Bapak humanisme, bapak pluralisme, bapak bangsa, bapak Tionghoa, dan banyak sebutan lainnya yang disematkan pada sosok Gus Dur. Bagi saya, jejak hidup dan perjalanan Gus Dur telah membawanya pada martabat seorang tokoh multidimensi. Soal keislaman ia kuasai, demokrasi ia geluti, kebudayaan ia lindungi, kemajemukan ia hadapi dan berikan solusi, bahkan jiwa komedi pun ia miliki. Hingga kini, pemikiran dan kebijakannya senantiasa dibahas baik secara konvensional maupun melalui medium digital, khususnya terkait toleransi dan kemanusiaan. Namun ada satu hal yang acapkali luput dari hegemoni seorang Gus Dur, yakni pemikiran dan kebijakannya terkait lingkungan hidup.
Berbeda dengan isu-isu kebangsaan yang sifatnya sosial, isu lingkungan relatif jarang dikaitkan dengan Gus Dur. Padahal Gus Dur dalam perjalanannya sering kali menempatkan lingkungan hidup sebagai salah satu prioritasnya. Pertama, Gus Dur adalah peletak dasar transformasi kebijakan moratorium tebang hutan (10-20 tahun) untuk keberlanjutan pelestarian ekosistem lingkungan dengan diikuti restorasi dan koreksi regulasi yang menghardik sumber daya alam. Kedua, keberpihakan Gus Dur terhadap LSM di Simalungun Utara yang mengupayakan agar masyarakat memiliki legacy terhadap penjagaan kepemilikan hutan pohon meranti di sebuah suaka alam. Hal tersebut ternyata berimplikasi pada perlindungan hutan dari para perambah. Ketiga, keberpihakan Gus Dur pada kegiatan Laskar Hijau di Lumajang yang mengadakan “Maulid Hijau” di lereng Gunung Lemongan.
Keempat, pembelaan Gus Dur terhadap warga nahdliyyin di sekitar semenanjung Muria (Jepara) yang lingkungannya hendak dijadikan lahan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Pembangunan PLTN kala itu menurut Gus Dur akan mendatangkan lebih banyak madharat daripada manfaatnya. Kelima, pembelaan Gus Dur bersama Romo Mangun terhadap warga petani Kedung Ombo yang terusir akibat pembangunan waduk yang menelan hingga 37 wilayah di Boyolali dan Sragen. Keenam, penganjur konsep land reform untuk kedaulatan agraria dan keadilan para petani. Hal ini juga kemudian mendorong lahirnya Tap MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Ketujuh, mewujudkan transformasi Lembaga Penanggulangan Bencana yang selanjutnya melahirkan BMKG dan BNPB. Selain itu semua, masih banyak lagi peran aktif Gus Dur terhadap lingkungan, tak heran kemudian Gus Dur mendapat penghargaan dari Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) pada 2010 sebagai tokoh pejuang lingkungan hidup.
Eco-Spiritualisme Kerakyatan ala Gus Dur
Melalui pujian “ahsanu taqwim” dan gelar “khalifah fi al-ardh”, Allah menjadikan manusia sebagai makhluk mulia di bumi. Sebagai konsekuensi logis keutamaan tersebut, manusia diberikan tanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan bumi. Artinya, gelar khalifah bukan berarti manusia berhak semena-mena terhadap makhluk lain yang ada di bumi, termasuk lingkungan. Apalagi salah satu konsep tauhid menyatakan bahwa “kullu ma siwa allahi al-‘alam”, semua hal selain Allah adalah alam. Hal ini menegaskan bahwa pada dasarnya manusia dan seluruh lingkungan hidup adalah satu derajat sebagai ‘abdullah yang memiliki tanggung jawab untuk saling menghidupi. Dengan kata lain, simbiosis mutualisme adalah hak bagi seluruh alam.
