Menjelang 100 Tahun Kolsani, Akar Serikat Jesus di Kotabaru

Nama “Kolsani” mungkin terasa asing bagi kebanyakan orang, terlebih jika tidak pernah menghabiskan waktu sebagai pelajar yang berdiam di Yogyakarta. Namun bagi mereka yang pernah tinggal di Yogyakarta untuk mengambil studi humaniora, khususnya kajian filsafat dan teologi, pasti tidak asing lagi dengan nama satu ini.

Kolsani adalah singkatan dari Kolese Santo Ignatius. Tempat ini adalah rumah studi bagi para frater Jesuit alias calon imam Gereja Katolik yang berasal dari ordo Serikat Jesus (SJ) yang tengah menjalani pendidikannya. Mereka tinggal di Kolsani dan belajar teologi di Universitas Sanata Dharma (USD). Dalam tradisi Islam, mungkin bisa dibilang Kolsani agak mirip-mirip dengan pesantren.

Dengan corak bangunan kuno model kolonial, segera tampak bahwa usia rumah studi ini sudah tua. Memang pada tahun 2023 nanti, usia Kolsani genap 100 tahun. Maka sudah pasti, Kolsani menjadi bagian penting dari sejarah Kotabaru dan Yogyakarta. Bukan saja karena letaknya yang ada di tengah kota, tetapi juga peranannya dalam upaya turut menjaga iklim studi terutama filsafat dan teologi.

Sehingga jika Tugu atau Malioboro selama ini populer menjadi ikon wisata Yogyakarta, barangkali Kolsani juga bisa menjadi salah satu ikon Yogyakarta sebagai kota pelajar.

Anak UIN Menjejak Kolsani

Selain sebagai rumah tinggal para frater Jesuit, Kolsani juga menjadi rumah studi yang terbuka bagi umum. Sebab di dalam kompleks Kolsani terdapat pula perpustakaan yang dapat diakses publik.

Satu hal yang unik dari perpustakaan Kolsani adalah koleksi buku, jurnal, dan majalah yang tak kurang dari 170.000 jumlahnya. Bacaan-bacaan itu tersedia dalam berbagai macam bahasa, mulai dari bahasa Arab, Inggris, Prancis, Jerman, Latin, Belanda, dan Indonesia.

Kekayaan koleksi Kolsani tampak dari testimoni Romo Kieser, SJ, salah seorang penghuni lama Kolsani. Romo Kieser yang sekaligus merupakan pengajar teologi dan misionaris Jerman ini pernah mengatakan, “Ruang perpustakaan pun baru resmi menempati gedung baru pada tahu 90-an. Sebelumnya perpustakaan berada di sepanjang ruang tamu pada bangunan Kolsani saat ini”.

Saya sendiri mulai mengenal Kolsani saat saya menempuh studi S-1 di Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga. Saat itu, salah seorang dosen memberi info mengenai perpustakaan Kolsani untuk mencari literatur bacaan kuliah.

Singkat cerita, pertama kali saya ke sana sekadar menemani seorang teman dari pascasarjana UIN Sunan Kalijaga untuk melengkapi karya akhir tesisnya. Sembari menunggu teman saya itu mencari literatur, saya duduk dan membaca di ruang baca.

Setelah itu sesekali saya datang ke sana sendiri dan makin intens ketika saya menyusun skripsi tentang kelahiran Yesus/Isa al-Masih dengan meninjau narasi Al-Qur’an dan Injil. Saya memilih Kolsani sebagai tempat mencari literatur untuk skripsi saya karena perpustakaan UIN Sunan Kalijaga tak memiliki literatur memadai tentang Alkitab. Wajar saja karena UIN adalah kampus Islam yang tentu literaturnya kebanyakan tentang khazanah keislaman.

