Alain Badiou, seorang filsuf kontemporer Prancis yang juga dikenal sebagai penafsir Plato yang “nyentrik,” mengembangkan satu corak pemikiran dan posisi politik yang khas, khususnya terkait dengan gagasan tentang emansipasi, kebenaran, dan juga subjek yang berkomitmen kepada kebenaran tersebut.
Penulis merasa bahwa posisi khas Badiou ini relevan untuk memahami sosok Gus Dur, khususnya mengenai posisinya yang khas dalam memperjuangkan ide keadilan dan perdamaian global. Dengan kata lain komitmen kuat Gus Dur akan keadilan global, termasuk juga peran sentral spiritualitas dalam upaya mewujudkan keadilan dan kedamaian global tersebut. sekiranya relevan untuk diteropong dengan kacamata Badiou.
Posisi khas akademik sekaligus politik Badiou sendiri tidak dapat dipisahkan dari latar belakang aktivisme politiknya sebagai seorang marxis (maois, merujuk pada paham yang dikembangkan Mao Zedong). Ia memiliki kecondongan pada marxisme setelah sebelumnya terlibat aktif dalam gerakan protes di tahun 1968 yang saat itu melanda Prancis dan berbagai negara Eropa lain. Spirit aktivismenya itulah yang terus ia lestarikan dengan inisiatifnya untuk membentuk UCFml (Union of Communists of France Marxist Leninist), satu gerakan komunisme (maois) yang ia dirikan bersama sejumlah rekan-rekannya setahun setelah protes besar di tahun 1968.
Latar aktivisme yang kental itulah yang membuat Badiou berkomitmen untuk mengembangkan kajian akademik yang revolusioner pula. Walau perlu ditegaskan pula bahwa, ia tidak segan mengembangkan jejaring intelektualnya dengan kalangan akademisi yang notabene berpemahaman postmodern semacam Gilles Deleuze, Michel Foucault, dan Lyotard. Perkawanan intelektual yang membuahkan kerja sama pada pendirian fakultas filsafat di Universite de Paris VIII tersebut tidak mengurangi kritisme Badiou pada rekan-rekannya yang menurutnya telah melenceng dari garis ortodoksi Marxisme.
Badiou sendiri menyaksikan berubahnya situasi politik global pasca-keruntuhan Soviet dan menguatnya dominasi kapitalisme di seluruh dunia. Dominasi kapitalisme ini bagi Badiou membuahkan kondisi yang tidak sehat, di mana dunia global mengalami disorientasi serius akibat penetrasi logika pasar ke berbagai sendi kehidupan. Sebagai contoh, para aktivis yang sebelumnya memiliki idealisme tinggi tentang emansipasi kini “terjerat” dalam logika pasar dan akhirnya berbalik arah menjadi pembela tatanan kapitalisme (yang diistilahkan Badiou sebagai Kapitalo-Parlementarisme/Capitalo-Parliamentarism).
Tatanan politik tidak kalah “absurdnya” di mata Badiou. Dominasi kapitalisme menghasilkan berbagai dampak negatif di tengah masyarakat seperti naiknya angka pengangguran. Massa yang tidak puas semacam ini kemudian menjadi “mangsa empuk” bagi para politisi yang gencar menebar wacana-wacana politik populis untuk menarik dukungan massa. Bagi Badiou, bukannya kapitalisme yang kemudian dikritisi, tetapi wacana populis ini mendistorsi ancaman menjadi bernada identitas. Dalam konteks Eropa, ancaman “identitas” ini memiliki arti ketakutan terhadap orang asing (migran), kaum pekerja, orang Muslim, dan orang Afrika.
Hasil dari disorientasi politik semacam ini salah satunya termanifestasi dengan terpilihnya Sarkozy yang dianggap Badiou lekat dengan ide reaksioner (mengaku melindungi Prancis dari ancaman asing) dan juga fasisme (faktanya ia justru menjadikan Prancis tunduk kepada kepemimpinan dunia AS). Kritik Badiou terhadap Sarkozy ia sajikan dalam karya khusus berjudul The Meaning of Sarkozy (2008) -edisi bahasa Prancisnya terbit tahun 2007-. Dengan kata lain kapitalisme membuka jalan bagi otoritarianisme politik di Prancis dan hal ini tidak bisa dicegah karena kapitalisme juga telah “mendundukkan” para aktivis dengan iming-iming kapital.