Hemat saya, pemahaman atas konsep tersebutlah yang kemudian membawa nalar dan jiwa seorang Gus Dur dalam keberpihakannya terhadap lingkungan. Selain itu, paham Islam rahmatan li al-‘alamin yang acapkali menjadi semboyan Gus Dur merupakan prinsip fundamental dalam kehidupannya, termasuk kepada lingkungan. Menurut Hossein Nasr, pemahaman tersebut berarti bahwa muara etika moral dan spiritualitas seorang muslim adalah menjadi rahmat bagi alam semesta secara holistik, bukan sebatas untuk sesama manusia. Inilah eco-spiritualisme seorang Gus Dur, jiwa transendental yang menjadi sumber nilai (a source of value) dan makna luhur (ultimate meaning) dalam spiritnya terhadap lingkungan.
Jika ditelaah dari beberapa sikap dan kebijakannya terhadap lingkungan, prinsip eco-spiritualisme Gus Dur adalah kerakyatan. Ideologi kerakyatan yang digenggam dan dijiwai Gus Dur secara konsekuen membawanya pada perilaku dan kebijakan yang senantiasa berorientasi pada rakyat. Hal ini sebagaimana kaidah fikih yang sering dikutip Gus Dur dalam beberapa tulisannya, yakni “tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bi al-mashlahah”, kebijakan seorang pemerintah harus berdasar atas kemaslahatan rakyat. Eco-spiritualisme Gus Dur merupakan wujud integrasi-interkoneksi antara kesalehan religius dan sosial, sehingga implikasinya adalah manifestasi akhlak ketuhanan.
Revitalisasi Nalar Hijau
Salah satu kalimat Gus Dur yang paling populer adalah “Tuhan tidak perlu dibela”. Menurutnya, Tuhan itu Mahasegalanya maka Ia tidak perlu pembelaan, sementara yang perlu dibela adalah makhluknya. Hemat saya, kalimat tersebut bersifat multidimensi. Kemanusiaan, keadilan sosial, kemiskinan, hingga lingkungan dan seisinya adalah hal yang dalam kacamata Gus Dur perlu pembelaan. Keberpihakan Gus Dur terhadap banyak persoalan lingkungan merupakan hakikat pembelaan yang sebetulnya bangsa ini butuhkan sejak dahulu hingga kini.
Ini adalah nalar Gus Dur, nalah hijau yang dibutuhkan sebagai solusi atas krisis spiritual dan religiusitas bangsa terhadap apa yang disebut Hossein Nasr sebagai akibat dari kelalaian pada kebenaran abadi (perennial truths). Revitalisasi nalar hijau perlu menjadi kajian yang kemudian melahirkan spirit “when we heal the earth, we heal ourselves and show the essence of Islam”. Spirit ini penting diaktivasi bagi segenap bangsa dan umat Islam Indonesia, khususnya bagi kita—GUSDURian—para pelanjut kiprah Gus Dur.
Gus Dur sudah mencontohkan, saatnya kini kita yang melanjutkan. Jika kita seorang akademisi yang memiliki pengaruh, mulailah dengan memberikan pemahaman dan kesadaran kepada masyarakat akan pentingnya lingkungan hidup. Jika kita seorang pejabat yang memiliki wewenang, gunakanlah kekuatan dan relasi kita untuk membendung segala macam eksploitasi—yang minim maslahat—terhadap lingkungan. Jika kita seorang aktivis, bantulah para korban dan relawan kemanusiaan dalam menyuarakan aspirasinya terkait lingkungan. Mungkin kita bukan siapa-siapa, mulailah dengan membangun kesadaran bahwa alam adalah diri kita sendiri yang perlu dijaga dan dilestarikan.
Bagaimanapun, kini Gus Dur sudah tidak berada di tengah-tengah kita. Gus Dur sudah sampai di taman-taman indah yang lingkungannya serba asri. Gus Dur kini tengah menuai apa yang sudah ia tanam bagi keberlangsungan aspek ekologis bangsa Indonesia. Kini bukan saatnya kita melamun, “Andai Gus Dur masih ada, pasti proyek anu, anu, dan anu ……”. Sekali lagi, Gus Dur sudah memberi ibrah, saatnya kita melanjutkan kisah-kisah baik demi terciptanya lingkungan yang sehat dan terus memberi manfaat. Wallahu a’lam.