Social Media

Aceh Paripurna adalah Aceh yang Inklusif

“Tak penting apa pun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua, orang tidak pernah tanya apa agamamu.”

(Gus Dur)

Saya memulai tulisan ini dengan mengutip sebuah pernyataan dari Gus Dur yang memiliki korelasi dengan tulisan ini. Orang tidak pernah tanya apa agamamu ataupun sukumu saat melakukan kebaikan. Sangat keliru apabila ingin melakukan kebaikan harus membaca Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk mengidentifikasi apakah ia merupakan bagian dari kelompoknya atau bukan.

Lalu apa tujuan Allah menciptakan hati manusia apabila hatinya tidak memiliki fungsi? Maka itu merupakan kesia-siaan. Padahal, sesuatu yang Allah ciptakan tidak ada yang sia-sia. Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya “…Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia.” (QS Ali Imran: 191).  

Konflik berkepanjangan dan penerapan syariat Islam adalah dua hal yang familiar di benak masyarakat luar Aceh. Sukar membuang dua stigma tersebut. Aceh dan konflik sudah dimulai pasca-kemerdekaan Indonesia dengan bergabungnya Daud Beureueh dengan gerakan yang dibangun oleh Kartosuwiryo yang diberi nama gerakan membangun Negara Islam Indonesia (NII). Pasca-berakhirnya gerakan Daud Beureueh dilanjutkan kembali oleh Tengku Hasan Tiro pada tahun 1976. Pada tahun 2005 secara resmi konflik bersenjata di Aceh berakhir.  

Apabila ditelusuri lebih lanjut, banyak sekali pesona yang terdapat di Aceh, baik itu pesona alam maupun pesona kehidupan masyarakat yang harmonis satu sama yang lain. Etnis di Aceh sangat beragam. Koentjaraningrat dalam buku Pengantar Antropologi menyampaikan, etnis atau suku merupakan suatu kesatuan sosial yang dapat dibedakan dari kesatuan yang lain berdasarkan akar dan identitas kebudayaan, terutama bahasa.

Untuk etnis (suku) lokal saja berjumlah 13 yakni: Suku Aceh, Suku Tamiang, Suku Gayo, Suku Alas, Suku Kluet, Suku Julu, Suku Pakpak, Suku Aneuk Jamee, Suku Sigulai, Suku Lekon, Suku Devayan, Suku Haloban, dan Suku Nias. Suku-suku pendatang pun tak kalah banyak, di antaranya ada Suku Jawa, Suku Sunda, Suku Tionghoa, dan lain sebagainya. Dari sisi agama pun juga beragam, terdapat agama Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha, dan Islam. Esensi dari kehidupan yang harmonis adalah memudahkan bangsa Indonesia mencapai cita-cita atau tujuannya.

Saya akan menunjukkan praktik baik keberagaman di Aceh berdasarkan pengalaman pribadi. Pertama, saya merupakan pengajar pada salah satu sekolah Kristen di Banda Aceh, namun saya sendiri beragama Islam. Sudah empat tahun saya mengajar di sekolah tersebut. Interaksi antara saya dengan peserta didik berjalan dengan baik. Bahkan pada bulan puasa lalu, salah satu peserta didik yang beragama Kristen meminta maaf karena dengan tidak sengaja makan di depan saya. Peserta didik tersebut berumur 13 tahun. Umur tersebut sudah memahami makna toleransi yang tinggi.

Selain itu, peserta didik di sekolah tersebut beragam dari segi agama dan suku meskipun merupakan sekolah Kristen. Muhammad Zakky adalah peserta didik yang beragama Islam. Berdasarkan pantauan saya, Zakky tidak canggung sedikit pun berteman dengan temannya yang beragama Katolik, Kristen, Buddha, dan Hindu. Bahkan ia kemarin melaksanakan ibadah puasa pada saat bersekolah. Saat jam istirahat para peserta didik yang lainnya tidak mengganggu Zakky yang sedang berpuasa.