Badiou melihat dunia akademik sebagai ruang yang sekiranya potensial untuk menumbuhkan satu proyek politik emansipatoris baru untuk melawan dominasi Kapitalo-Parlementarisme tersebut. Namun ia dikecewakan karena dunia akademik justru memperkokoh dominasi kapitalisme dengan “keranjingannya” pada logika dekonstruksi -secara luas- yang merayakan kematian ide-ide besar seperti komunisme, dan sebaliknya memegang pandangan bahwa segala sesuatunya relatif. Relativitas kebenaran adalah suatu yang perlu untuk diperjuangkan karena ide-ide besar semacam kemanusiaan, keadilan, emansipasi sering kali justru berujung pada dehumanisasi. Tidak mengherankan jika tren dekonstruksi ini menyebar tidak hanya di fakultas filsafat saja tetapi dalam berbagai disiplin lain, baik disiplin sosial-humaniora, studi agama, bahkan juga ilmu-ilmu alam.
Bagi Badiou, tren relativisme kebenaran dan juga keengganan dunia akademik untuk kembali mengafirmasi ide besar -atau bisa juga dikatakan kebenaran dalam arti yang universal (atau narasi besar dalam bahasa postmodern)- justru memuluskan jalan bagi dominasi kapitalisme. Ia melihat sikap dekonstruktif semacam ini membuat kaum intelektual menjadi tidak berdaya untuk menyusun perlawanan terhadap kapitalisme, karena setiap kali ada upaya untuk menyusun satu narasi besar tentang emansipasi akan dicurigai sebagai bentuk “otoritarianisme terselubung.”
Menghadapi kecenderungan dekonstruktif ini yang ia nilai sebagai satu bentuk “sofisme modern,” maka Badiou menawarkan alternatif lain yang sekiranya dapat keluar dari tudingan kalangan akademik yang sedikit banyak dipengaruhi oleh tren sofisme tersebut. Menurut Badiou, perlu bagi kalangan intelektual untuk kembali merekognisi metafisika, namun dalam bentuknya yang non-tradisional sehingga tidak jatuh dalam “otoritarianisme.” Kembalinya metafisika inilah yang bagi Badiou menawarkan satu landasan filosofis bagi perlawanan terhadap rezim politik global yang dibentuk oleh logika Kapitalo-Parlementarisme tersebut.
Metafisika “non-tradisional” yang dimaksud Badiou dapat dibangun lewat matematika. Perlu diingat bahwa Badiou, selain juga dipengaruhi kuat oleh tradisi Marxisme, ia juga merupakan penafsir Plato yang “nyentrik.” Istilah “nyentrik” dalam konteks ini karena Badiou berupaya membaca ulang Plato sesuai dengan projek politiknya dan tidak dengan kerangka “objektif” sebagaimana penafsir Plato pada umumnya.
Dalam skema Platonisme, bisa dikatakan matematika merupakan satu rumpun/disiplin ilmu yang dibedakan dengan fisika, karena matematika memiliki objek studinya yang khas yakni benda-benda (entitas) yang bukan fisik. Distingsi Plato tentang fisika dan matematika cukup beralasan mengingat matematika mempelajari objek-objek yang abstrak karena angka-angka pada hakikatnya tidak mengada secara faktual di dunia fisik melainkan sebuah abstraksi mental atas dunia fisik, di mana keterkaitan ketatnya dengan dunia fisik sudah dipotong sedemikian rupa.
Kita bisa ambil contoh angka 1, 2, 3 pada awalnya merupakan hasil tangkapan dari indera kita tentang satu entitas fisik, misal apel di meja. Namun ketika ia telah masuk ke dalam pikiran, maka pikiran dapat mengabstraksikan apa yang kita lihat di dunia fisik menjadi sepenuhnya realitas abstrak. Angka 1 bisa saja merujuk pada apel, tetapi tidak niscaya lagi. Alasannya karena angka 1 telah dipisahkan dari gambar fisik akan apel tersebut.
Badiou mengemukakan perlunya kembali ke metafisika lewat perantaraan matematika. Alasannya, sebagaimana dinyatakan oleh Caitlyn Lesiuk dalam artikelnya, “Alain Badiou is the World’s Leading Philosopher of Communism” (2023), Badiou merasa teori kebenaran yang kini dipakai secara luas adalah teori kebenaran korespondensi yang sedikit banyak memerangkap seseorang pada tatanan Kapitalo-Parlementarisme.
