Perjalanan KH. Abdurrahman Wahid atau lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur sebagai guru bangsa berawal dari sebuah pemikiran yang bisa diterima, lalu menjadi sebuah khazanah intelektual yang menakjubkan. Kesadaran diri menghunjam dan terpatri dari segala sumber dan rahmat dalam dirinya, hal-hal yang dinilai ideal telah menjadi fondasi gerak, sikap, interaksi, dan teladan yang dikandung Gus Dur dalam memperjuangkan masyarakat, bangsa, dan umat manusia secara universal. Gus Dur meyakini bahwa manusia adalah makhluk yang mulia dibanding dengan makhluk-makhluk lain karena manusia itu sendiri diberi akal pikiran, hati, dan perasaan yang jauh lebih sempurna.
Hal yang paling indah dalam memahami pola pikir Gus Dur sebagai guru bangsa adalah bahwa setiap manusia tidak hendak meniadakan perbedaan karena manusia memang berbeda-beda dari segi tempat, bahasa, kulit, dan lingkungannya. Itulah sebabnya mengapa rasa toleransi kepada semua umat beragama harus ditegakkan karena keinginan Gus Dur memahami keadaan umat, agar manusia hidup damai tanpa perpecahan antarkeyakinan. Tentu banyak sekali konsekuensi atau bahkan kontroversi dari pandangan tersebut.
Di antara tindakan memuliakan manusia dan kemanusisaan itu sejatinya adalah menghormati serta menghargai manusia itu sendiri. Secara praktik, Gus Dur telah membuktikan dan memberikan teladan kepada bangsa dan umat manusia dalam pembelaan terhadap kemanusiaan, sesuai dengan kondisi dan konteks dia berpijak.
Menurut Nur Kholik Ridwan (2019), perspektif Gus Dur tentang persaudaraan bersumber dari prinsip-prinsip penghargaan atas kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, dan semangat menggerakkan kebaikan. Persaudaraan menjadi dasar untuk memajukan peradaban. Sepanjang hidup, Gus Dur memberi teladan dan menekankan pentingnya menjunjung tinggi persaudaraan dalam masyarakat bahkan yang berbeda keyakinan dan pemikiran.
Bagi Gus Dur, lanjut Nur Kholik dalam bukunya Ajaran-Ajaran Gus Dur, tidak boleh menganggap orang lain sebagai musuh hanya karena perbedaan keyakinan, bangsa, dan agama. Yang harus menjadi musuh bersama adalah ketidakadilan, eksploitasi, penindasan, diskriminasi, dan afirmasi-afirmasi atas teror dan kekerasan yang menghancurkan masyarakat dan umat manusia di mana pun.
Ketika Gus Dur menjadi presiden, ia pernah mengatakan, “Kita harus mempertahankan keutuhan negara kita di hadapan negara lain, yang terkadang dianggap ringan perasaan dan harga diri kita. Ini bukan tugas ringan, ini tugas berat. Apalagi karena kita sedang didera oleh peradaban paham yang besar oleh longgarnya ikatan-ikatan bangsa.” (Virdika Rizky Utama, 2019)
Dalam bukunya yang berjudul Menjerat Gus Dur tersebut, Virdika menulis, “Sebagai presiden, Gus Dur memang berhak melakukan berbagai perubahan yang diinginkannya agar Indonesia baru seperti konsepnya dapat terwujud. Hanya saja, Gus Dur tak pernah menjelaskan konsepnya sendiri. Maka setiap ia melansir hal baru, timbul juga goncangan baru.”
Terpilihnya Gus Dur menjadi presiden, membuatnya menghadapi banyak transisi yang menyebabkan kekhawatiran dari kerabatnya. Sebagai presiden keempat, ia harus mengelola masa peralihan yang penuh gejolak dan kesulitan karena unsur-unsur rezim yang lampau berusaha keras untuk menghalangi.
Pada saat yang sama, keadaan ekonomi di Indonesia semakin memburuk. Masyarakat mulai menunjukkan disintegrasi dan harapan pada demokrasi yang terlalu besar. Oleh karena itu, presiden yang baru akan mendapatkan kritikan dan pekerjaannya hampir-hampir tak dihargai. Gus Dur adalah pemimpin eksentrik yang suka membawa caranya sendiri. Ia memiliki visi untuk jauh lebih maju ke depan, memberikan inspirasi dan menunjukkan kepemimpinan yang jarang dapat dijalankan orang lain. Pendekatannya out of the box. Namun di fase krisis, masyarakat bisa menaruh harapan pada pendekatan-pendekatannya itu.