Dari segi kebijakan sekolah juga tidak ada yang mendiskriminasikan guru yang beragama Islam. Saat bulan puasa lalu, guru-guru yang beragama Kristen, Buddha, Hindu, dan Katolik tidak makan di tempat umum. Selain itu juga, sekolah menyelenggarakan buka puasa bersama. Pelaksanaan buka puasa bersama ini dengan segenap para guru tentunya memiliki makna keharmonisan satu sama yang lain, agar atmosfer keberagaman dapat terus terjaga.

Kedua, teman saya yang bernama Novelselian. Ia baru dua tahun di Aceh sejak 2020. Sebelumnya ia berasal dari Medan, beragama Kristen, dan beretnis Tionghoa. Saat ia datang ke Aceh, tidak ada masyarakat yang mengejek ataupun menolak ia hanya karena berbeda suku dan agama. Ia mengaku merasa sangat nyaman tinggal di Aceh, meskipun suku Aceh dan agama Islam adalah mayoritas di sini. Saat berbelanja ke pasar pun tidak terdapat pedagang yang memperlakukannya secara diskriminatif, baik itu secara pelayanan maupun secara harga. Lazimnya apabila masyarakat masih primordial maka tentunya akan mengupayakan diskriminasi terhadap yang berbeda.

Ketiga, teman saya yang bernama Chong Lie, atau biasa dipanggil Achong. Interaksi dengan yang berbeda nampaknya sudah menjadi rutinitas yang selalu ia lalui. Ia aktif di Yayasan Hakka Aceh dan menjadi salah satu pembina olahraga barongsai. Yayasan Hakka Aceh saat awal pandemi Covid-19 sangat aktif untuk mencegah penyebaran Covid-19 dan juga membantu masyarakat yang terdampak dari sisi ekonomi, yaitu dengan menyediakan nasi murah. Nasi murah tersebut diperuntukkan kepada masyarakat terdampak Covid-19.

Achong termasuk salah satu dari beberapa orang yang terlibat dalam program tersebut. Saat itu, ia bercerita ada seorang tukang becak tinggal di Gampong Keutapang, Kecamatan Lhong, Kabupaten Aceh Besar. Biasanya ia datang ke tempat nasi murah selalu telat dan mau habis. Karena ia rutin datang, maka ia menyampaikan ada sekitar lima bungkus yang selalu disimpan. Meskipun tukang becak itu beragama Islam dan Achong Kristen, tidak ada perlakukan diskriminasi yang diberikan. Ia melayani siapa pun di program nasi murah tersebut dengan baik.

Selain itu, Achong percaya kehidupan yang harmonis dapat tercipta apabila adanya interaksi antarsesama yang terjalin. Hal tersebut dituangkan olehnya dalam sebuah kebijakan pada komunitas barongsai yang ia kelola, dengan membolehkan siapa pun untuk mendaftarkan diri pada komunitas barongsai. Barongsai sendiri adalah sebuah tarian tradisional Tiongkok dengan menggunakan sarung yang menyerupai singa. Kendati tarian itu berasal dari Tiongkok, bukan berarti hanya orang beretnis Tionghoa saja yang boleh ikut serta pada komunitas tersebut.

Keempat, teman saya yang bernama Fiber, beragama Kristen, dan berasal dari Tapanuli Utara. Jejak petualangan di Aceh dimulai pada tahun 2015. Awal mula orangtuanya melarang pergi Aceh. Stigma diskriminasi terhadap yang berbeda agama nampaknya menjadi konsumsi orangtua Fiber. Namun karena tekad sudah bulat akhirnya Fiber pun tiba di Banda Aceh. Teman sesama persekutuan gereja menerimanya di Aceh. Dua bulan setelah itu, ia pun mulai mencari pekerjaan. Akhirnya pertemuan dengan Bapak Ahmad membuat ia diterima di tempat usaha fotokopiannya. Awalnya Fiber merasa canggung saat bekerja di tempat orang muslim, namun perlakuan yang setara membuat Fiber begitu nyaman. Bahkan Bapak Ahmad sudah menganggap Fiber sebagai bagian dari keluarganya.

