Kardus-Kardus di Serambi Madinah

Mengendarai sepeda motor sudah menjadi bagian dari hidupku. Setiap hari sekitar 10-15 menit aku selalu mengendarainya. Entah menuju ke tempat kerja atau ke pusat perbelanjaan. Begitupun ketika hendak beribadah, aku selalu memakai motorku. Ya, kendaraan roda dua produksi luar negeri itu sangat membantu kehidupan umat manusia, terutama bagi masyarakat di Indonesia.

Menyusuri jalanan begitu mengasikkan. Melihat tingkah manusia-manusia di jalan kadang terasa aneh. Ada berbagai macam manusia di jalan. Tipe pengendara santai dan fokus, tipe telponan sambil berkendara, ada juga tipe sein kiri belok kanan, dan masih banyak lagi tipe lainnya. Aku sendiri tipe santai yang menikmati pemandangan.

Terik matahari menyilaukan mata. Seperempat jam lagi pukul dua belas. Masjid saling sahut menyebarkan lantunan ayat di Jumat itu. Motorku terus melesat melewati berbagai masjid megah di jalanan Kota Gorontalo. Ada satu fenomena yang menarik hatiku. Di setiap masjid, ada saja sesosok pria memegang kardus. Kadang juga sebuah keranjang plastik. Hal ini sepintas terlihat lumrah, tapi hatiku bertanya-tanya, kenapa mereka malakukan itu?

Pandanganku tertuju pada seorang pria yang memegang erat kardus di depan sebuah masjid. Dia berdiri di tengah jalan menghalau pengendara yang lewat dengan kardusnya. Setiap ada yang lewat, benda kubus itu disodorkannya. Setelah kuamati selama lima menit, ia menyingkir dari tengah jalan dan menenteng bawaannya ke pinggir jalan. Pria itu berteduh di sebuah gubug di samping masjid.

Aku dan rasa penasaranku yang menggelembung ini akhirnya menjumpai bapak itu. Rasa ingin tahu menggelinding bak bola salju, kian lama tambah membesar. Ia mengeluarkan uang dari dalam kardus tadi. Selembar demi selembar dihitung. Digabunglah uang itu sesuai jenisnya: dua ribu dengan dua ribu, lima ribu dengan sesamanya, dan seterusnya. Hingga membentuk lapisan uang yang lumayan tebal. Disisipkan uang itu ke kantong celananya.

Kami saling bersalaman. Aku memperkenalkan diri, demikian juga dia. Setelah perkenalan singkat, dan menceritakan rasa penasaranku, dengan ramah bapak itu mulai bercerita.

“Ini namanya kardus sumbangan, Pak. Ya, gunanya untuk kumpulkan uang untuk pembangunan masjid,” wajahnya nampak berseri sambil menjelaskan.

“Saya berdiri memegang dan menyodorkan kardus ini di jalan raya sudah lama. Saya merasa harus melakukan ini,” ucap pria paruh baya itu. Dengan tubuh tinggi standar sekitar 165 cm, ia membawakan sepiring pisang goreng. Dengan kaus putih dan celana yang longgar di bagian kakinya itu, ia melangkah menghampiri dan menyuguhkan pisang goreng tadi padaku.

“Silakan dimakan, Pak,” ucapnya ramah.

Aku membalas dengan senyum seraya memegang pisang yang nampak pucat pasi itu. Saat menggenggam, daging pisang itu agak keras. Pikirku mungkin ibu yang memasak tengah dilanda badai amukan emosi, bisa saja ia sedang bertengkar dengan suami atau bisa jadi karena harga bahan pokok sedang naik-naiknya. Entahlah. Apa pun alasannya, pisang goreng yang ada di tanganku ini akhirnya kulahap juga, tak enak menolak.

“Terima kasih, Pak. Pisangnya enak,” gumamku sembari menancapkan gigitan pertama.

“Sama-sama. Silakan tambah, Pak,” jari jempolnya mengarah ke piring.

Aku mengunyah dengan pelan, sedikit demi sedikit hingga akhirnya pisang goreng utuh tadi tandas habis termakan semua. Ia menyodorkannya lagi, hendak beramah tamah padaku. Sudah menjadi budaya untuk menghormati tamu di sini. Akulah tamu itu bagi dia. Meskipun kami tak berada di rumah bapak itu.

