkan Gus Dur pada perdebatan di atas, kita bisa melihat “secara sekilas” bahwa ia tidak sepakat dengan dikotomi ketat antara ilmu pengeahuan kontemporer yang notabene diproduksi di negara Barat dengan ajaran Islam. Bahkan Gus Dur lebih jauh menegaskan bahwa tidak masalah bagi umat Islam untuk mendayagunakan temuan-temuan Iptek yang notabene berasal dari negara Barat tersebut. Dengan kata lain “sepintas” ada kesan bahwa Gus Dur lebih dekat kepada kubu penolak Islamisasi Pengetahuan karena tidak mempersoalkan dari mana umat Islam mesti mengambil pengetahuannya.

Namun jika kita baca secara “lebih seksama” artikel Gus Dur tersebut, kita akan temukan dua penekanan penting oleh Gus Dur, yakni soal “siapa yang menentukan arah perkembangan sains saat ini?” dan juga “kriteria penerimaan” dari pengetahuan tersebut selama ia selaras dengan prinsip demokrasi -yang diartikan Gus Dur secara luas sebagai keberpihakan kepada masyarakat dan memanusiakan manusia-. Dengan kata lain Gus Dur juga memasukkan perspektif politis-etis dalam melihat ilmu pengetahuan kontemporer saat ini.

Secara lebih jauh, Gus Dur menyebut bahwa secara “faktual” (bukan ideal) perkembangan sains ditentukan oleh kelompok yang memegang pemerintahan. Dengan kata lain Gus Dur melihat bahwa perkembangan sains tidaklah “imun” dari konteks sosial-politik yang mengitarinya. Dalam posisi ini Gus Dur jelas berseberangan dengan kalangan yang menganggap sains itu “imun” dari “dunia luar”.

Lebih jauh, Gus Dur menyatakan bahwa secara ideal pemerintahan ini dikontrol oleh masyarakat sehingga terjadi keseimbangan. Namun menurut Gus Dur idealitas ini “sering kali dilupakan orang” sehingga yang terjadi adalah “kenikmatan hidup” dinikmati para elit saja dan masyarakat kebanyakan menderita. Dengan kata lain secara “faktual” perkembangan sains potensial -dan itu yang terjadi- mengikuti arah yang ditentukan oleh kalangan elit dan justru “menindas” masyarakat. Dalam konteks ini posisi Gus Dur menjadi lebih dekat kepada eksponen Islamisasi Pengetahuan yang menganggap sains hari ini (secara faktual bukan ideal) tidaklah netral tetapi mengandung bias-bias tertentu -dalam konteks tulisan Gus Dur bermakna bias elit, sains menjadi penyokong kekuasaan yang tidak demokratis-. 

Kecenderungan Gus Dur ke arah “kritisme” sains semacam ini bukan tanpa alasan. Jika kita mencermati tulisan lain Gus Dur berjudul “Kebangkitan Kembali Peradaban Islam: Adakah Ia?” (2007) ia secara lebih lugas menyebut kondisi peradaban kontemporer yang menurutnya dicirikan atas perbudakan teknologi dan mesin atas manusia.

Gus Dur juga menyebut dua referensi penting untuk memahami gerak peradaban kontemporer saat ini yakni melalui karya George Orwell berjudul Nineteen Eighty-Four dan juga Charlie Chaplin dalam The Great Machine-nya. Dengan kata lain Gus Dur berkeyakinan kuat bahwa perkembangan sains saat ini secara umum justru bercorak anti-demokrasi dan mendehumanisasi manusia. Satu wacana yang dapat dikatakan memiliki paralelitas dengan argumen yang dikemukakan oleh eksponen Islamisasi Pengetahuan semacam Faruqi dan Al Attas.

Namun, meskipun Gus Dur melihat sains secara kritis sebagaimana eksponen Islamisasi Pengetahuan semacam Faruqi dan Al Attas, namun yang membuat ia tergolong dalam kalangan yang memilih “jalan ketiga” -sebagaimana Kuntowijoyo- dan bukan sebagai kalangan yang mengafirmasi penuh gagasan Islamisasi Pengetahuan adalah mengenai langkah yang mesti ditempuh.

Bisa dikatakan kalangan eksponen Islamisasi Pengetahuan semacam Faruqi dan Al Attas lebih menekankan pada sisi “rekonstruksi” dibandingkan dengan sisi “reorientasi” sains. Atau jika meminjam bahasa Aristotelian, kedua eksponen ini lebih “hirau” soal pendekatan “teoritik-metafisik”, yakni bagaimana merekonstruksi bangunan ilmu pengetahuan kontemporer saat ini berbasis pada landasan metafisika Islam.

Pada titik inilah Gus Dur menganggap gagasan semacam ini terlalu “akademis-elitis” dan “kurang membumi/praktis”. Langkah yang mestinya ditempuh ialah “reorientasi” sains, yakni mentransformasikan sains dari sarana untuk menunjang tata sosial-politik non-demokratis menjadi sarana untuk menegakkan tata sosial-politik demokratis dan juga memastikan penghapusan perbudakan manusia oleh mesin dan teknologi.

Posisi Gus Dur ini sejatinya sejalan dengan Kuntowijoyo yang dalam wacana ilmu sosial profetiknya menekankan pada aspek “praktis” dari pengembangan ilmu yakni bagaimana ia bisa memanusiakan manusia lewat jargonnya yang terkenal yakni humanisasi, liberasi, dan transendensi. Bedanya, Kuntowijoyo sebagai akademisi juga nampak masih memberi ruang pada sisi “rekonstruksi” di samping “reorientasi” sains. Sedangkan Gus Dur nampaknya tidak terlalu tertarik untuk mengelaborasi soal “rekonstruksi” sains. Bahkan dalam persoalan nama, Kuntowijoyo “merasa perlu” untuk melabeli “jalan ketiganya” ini sebagai jalan profetik. Sementara, Gus Dur nampak tidak terlalu peduli dengan aneka istilah. Apa yang menjadi perhatiannya adalah urgensi “reorientasi” sains agar dapat menghasilkan satu tatanan peradaban baru yang memanusiakan manusia.

Sebagai penutup, merujuk pada definisi “sempit” ide Islamisasi Pengetahuan, sosok semacam Gus Dur tidak bisa disandingkan dengan Al Attas dan Faruqi yang menekankan pada “rekonstruksi” sains, namun jika Islamisasi Pengetahuan dipahami dalam arti “luas” mencakup sosok semacam Ziauddin Sardar yang juga menekankan soal sisi “praktis” dari pengembangan sains yang mesti dipandu dengan “Kompas” etika Islam, maka Gus Dur -dan juga Kuntowijoyo- dapat dimasukkan dalam tokoh yang berjasa mengembangkan tradisi pemikiran tersebut khususnya dalam konteks Indonesia.

Tetapi satu hal yang patut kita ingat, sebagaimana diyakini oleh Gus Dur, urusan “label” dan “nama” tidaklah penting. Satu hal yang lebih penting adalah bagaimana secara “faktual” sains mestilah “tidak imun” dari konteks yang lebih luas, yang dalam hal ini mengacu pada etika. Pengembangan sains justru mesti dilekati “bias etis” yakni humanisme yang menolak pengembangan sains yang justru mengukuhkan tatanan non-demokratis di mana melahirkan satu bentuk dehumanisasi manusia mutakhir di era kontemporer saat ini.

Peserta program Kader Pemikir Islam Indonesia (KPII) Angkatan ke-2 yang diselenggarakan oleh LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat) dan Universitas Paramadina.