Absennya Ide Para Politikus Kita

Adakah di antara kita yang menyadari bahwa setiap politikus kita berorasi tidak pernah menyentuh wacana publik yang kongkrit? Adakah di antara politikus idola yang secara terbuka berjanji mencari jalan keluar dari krisis iklim yang menggejala hari ini? Adakah di antara mereka dengan lantang mengkritisi RKUHP yang amat kontroversial sebab mengancam masa depan demokrasi dan cita-cita kesejahteraan bangsa?

Sayangnya kita hari ini hanya dipertontonkan dan dipaksa masuk dalam gelanggang analisa dangkal dan perdebatan mana yang lebih baik antara agamis dan nasionalis, mana yang lebih pancasilais antara calon A dan B. Ada juga yang dalam kampanyenya menjanjikan sesuatu tetapi sama sekali tak substansial. Bisakah wacana ide yang dibawa olehnya relevan dengan kebutuhan dan problem masyarakat?

Hal ini mengarahkan pada pertanyaan mendasar tentang paradigma politik praktis negara kita yang hanya berkutub pada sisi islamis vs nasionalis saja, alih-alih menjadi arena perdebatan ideologi substansial dan nalar ilmiah yang relevan. Artinya gelanggang politik praktis kita masih dipenuhi oleh figur dan mekanisme pragmatis-oportunis. Mengapa demikian?

Prof. Vedi Hadiz dalam karyanya “Populisme Islam” memberi analisa ekopol dan komparasi mendalam dengan beberapa negara di Timur Tengah tentang pra kondisi dinamika perpolitikan Indonesia (dan negara mayoritas muslim lain) yang dipenuhi wacana populis. Hal ini amat erat kaitannya dengan dinamika yang terjadi dalam tubuh oligarki.

Di satu sisi, kondisi masyarakat (umat) semakin timpang dan agenda kebijakan yang kurang berpihak mengakibatkan akumulasi kemuakan massa yang dalam konteks Indonesia belum terkoordinir dengan baik. Tentu rentetan sejarah pembangunan Orde Baru hingga hari ini sangat berpengaruh sebab semakin terintegrasi dengan neoliberal atau globalisasi.

Di lain sisi, konsolidasi elite parpol dan intelektual publik pasca Orba tak menemukan momentum untuk mengkapitalisasi masa menuju hal yang substantif. Hal ini disebabkan oleh kuatnya akar oligarki jaringan Orba meski wajahnya sudah silih berganti. Meski dengan kondisi yang lebih demokratis, tidak juga memberi peluang untuk terbentuknya serikat-serikat kelas yang bisa menjadi lokomotif pemenuhan aspirasi.

Walhasil, oligarki memainkan kartunya dengan dua garis besar sentimen yang kiranya bisa memicu perhatian masyarakat: nasionalisme dan agama. Momentum mandulnya parpol dan kegerahan rakyat tanpa kesadaran kelas ini dimanfaatkan betul oleh para oligarki dengan isu-isu populis dan bumbu agama di satu sisi dan negara di sisi lain, yang tidak menjangkau sebuah ide kongkrit suatu kebijakan. Akibatnya, konflik horizontal antarkelas bawah tak terhindarkan, dan oligarki keluar sebagai pemenang.

Lantas adakah alternatifnya?

Membumikan Gagasan

Dalam teori hegemoni Gramsci, yang kiranya masih relevan sampai hari ini, terdapat terminologi “counter hegemoni”. Teori tersebut menjelaskan tentang sebuah kondisi dan proses di mana rakyat mampu mengonsolidasikan aspirasinya melalui kanalisasi ide-kesadaran untuk mendelegitimasi ide-kesadaran sebelumnya yang didominasi oleh elite yang tidak berpihak. Namun kondisi ini menuntut atas dua hal yang harus dipenuhi oleh masyarakat itu sendiri: intelektual organik dan pendayagunaan aset kebudayaan dan media.

Selama ini kedua hal yang penting ini luput dari agenda kemasyarakatan, atau paling tidak keduanya tidak terintegrasi dalam satu platform strategis. Ada banyak intelektual publik yang bersuara lantang namun tereksklusi dari agenda-agenda kebudayaan masyarakat yang majemuk, yang berakibat pada platform kebudayaan menjadi sepi dari ide-ide yang menyadarkan.

Patut juga diketahui bahwa terdapat hambatan menuju pengintegrasian tersebut di saat sebagian platform kebudayaan, seperti halnya media massa, yang telah tersedia di masyarakat ternyata telah dibajak oleh elite-elite parpol tertentu atau figur-figur oportunis yang menjadi bagian dari agenda oligarki kekuasaan. Tak jarang pula sebuah serikat yang berupaya pada kesadaran hak dan aspirasinya juga distigmatisasi seperti serikat buruh yang dikonotasikan dengan PKI.

Problem lain adalah penilaian yang kurang dinamis kepada aktor budaya, seperti kiai, pendeta, dlsb. Yang sering disebut sebagai pembela status quo. Memang tak sepenuhnya juga salah. Hanya saja dalam kasus tertentu kita dapat melihat contoh keberhasilan para aktor budaya membawa sebuah visi progresif untuk menuntut kebijakan yang berpihak. Tanpa mengeliminasi aktor lain, kita bisa mengamati kegigihan warga Wadas dan Kendeng bertahan hingga hari ini adalah salah satu bentuk aktualisasi aktor budaya memobilisasi warga menuju kesadaran progresif.

Syahdan, PR besar sosok intelektual adalah kembali menawarkan kanal-kanal strategis, tanpa menaruh skeptis, yang terintegrasi dengan kebudayaan masyarakat. Selain menuntut reformasi dalam tubuh struktural dalam hal ini parpol.

Tanpa kesadaran yang terkonsolidasi dari akar rumput maka aspirasi kerakyatan sulit termanifestasikan.

Penggerak Komunitas GUSDURian Klaten, Jawa Tengah. Penggagas Sanggar Jagarumeksa.