Dalam kalender Islam, tanggal 16 Rajab 1444 Hijriah akan jatuh pada tanggal 7 Februari 2023. Di hari itu, Nahdlatul Ulama genap menempuh satu abad keberadaannya menurut kalender Hijriah. Untuk memperingatinya, Pengurus Besar NU (PBNU) akan menggelar rangkaian acara puncak harlah di GOR Delta Sidoarjo, Jawa Timur. Diperkirakan sejuta warga NU akan menghadiri puncak harlah tersebut. Mereka mengusahakan sendiri kehadiran mereka, demi ngalap berkah raksasa dari NU dan para ulama yang hadir, menurut Ketua Umum PBNU KH. Yahya Cholil Staquf.
Kepada warga Sidoarjo, Gus Yahya telah menyampaikan permohonan maaf apabila penyelenggaraan puncak Harlah Seabad NU membawa dampak kerepotan. Bahkan, sekolah-sekolah pun akan diliburkan pada tanggal tersebut untuk menjaga kemaslahatan para siswa dari keramaian yang akan terjadi. Tetapi, sebagian besar masyarakat Sidoarjo sendiri justru ikut bersemangat menyambut para nahdliyin nahdliyat yang akan menghadiri acara.
Liputan media mengulas tentang berbagai kampung yang memutuskan untuk berpartisipasi dengan menyiapkan nasi bungkus, snack box, minuman hangat sepanjang hari bagi para hadir-in dan hadir-out (istilah yang diperkenalkan Gus Saifullah Yusuf untuk merujuk pada warga yang mengikuti acara dari dalam dan dari luar ruangan). Makanan dan minuman ini disumbang oleh warga kampung semampu mereka. Warga NU maupun bukan warga NU, Muslim maupun warga beragama lain, dengan sukacita ikut bergotong royong walau hanya sebungkus nasi.
Masjid dan mushala, balai desa, bahkan gedung-gedung sekolah yang libur juga dibersihkan dan disiapkan untuk menjadi tempat persinggahan bagi warga NU yang datang dari luar kota. Bahkan, banyak warga NU di seputaran GOR Delta yang menyiapkan rumah mereka untuk menjadi tempat beristirahat dan menginap bagi para tamu tersebut.
Tradisi ini bukan hal asing di kalangan warga NU, ia mudah ditemukan di kala Muktamar dan Musyawarah Nasional Alim Ulama NU di berbagai tempat. Tradisi ini dilandasi oleh keyakinan bahwa menjamu tamu berarti membuka keberkahan bagi rumah mereka. Bukannya takut kerepotan, warga NU justru bersedih apabila rumahnya tidak disinggahi oleh para tamu.
Sungguh diametral dengan kecenderungan masyarakat modern yang rasional, lebih praktis dan menghindari repot, apalagi demi orang-orang yang tidak dikenalnya. Mengharap berkah datang melalui para tamu bukanlah hal yang rasional. Merepotkan diri sendiri melayani para tamu pada saat kita sendiri belum mampu hidup berlebih juga tidak rasional. Boleh dikata, NU adalah salah satu anomali.
Selain keyakinan akan berkah, warga NU melakukannya juga karena karakter komunal yang sangat kuat. Berbagai tradisi NU memang membuat watak komunal ini tumbuh subur. Misalnya pengajian, tahlilan untuk mendoakan warga yang meninggal dunia, haul atau peringatan kematian para ulama, peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, dan berbagai pertemuan lainnya.
Tradisi ini sejak awal disemai di pondok-pondok pesantren. Para santri berbagi ruang hidup dalam kesederhanaan dan belajar mengelola pesantren sebagai komunitas kecil dengan berbagai pranata sosialnya. Ini selaras dengan tradisi kampung-kampung dan desa-desa Nusantara, dan karenanya saling memperkuat. Di daerah-daerah di mana warga NU cukup banyak, kampung dan desa pun dipenuhi dengan berbagai acara keagamaan tersebut.
Tradisi komunal di lingkungan NU juga muncul dalam bentuk kontribusi finansial. Sebagian besar warga NU terbiasa untuk menyisipkan uang seberapa pun bagi perjuangan NU saat bertemu kiai atau nyai-nya. Di masa remaja, saya pernah ikut mengurus beberapa gepok uang ribuan yang dikumpulkan panitia dari jemaah pengajian dan diberikan kepada Gus Dur.
Saya sendiri sering mendapatkan salam tempel sebesar dua atau lima ribu rupiah dari para ibu yang menyalami saya di pengajian. Saya menyadari betapa sesungguhnya mereka mungkin lebih membutuhkan uang tersebut. Namun, salam tempel tersebut bukan soal uang. Ia adalah soal harapan ikut berjuang bersama para pemimpin. Juga soal harapan mendapat berkah Tuhan melalui doa para alim, yang dalam khazanah NU muncul dalam ungkapan nggandol sarung kiai.
Selain itu, sambutan dan keterlibatan warga dari berbagai kalangan dalam Harlah NU menunjukkan bagaimana NU tidak hanya dimiliki oleh jemaahnya, tetapi juga dimiliki oleh bangsa Indonesia. Bagi sesama Muslim yang bukan jemaah NU, ini wujud Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan seiman Islam). Sementara bagi kelompok masyarakat beragama lainnya, ini wujud Ukhuwah Wathaniyah (persaudaraan sebangsa) sebagai buah pilihan NU untuk menjadi pengayom minoritas dan pejuang keadilan bagi seluruh warga negara.
Puncak Harlah Seabad NU di Sidoarjo nanti bukan hanya momen yang menggambarkan betapa besar dan militannya warga NU. Ia juga akan menjadi perayaan bersama warga bangsa untuk menghormati khidmah NU bagi Indonesia.
Tetapi, yang lebih penting: ia akan menjadi perayaan nilai dan tradisi yang menghidupi NU dan Indonesia. Tradisi yang, apabila kita mampu merawatnya, bahkan mengembangkannya, akan menjadi modal utama menuju Seabad Indonesia. Sebagaimana disampaikan Gus Dur: dengan merawat NU, kita merawat Indonesia.
Selamat memasuki abad kedua, NU. Semoga tetap kokoh pada akar tradisi spiritual, terus berkembang mengikuti zaman, serta setia menjadi satpam Indonesia.
_______________
Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 5 Februari 2023