Meskipun demikian bukan berarti kelompok rentan (minoritas) tidak menerima bentuk diskriminasi. Ada beberapa bentuk diskriminasi yang pernah saya saksikan langsung, yakni: Pertama, pada 2019 ketika saya mengantarkan peserta didik menuju lokasi pagelaran lomba basket dengan menggunakan angkutan umum. Sesampai kami (saya beserta peserta didik) di lokasi, masyarakat sekitar mengejek “Cina! Cina!” sambil menunjuk-nunjuk. Raut muka peserta didik yang menerima ejekan itu seketika berubah. Sebagai pertanda ia tidak senang mendengarkan ejekan tersebut.

Kedua, saya sendiri berasal dari sebuah kabupaten yang masih dalam cakupan Provinsi Aceh, yakni Kabupaten Pidie. Pada 2013, karena alasan pendidikan saya pun berkelana ke Banda Aceh. Saat itu saya kerap menerima diskriminasi verbal dengan sebutan “Pidie Pelit”. Sejujurnya saya bingung, mengapa orang tanpa tahu aktivitas saya langsung melakukan penghakiman tersebut. Hal itu merupakan persekusi. Namun yang ironis, diskriminasi verbal tersebut juga dirasakan oleh seluruh pemuda-pemudi yang pergi merantau ke berbagai wilayah di Aceh.

Ketiga, pemaksaan atribut keagamaan. Apabila ada masyarakat yang beragama selain Islam, mengikuti kegiatan umum seperti pertemuan antara masyarakat, seminar, dan sebagainya. Mereka seolah dipaksa untuk menggunakan atribut keagamaan tertentu, bahkan disindir, “Kamu kenapa tidak menggunakan hijab? Apakah kamu tidak menghargai kami?”. Nah, itu terjadi terus-menerus. Implikasinya, kelompok rentan tersebut secara spontan menggunakan hijab saat mengikuti pertemuan tersebut.

Dengan demikian, dapat disimpulkan berdasarkan pengalaman saya, masyarakat di Aceh dapat dibagi ke dalam dua pengelompokan: (1) kelompok toleran, terbuka, dan (2) kelompok intoleran, tertutup, serta suka memvonis orang. Kondisi itu sangat umum terjadi di Aceh, mengingat Aceh menjalankan sistem pemerintahan berdasarkan hukum syariat Islam. Pada dasarnya, Islam membawa kedamaian bagi siapa pun. Dengan demikian seharusnya sangat tidak mungkin ada bentuk diskriminasi di Aceh. Artinya Aceh belum paripurna. Aceh bisa disebut paripurna ketika ia sudah inklusif. Apa pun identitas masyarakat di dalamnya, mereka akan nyaman tinggal di Aceh tanpa harus khawatir dipersekusi ataupun terancam nyawanya.

Kondisi di atas, sebagaimana yang saya kemukakan, harus dilakukan dan dirumuskan sebagai sebuah solusi. Saya merumuskannya menjadi tiga langkah, yaitu: (1) membiasakan terjadi interaksi secara inklusif dan konfirmasi saat muncul prasangka buruk, (2) melakukan sertifikasi terhadap para tokoh agama untuk mengukur open mind mereka terhadap keberagaman. Apabila belum open mind maka tentunya perlu dilakukan dialog terbuka berkelanjutan sehingga paradigma keliru tersebut dapat bergeser, dan (3) membekali tuha peut (Badan Permusyawaratan Desa, disebut juga sebagai Legislatif Desa) dengan paradigma inklusif dan keberagaman.

Pembekalan tersebut memiliki fungsi untuk menciptakan atmosfer inklusif dari kesatuan masyarakat terkecil (desa). Dengan terciptanya atmosfer ini maka narasi negatif (propaganda dengan maksud memecah belah) dapat di-“netralkan” sejak dini. Saya menutup tulisan ini dengan mengutip pernyataan dari Nelson Mandela, “Semuanya kelihatan tidak mungkin sampai segala sesuatu selesai.

___________

Tulisan ini merupakan esai reflektif tentang toleransi dari para alumnus Youth Camp “Muda Toleran” yang digelar oleh Jaringan GUSDURian dan INFID pada 1-4 September 2022 di Yogyakarta.

Alumnus Youth Camp "Muda Toleran" 2022 Jaringan GUSDURian-INFID. Tinggal di Banda Aceh.