“Jadi, Pak, mohon maaf jika saya lancang. Apa ada kerjaan selain memegangi kardus ini di tengah jalan? Sebab hampir setiap masjid yang saya lewati pasti ada yang memegang kardus.”

“Saya punya anak dan istri yang harus dihidupi, Pak. Tentu saja saya punya kerjaan lain. Saya biasa menarik bentor dari pagi hingga petang,” ucapnya sembari menyeruput kopi yang nampak sudah dingin.

“Oh iya, Pak?”

“Iya. Saya melakukan ini karena prihatin dan juga kasian dengan kondisi masjid ini. Banyak yang mengatakan masjid ini menjadi tonggak sejarah penyebaran Islam di daerah ini. Tapi sayangnya orang-orang kadang cuma melewati saya begitu saja di jalan. Paling-paling ada yang berteriak ‘mantap lanjutkan!’”

Tadi sebelum aku mengobrol dengan bapak ini, banyak kendaraan melewatinya. Ada yang memberi lembaran uang sejumlah dua ribu, lima ribu, ada juga lebih dari itu. Katanya, jika dirata-ratakan, setiap sepuluh kendaraan yang lewat ada dua yang menjulurkan tangan masuk ke kardus dengan selembar uang.

“Tapi saya tak sendiri. Ada juga beberapa teman yang melakukan hal ini. Ada Pak Kasim, ada Mustafa si bocah gembul yang baik, dan Pak Kadir yang bertugas hari Sabtu dan Minggu. Aku sendiri sering bertugas di hari Jumat, dari pagi hingga sebelum shalat.”

“Oh iya. Tapi ini kan kata bapak tadi masjid yang bersejarah. Setahuku setiap bangunan sejarah mendapatkan perhatian dari pemerintah, baik seperti pemeliharaan atau yang lain. Apakah tidak ada bantuan dari pemerintah?”

Air mukanya yang ceria berubah. Sejenak, ia terdiam sebelum menjawab. Kemudian ia berucap.

“Saya tidak tahu soal itu, Pak. Yang saya tahu itu, Pak Soleh, bapak ketua takmir masjid yang menugaskan kami untuk memegangi kardus sumbangan di depan masjid setiap hari.”

Tak sadar dengan percakapan yang berjalan khidmat itu, pisang goreng tadi telah habis di atas piring. Tersisa kopi yang mengisi seperempat gelas. Diseruputnya kopi hingga tandas. Tak terasa juga kumandang adzan masjid bergema. Kami berdua bergegas beranjak ke masjid yang kami bincangkan. Hendak melaksanakan ibadah shalat jumat bersama.

“Sudah waktunya shalat, Pak,” ujarnya ramah. “Mari shalat dulu.”

Aku menghela napas dan menjawabnya, “Iya, mari Pak.”

Aku beranjak menuju masjid kemudian berwudhu, dilanjutkan duduk mendengarkan penceramah melantunkan khutbah jumat. Tak lama, seluruh jemaah berdiri setelah khutbah dan melaksanakan ibadah shalat jumat berjamaah. Aku dan bapak tadi berdampingan di saf yang sama. Sengaja aku berbuat demikian, agar dapat melanjutkan percakapan kami tadi.

Selepas shalat dan berdoa, aku bersalaman dengannya. Ketika bersalaman, dengan suara agak pelan ia mengucapkan shalawat kepada Nabi Muhammad Saw. Kebiasaan orang Timur, khususnya di Gorontalo saat bersalaman selalu mengucapkan shalawat saat saling salaman. Kata orang-orang tua sekitar rumahku, agar bertambah erat tali persaudaraan kita sesama muslim dan berharap mendapat syafaat Nabi. Setelah melaksanakan shalat sunnah, ia duduk di sampingku dan melanjutkan kisahnya ketika pertama kali menjadi petugas memegang kardus sumbangan masjid.

“Saya memulai ini dari tahun 2014. Saat itu saya diminta melakukannya tiap hari, dari pagi hingga siang. Tapi saya menolak karena harus menarik bentor.”

“Hmm.. sudah lama betul bapak lakukan hal ini, ya?” aku melemparkan kalimat itu dengan spontan, entah maksudnya memuji atau tidak. Hanya kalimat spontan yang keluar dari mulut.