Maka benarlah kesan yang pernah diungkapkan J.B. Banawiratma (Teologan Kolsani 1972-1975) mengenai Kolsani, “Dari dulu sampai sekarang ini, Kolsani sangat berjasa bagi para mahasiswa dan dosen melalui terbukanya perpustakaan bagi umum. Suasana ekumenis dan lintas agama sangat terasa melalui perpustakaan ini.”

***

Meskipun notabene saya adalah anak UIN Sunan Kalijaga, sejak awal saya sudah tahu bahwa perpustakaan Kolsani dimiliki sekaligus dikelola oleh sebuah lembaga Kristiani—meski pada waktu itu saya belum terlalu mengerti perbedaan Protestan dan Katolik.

Seiring berjalannya waktu, saya perlahan mengetahui bahwa berdirinya Kolsani tidak dapat dilepaskan dari karya awal Gereja Katolik yang dirintis Serikat Jesus (SJ), khususnya di Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Pada Agustus 1922 dibukalah Novisiat (tempat pendidikan awal bagi calon imam Serikat Jesus) di Yogyakarta di suatu rumah sewaan di Sultans Boulevard (sekarang Jl. I Dewa Nyoman Oka 22). Pada waktu itu, Rektor dan Magister novis dijabat oleh Romo F.X. Strater, SJ (1882-1944) menjadi orang penting untuk misi Katolik di daerah Yogyakarta, dibantu oleh Romo H. Koch, Bruder Van der Voort, SJ dan Bruder J. Van Zon, SJ.

Singkat cerita, setahun kemudian sebidang tanah yang luas dibeli di Kotabaru dan dibangun gedung novisiat. Di ruang yang saat ini dikenal dengan R. Nyoman Oka (Jl. Nyoman Oka 3) diletakkan sebuah batu peringatan di salah satu dinding ruangan bertuliskan: “A.M.D.G., me posuit, J. Hoeberechts, Sup. Miss. S.J., die 18 Febr. 1923”

Pengetahuan awal ini kelak membawa saya berkenalan lebih dalam lagi dengan Kolsani.

Akar Serikat Jesuit yang Meruang

Meski beberapa kali berkunjung ke perpustakaan Kolsani belum lama saya mengetahui bahwa di dalam kompleks Kolsani juga tinggal para frater Jesuit. Awalnya, saya mengira yang mendiami tempat tersebut hanya para imam atau pastor. Menjelang tahun 2019, saya baru mengetahui persis bahwa penghuni Kolsani adalah para frater Jesuit, beserta beberapa imam yang bertugas mendampingi mereka.

Lantas pada Maret 2019—saya dan teman-teman YIPC Yogyakarta sempat melakukan Scriptural Reasoning (SR) bersama para frater Kolsani. Inti dari kegiatan SR adalah membaca Al-Qur’an dan Alkitab bersama, dengan tema “pengungsi” sebagai topik bahasan utama saat itu.

Hingga pada April 2019, tak lama setelah Dokumen Fratelli Tutti ditandatangani di Abu Dhabi oleh Bapa Suci Paus Fransiskus dan Grand Syaikh Al-Azhar Ahmad Al-Tayyeb, saya diajak untuk membedahnya di acara DIKSI (Dialog Untuk Aksi), yang lagi-lagi diadakan oleh para frater Kolsani.

Relasi saya dengan para frater Kolsani kemudian terus berlanjut sampai saat saya menempuh studi S-2 di Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), khususnya dalam kelas teologi ekumenis. Kelas tersebut merupakan kelas gabungan antara mahasiswa pascasarjana UKDW dan pascasarjana USD. Hubungan baik ini terus berlanjut hingga sebagian besar kawan-kawan frater di kelas teologi ekumenis itu ditahbiskan menjadi imam.

Hubungan baik ini terus saya jalin—terlebih ketika sedang membaca buku di perpustakaan Kolsani dan ketepatan diajak berdiskusi atau sekadar minum kopi di Kolsani. Dari hal sesederhana minum kopi dan berdiskusi bersama, membawa relasi kami sudah seperti saudara.