Lebih lanjut, Virdika mengungkap, Gus Dur telah berpikir logis dengan mengorganisasi serta mengonsolidasi para pakar yang ada di bawah tanggung jawabnya untuk diarahkan kepada kepentingan masyarakat. Dengan demikian, ukuran profesionalisme tidak saja dilihat dari kesesuaian antara profesionalisme dengan lembaga yang ditanganinya. Namun, sejauh mana orang tersebut bisa menciptakan iklim kerja yang baik serta menerapkan keahliannya secara bertanggung jawab pada bidang kerja yang diembannya.
Gus Dur mempraktikkan gagasan keberagamannya dengan tidak menomorsatukan kekuatan Islam politik dalam pemerintahannya. Meskipun, ia dipilih oleh kekuatan Islam politik saat pemilu. Gus Dur hanya ingin membentuk pemerintahan dengan melakukan perbaikan secara cepat dengan memilih orang yang dianggap jujur. Oleh sebab itu, syarat keilmuan tidak dinomorsatukan. Statement yang dikeluarkan oleh Gus Dur dengan membentuk pemerintahan yang dibangun atas pemikirannya menjadi sebuah kontroversi yang amatlah tajam. Hal ini terjadi karena Gus Dur dianggap semena-mena.
Gus Dur Diminta Mundur
Bersamaan dengan sidang panitia khusus (pansus) yang coba mengadili Gus Dur secara politis, pelemahan terhadap pemerintahan Gus Dur juga mulai gencar dilakukan. Amien Rais, tokoh yang mencalonkan Gus Dur sebagai presiden mengungkapkan penyesalannya telah mencalonkan Gus Dur sebagai presiden. Keterangan itu disampaikan dalam diskusi yang diselenggarakan KAHMI di Jakarta pada 25 Oktober 2000. Amien Rais meminta permohonan maaf karena merasa ia adalah sosok peran penting dalam memenangkan pencalonan Gus Dur sebagai presiden. Amien juga menyarankan supaya Gus Dur dan semua pihak menjawab pertanyaan radikal.
Media Indonesia mulai membuat survei untuk melakukan framing bahwa kinerja Gus Dur jauh yang diharapkan dan jatuhnya Gus Dur merupakan tuntutan akal sehat. Dengan membiarkan Gus Dur terus-menerus melakukan kesalahan fatal, bangsa ini seperti membuka kembali kesempatan kepada pemimpinnya untuk membawa bangsa ini ke jurang kehancuran.
Demi kepentingan berjalannya bangsa ini di atas rel konstitusi, siapa pun memang tidak layak diberi kesempatan mengganti pemimpin lewat jalan kudeta, revolusi, atau jalan di luar cara konstitusional. Namun, bila proses pergantian itu melalui konstitusi serta memiliki alasan obyektif, rasional, dan proporsional, tak ada alasan menolaknya.
Pada awal November 2002, perbenturan pun mulai berkembang antara masa pendukung dan anti Gus Dur pun. Demonstrasi terjadi. Setidaknya 20.000 santri menggelar aksi parlemen jalanan mendukung Gus Dur di Pasuruan, Jawa Timur. Mereka mendatangi DPRD setempat, menuntut Amien Rais dan Ketua DPR Akbar Tandjung mundur, serta menyerukan kekuatan warga NU dan Muhammadiyah tetap bersatu. “Manuver Amien Rais adalah upaya untuk membuka luka lama antara NU dan Muhammadiyah,” demikian pernyataan sikap mereka dalam gejolak peristiwa yang amatalah genting tersebut. Aksi mendukung Gus Dur mulai muncul di sejumlah kota seiring dengan maraknya dukungan terhadap ketua MPR Amien Rais yang menuntut Gus Dur mundur.
Di Balik Dekrit Presiden Juli 2001 & Pelengseran Gus Dur
Dalam pidatonya Gus Dur menyampaikan, “Dengan berat hati, selaku Presiden Republik Indonesia, mengumumkan pemberlakuan dekrit”. Lengsernya KH. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden ke-4 Republik Indonesia, dipicu oleh adanya Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada 23 Juli 2001, di mana dekrit itu dikeluarkan atas dukungan ulama yang hadir di Istana Merdeka, malam 21 Juli 2001. Lalu pada Senin dini hari, raut wajah Gus Dur tampak serius, intonasinya diatur sedemikian rupa sehingga membuat ruangan Istana Merdeka, Jakarta Pusat menjadi senyap. Di hari berikutnya 22 Juli 2001, Gus Dur mengeluarkan dekrit yang pada akhirnya Gus Dur harus terguling dari kursi presiden.