“Iya. Padahal sejak dulu masjid ini menjadi saksi sejarah pemerintah melaksanakan berbagai acara keislaman seperti mauludu, dikili, tumbilotohe, dan kegiatan lainnya. Tapi sayangnya kian kemari masjid ini kurang terawat.”

“Coba lihat di sana!” telunjuknya mengarah ke dinding masjid. Nampak sekumpulan sarang laba-laba berdiri dengan megah di sudut-sudut masjid. Cat masjid juga terlihat pucat seperti seorang pencuri yang tertangkap basah di depan penegak hukum. Lapuk telah dimakan usia.

“Begitulah kondisi masjid kini. Hampir tak bisa dibedakan dengan kuburan,” suaranya agak pelan. Kemudian ia melanjutkan.

“Apalah gunanya beribadah siang dan malam saat masjid yang kita tempati sebegitu memprihatinkan. Terlebih masjid ini tercatat sebagai bangunan bersejarah.”

“Ah, benarkah Pak?”

“Coba bapak lihat di depan, papan itu menuliskannya di sana,” ia menunjuk ke arah luar masjid. Papan itu memang ada. Seraya ia melanjutkan, “Yah, meski demikian sebagai orang asli Gorontalo saya tak bisa membiarkan masjid ini dimakan waktu dan dilupakan oleh masyarakat, bahkan cuma dijadikan sebagai penghias kawasan ini.”

Aku tak begitu paham yang dimaksudkan bapak itu. Tapi aku mengangguk juga. Aku harus bertindak seperti memahami ucapannya, agar terlihat sopan. Sorot matanya tulus bercerita bahwa ia sangat kecewa dengan julukan Serambi Madinah yang melekat dengan daerah kelahirannya ini.

“Iya, julukan itu belum bisa dikatakan benar. Kita berpatokan saja dengan masjid ini, namanya saja yang agung tapi kondisi sebenarnya memprihatinkan. Benar-benar tak dipedulikan orang. Bahkan, saya harus berdiri meminta sumbangan dengan sebuah kardus di tengah jalan raya. Seperti mengemis. Tapi saya tak malu, semua ini demi mewujudkan julukan tadi secara nyata.”

“Benar-benar hebat, Pak”

“Iya, saya memanglah bukan orang yang berkepentingan, memiliki jabatan atau harta yang banyak. Tapi saya melakukan hal yang bisa membantu masjid ini agar terlihat indah. Saya bukanlah tipe yang banyak berbicara, tapi banyak bertindak.”

Aku baru sadar waktu menunjukan pukul 13.00. Sudah saatnya kembali ke tempat kerja. Sayang sekali aku harus menyudahi penasaran ini.

Aku mengatakan padanya harus pamit. Ia juga hendak pamit. Kami saling berjabat dan saling melempar senyum ramah. Aku memberi salam, kemudian melangkah ke luar masjid.

Sepasang sepatu aku kenakan di kaki lalu melangkah ke luar pintu gerbang masjid. Terik matahari memanasi bumi. Aku mengernyitkan dahi, matahari menyilaukan mata. Saat berjalan, aku melihat papan yang dibicarakan Pak Karmin. Benar! Masjid ini adalah situs sejarah. Tapi tampaknya masjid ini akan benar-benar menjadi sejarah ketika kita hanya menikmati kisah-kisahnya saja. Pikiran aku mengingat perkataannya, betul yang dikatakan bapak dua orang anak itu, julukan Serambi Madinah belum nampak. Terlihat dari masjid ini.

Aku berjalan menghampiri sepeda motor yang terparkir di seberang jalan. Terlihat seseorang memegang kardus yang dipegang Pak Karmin sebelumnya. Seorang anak laki-laki bertubuh gembul memegangnya dengan erat. Di tangan yang lainnya ia mennggenggam es mambo kesukaan jajanan favorit anak-anak. Aku mencoba menghampiri bocah itu sebelum mengarah ke motor. Aku salurkan sejumlah uang ke dalam kardus. Bocah itu berucap terima kasih dengan senyuman lugu. Aku membalasnya dan mengangguk seraya mengatakan, sama-sama.

Berjalan dengan rasa penasaran yang bergelembung di kepala, aku terus mengendarai sepeda motor. Sekejap ingin melihat kendaraan di belakang melalui kaca spion, aku melihat papan yang bertuliskan “Selamat Datang di Kawasan Wisata Religi”.

Penggerak Komunitas GUSDURian Gorontalo.