Secara pribadi, saya belajar banyak dari ketekunan kawan-kawan frater Jesuit di Kolsani. Salah satu yang paling saya pelajari adalah ketika kami berdiskusi. Ada ketekunan dan tradisi membaca buku yang cukup kuat di kalangan frater-frater Jesuit. Hal serupa sebetulnya juga merupakan tradisi yang diajarkan kepada saya sejak menempuh studi S-1 di Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga.

Dari relasi personal ini kemudian saya perluas dengan mengajak teman-teman komunitas lintas iman di luar Kolsani untuk ‘main’ ke Kolsani. Di antara mereka juga akhirnya bisa menikmati membaca di ruang perpustakaan Kolsani yang begitu tenang dengan berlimpahnya referensi.

Setelah sekian kali keluar masuk Kolsani saya tersadar bahwa Kolsani yang akan berusia 100 tahun ini memiliki akar yang dalam di ruang bernama Kotabaru, Yogyakarta. Para mahasiswa atau dosen teologi di Yogyakarta akan mengenang bagaimana sesungguhnya tempat yang sebenarnya menjadi formasi para frater teologan Jesuit itu ternyata juga menjadi formasi intelektual bagi khalayak luas, termasuk bagi khalayak di luar komunitas Katolik.

“Teologi Publik” 100 Tahun Kolsani

Menjelang 100 tahun usia Kolsani, beberapa rekan frater mengajak saya (dan YIPC Yogyakarta) untuk terlibat dalam proyek penelitian teologi mengenai gerakan sosial dan gerakan lintas iman di antara orang muda di Yogyakarta. Tema besar yang diangkat dalam peringatan akbar 100 tahun Kolsani adalah “Teologi Publik”.

Melalui tema ini Kolsani mencoba merefleksikan kembali peran dan keterlibatannya dalam ruang-ruang publik yang luas. Sejak mula, Kolsani sebagai rumah formasi tidak hanya bertujuan untuk menghasilkan imam-imam Jesuit yang terlibat di dalam Gereja, tapi juga dimaksudkan terlibat untuk kepentingan publik yang lebih luas (https://kolsani.or.id/index.php/2022/10/03/pembukaan-rangkaian-acara-100-tahun-kolese-st-ignatius-yogyakarta/).

Saya sendiri mengamati dan merasakan bagaimana sebetulnya Kolsani bagaikan akar yang merambat ke mana-mana dan akhirnya menjangkau banyak hal. Teologi tidak sekadar berbicara tentang iman atau perihal percaya. Namun teologi juga adalah sebuah daya dorong untuk mengubah sesuatu.

Melalui tema “Teologi Publik”, Kolsani mengajak semua pihak untuk mencoba membawa iman pada kenyataan dan termanifestasi dalam realitas konkrit kemasyarakatan dengan segala kompleksitasnya. Dalam hal ini gerakan sosial dan lintas iman orang muda.

Saya pikir akar-akar Kolsani yang meruang ini menjadi jejaring yang menghubungkan banyak hal. Bukan hanya menghubungkan Gereja dengan dunia, namun juga menghubungkan aktor-aktor yang terlibat dalam aksi-aksi yang menyatakan bahwa inti dari iman kepada Allah—kendati berbeda-beda—adalah kemanusiaan.

Semoga menjelang perayaan 100 tahun ini Kolsani semakin mampu menjangkau banyak relasi, gerakan sosial dan lintas iman, serta melibatkan lebih banyak kaum muda. Dengan demikian, teologi tidak terpenjara dan teralienasi dalam rumah-rumah ibadah atau hanya sebatas ritual, norma atau liturgi. Namun teologi juga mampu keluar, menembus tantangan-tantangan dunia, demi kemuliaan Allah yang lebih besar.

Ad Maiorem Dei Gloriam!

AMDG!

Santri Pascasarjana Teologi UKDW Yogyakarta dan aktivis YIPC (Young Interfaith Peacemaker Community).