Kami Mengunjungi Satu-Satunya Pura di Cilacap: Belajar tentang Hindu hingga Makna Hari Raya Galungan dan Kuningan

Pura (Bahasa Bali dibaca: Purê) yang jamak dikenal sebagai tempat peribadatan umat Hindu, apabila di Jawa tempat peribadatannya bisa berupa candi. Pada intinya bangunan itu dibagi menjadi tiga bagian ruangan: Nista Mandala, Madya Mandala, dan Utama Mandala.

Nista menurut arti harfiahnya adalah Kotor. Nista Mandala merupakan ruangan yang diperuntukkan bagi kegiatan yang bukan peribadatan, yaitu meliputi kantor, dapur, kamar mandi, gudang, luar pagar, dan lainnya. Nista tidak hanya berarti kotor, dapat pula berarti derajat, kelas, posisi atau tempat paling bawah/rendah, dapat juga dikonotasikan sebagai bentuk tingkah laku yang hina. 

Sedangkan Madya berarti Tengah. Madya Mandala adalah ruangan bagian tengah Pura yang diperuntukkan untuk interaksi sosial, di antaranya adalah untuk kegiatan seni, sarasehan, menerima tamu, dan lain sebagainya. Terakhir, Utama Mandala diperuntukkan khusus untuk peribadatan/sembahyang. Bangunan utama ini disebut sebagai Padmasana, yaitu sebagai titik sentral dalam pemujaan.

Apakah umat selain Hindu boleh masuk ke area ruangan ini? Jawabannya adalah boleh dengan seijin dari pengurus atau Pemangku Pura.

“Apabila dianalogikan dalam arti yang lain, ketiga ruangan tersebut bisa diterjemahkan sebagai: Bagus (Nista), Bagus sekali (Madya), dan Sangat Bagus (Utama),” terang Bapak Sumiyarto selaku Sekretaris PHDI Kabupaten Cilacap yang saya temui beberapa waktu lalu. PHDI sendiri adalah singkatan dari Parisada Hindu Dharma Indonesia, organisasi umat Hindu yang mengurusi kepentingan keagamaan maupun sosial.

Di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, terdapat satu-satunya pura yaitu Pura Mandara Giri yang terletak di kawasan Gunung Selok, Desa Karangbenda, Kecamatan Adipala. Saat peringatan Hari Galungan dan Kuningan, beberapa penggerak Komunitas GUSDURian Adipala Cilacap berkesempatan turut serta menghadiri acara tersebut.

Hari Galungan dan Kuningan adalah rangkaian Hari Raya umat Hindu dalam kalender Saka di mana perhitungan dalam satu bulan adalah 35 hari. Galungan apabila diambil dari bahasa Kuno mengandung arti kata “bertarung atau berperang”, atau disebut juga Dungulan yang artinya menang. Perbedaannya hanya dalam penyebutan, yakni Wuku Galungan (di Jawa) dan Wuku Dungulan (di Bali), namun artinya sama yaitu wuku yang kesebelas. Sebagai catatan, 1 Wuku sama dengan 7 Hari. 

Hari Galungan dimaknai sebagai kemenangan Dharma melawan Adharma. Dharma di sini merepresentasikan sebuah sifat kebenaran, kebajikan, dan kebaikan. Sedangkan Adharma mengandung arti sifat kejahatan, keburukan, dan kebatilan. 

Galungan dalam satu putaran akan jatuh pada 210 hari sekali. Perhitungan hari Buddha Kliwon Dungulan (Rabu Kliwon wuku Dungulan) tahun 2023 ini jatuh pada Hari Rabu Kliwon 4 Januari. 

Hari Raya Kuningan jatuh pada hari Saniscara (Sabtu) Kliwon, wuku kedua belas Kuningan. Diperingati setiap 210 hari sekali dengan menggunakan perhitungan kalender Saka, sepuluh hari setelah Hari Raya Galungan. Tahun 2023 jatuh pada Hari Sabtu Kliwon 14 Januari. 

Kuningan berasal dari kata kauningan yang artinya mencapai peningkatan spiritual dengan cara introspeksi agar terhindar dari marabahaya. Hari Kuningan merupakan hari resepsi bagi hari Galungan sebagai kemenangan Dharma melawan Adharma. 

Apabila mengacu pada perhitungan putaran kalender Saka, maka bisa terjadi dua kali peringatan Hari Raya Galungan dan Kuningan dalam satu tahun kalender Masehi. Demikian perbincangan kami dengan Bapak I Made Artana selaku Ketua PHDI Kabupaten Cilacap, atau yang akrab disapa Pak Made. 

Sebagai bentuk kampanye memperkenalkan nilai pemikiran Gus Dur, tidak lupa kami memberikan souvenir berupa buku Ajaran-Ajaran Gus Dur: Syarah 9 Nilai Utama Gus Dur kepada Pak Made yang diberikan oleh Mas Asit Prasetyo, salah satu penggerak Komunitas GUSDURian Adipala Cilacap.

Penggerak Komunitas GUSDURian Adipala, Cilacap.