Yahya Staquf (Juru Bicara Kepresidenan) membacakan isi Dekrit, “Kami memerintahkan kepada seluruh jajaran TNI dan POLRI untuk mengamankan langkah penyelamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menyerukan seluruh rakyat Indonesia tetap tenang serta menjalankan kehidupan sosial ekonomi seperti biasanya”. Pemberlakuan dekrit pun menjadi sebuah persoalan yang langsung ditanggapi keras oleh lawan politik-politik Gus Dur, termasuk Megawati Soekarno Putri sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia juga tidak sependapat dengan langkah yang diambil oleh Gus Dur.
Wacana pemakzulan Gus Dur telah lama disuarakan oleh para tokoh politik yang berseberangan. Desakan itu diserukan seiring dengan menyebarnya isu kasus Yayasan Dana Bina Sejahtera, Karyawan Badan Urusan Logistik, dan bantuan Sultan Brunei. Namun tudingan itu tidak pernah terbukti sama sekali hingga saat ini. Pemakzulan Gus Dur yang dipimpin oleh Amien Rais sebagai Ketua MPR pun memantik kemarahan para santri NU dan simpatisan Gus Dur. Basis massa yang dipelopori Nahdliyyin sempat juga mengepung Istana Presiden dan Gedung DPR-MPR di Jakarta.
Semula Gus Dur tetap bertahan tinggal di Istana dengan dalih kebenaran, namun sikapnya berubah ketika Gus Dur mendengarkan kabar bahwa banyaknya masa santri dan simpatisan dari Jawa Timur yang akan datang berbondong-bondong ke Jakarta untuk membelanya. Karena kabar tersebutlah Gus Dur dengan tegas meletakkan jabatannya sebagai presiden, sebab menurut Gus Dur sendiri tidak ada suatu jabatan yang patut dipertahankan, dengan mengorbankan rakyatnya. Itulah sebabnya Gus Dur selalu menjadi teladan kemanusiaan.
Momen peristiwa yang sampai saat ini masih diingat adalah ketika Gus Dur keluar dari istana, hanya menggunakan celana pendek dan kaos sambil melambaikan tangannya. Saat itu Gus Dur keluar ke teras istana didampingi dengan putrinya, Yenny Wahid dan beberapa orang terdekatnya. Peristiwa itu terjadi pada Senin 23 Juli 2021 malam, hari di saat MPR sibuk melantik Megawati Soekarno Putri sebagai Presiden Republik Indonesia menggantikan Gus Dur. Kala itu Gus Dur keluar istana untuk menyapa pendukungnya, sekaligus memberikan arahan agar tidak berbuat anarkis terkait keputusan MPR yang telah memakzulkan dirinya. Banyak komunitas pendukung Gus Dur yang mengepung istana, hal tersebut dilarang oleh Gus Dur karena jabatan tidak perlu dibela mati-matian.
Apakah Gus Dur Hilang setelah Dilengserkan?
Jawabannya tidak. Gus Dur tetap menjadi pendekar demokrasi di Indonesia dan sebagai teladan kemanusiaan. Hal tersebut dilansir dari buku Goro-Goro Menjerat Gus Dur yang ditulis oleh Ahmad Hakim Jayli dan kawan-kawan. Namun Aksin Wijaya dalam artikelnya yang berjudul “Minhah Gus Dur: Menjerat Para Politisi dan Intelektual Pengkhianatan Gus Dur”, mengungkapkan bahwa ketika pascamasa pelengserannya, Gus Dur masih tetap produktif dalam menuangkan gagasan-gagasannya, baik melalui seminar maupun tulisan. Bahkan ketika tidak menjadi presiden, Gus Dur menelurkan karya fenomenal berjudul Islamku, Islam Anda, Islam Kita (2006). Ketika wafat pun nama Gus Dur tetap harum. Masyarakat dari berbagai kalangan berziarah ke makamnya yang berada di Jombang dan bersanding dengan makam kakeknya, KH. Hasyim Asy’ari.
Selain nama baiknya, yang tak kalah fenomenal dari Gus Dur adalah gagasan-gagasannya. Dari gagasan-gagasan ini, sekarang muncul gerakan GUSDURian di berbagai belahan kota/daerah di Indonesia yang memperjuangkan gagasan-gagasan Gus Dur. Mereka bukan hanya berasal dari kalangan NU maupun non-NU, bahkan dari kalangan non-muslim pun tergerak merawat gagasan dan pemikiran Gus Dur yang melintasi ruang dan waktu itu. Setelah wafat pun gagasannya yang berlian serta cemerlang itu terus dilestarikan. Selain Presiden Soekarno dan KH Hasyim Asy’ari, belum ada intelektual muslim yang melahirkan gerakan semacam GUSDURian. Dengan gerakan GUSDURian inilah nama Gus Dur akan tetap hidup.