Ambillah contoh, ketika seseorang menawarkan satu kebenaran alternatif maka dengan cepat gagasan itu akan di-counter dengan menyatakan mana contoh atau gambaran konkret akan kebenaran tersebut? Sementara teori kebenaran ini akan mendukung status quo rezim Kapitalo-Parlementarisme karena dengan mudah ia akan menunjuk dimensi empiris dari peradaban kapitalisme hari ini, misal dengan memperlihatkan capaian-capaian ekonomi (barang dan jasa berlimpah, tetapi harus membayar mahal) atau politik (adanya demokrasi, tetapi ditentukan oleh uang), dari tatanan tersebut.
Dengan mengembalikan metafisika, maka seseorang dapat membangun jarak dengan realitas yang dikuasai oleh logika kapitalisme tersebut. Lebih jauh, dengan mengafirmasi metafisika maka yang menjadi krusial adalah bukan sejauh mana satu kebenaran berkorespondensi dengan realitas fisik, tetapi bagaimana kebenaran dapat melampaui dunia fisik sehari-hari tersebut. Dalam kerangka baru ini maka politik emansipatoris dapat diberikan fondasinya karena yang menjadi penting dalam teori kebenaran yang baru ini ialah bagaimana mengafirmasi satu kebenaran alternatif yang sekiranya mampu melampaui kebenaran fisikal ala Kapitalo-Parlementarisme tersebut.
Badiou menyebutkan bahwa dalam disiplin matematika dikenal konsep himpunan. Himpunan dapat diartikan sebagai satu kotak yang menghimpun anggota-anggota/elemen/unsur di dalamnya. Melalui konsep himpunan, Badiou beranggapan bahwa dapat ditemukan satu bentuk kebenaran (atau ide besar) yang tidak menegasikan pluralitas di dalamnya. Dengan kata lain matematika menyediakan alternatif dari tren postmodernisme dengan memberi ruang pada pluralitas dan sekaligus tidak terjebak dalam tren modernitas yang menekankan pada kesatuan (sebagaimana Hegel misalnya).
Kebenaran ala himpunan ini bagi Badiou muncul dalam situasi khusus yang disebut dengan event (peristiwa). Melalui peristiwa (event) itulah maka kebenaran ala himpunan ini dapat mengada berikut subjek-subjek yang mengafirmasi dan memegang teguh kebenaran tersebut tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Protes 1968 bagi Badiou adalah satu contoh event yang menghasilkan kebenaran ala himpunan tersebut. Lebih jauh, Badiou adalah salah satu sosok yang mengalami event 1968, di mana ia lantas menemukan kebenaran ala himpunan tersebut dan memilih berpegang teguh dengannya hingga hari ini.
Tentu event 1968 bukan satu-satunya event di mana kebenaran tersingkapkan. Setyo Wibowo, salah satu pemikir kontemporer Indonesia yang dikenal dengan studi intensnya soal Badiou, menyatakan -dalam Forum Salihara pada 4 Maret 2023 yang mengangkat tema Alain Badiou dan Platon– bahwasanya dalam konteks Indonesia event ini -salah satunya- mewujud dalam peristiwa Reformasi. Melalui event Reformasi, berbagai elemen masyarakat yang berbeda-beda dapat disatukan dalam satu himpunan besar yang memiliki visi politik kontra Orde Baru, di mana rezim ini dipandang menyuburkan KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme).
Berdasarkan analisis Badiou dan juga Setyo mengenai relasi antara event dan kebenaran, dapat dikatakan Gus Dur juga mengalami pengalaman eventual semacam itu yang membuatnya bersetia pada satu ide besar/kebenaran universal. Kebenaran universal yang dimaksud ialah keadilan global yang bersendikan pada metafisika (spiritualisme). Pengalaman eventual yang dialami Gus Dur berikut implikasi kepada komitmennya terhadap kebenaran metafisik bernama keadilan global dapat dilacak pada karyanya berjudul Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama, Masyarakat, Negara, Demokrasi (2006), khususnya pada bab VII yang diberi judul Islam, Perdamaian, dan Masalah Internasional.
Bab tersebut berisikan sejumlah pandangan Gus Dur yang ia tuliskan di sejumlah media massa semacam Kedaulatan Rakyat, The Jakarta Post, dan Sinar Harapan -termasuk juga tulisan dalam bentuk memorandum-, pada rentang waktu 2002-2003. Maka tidak berlebihan jika menyatakan bahwa periode 2002-2003 adalah momen eventual bagi Gus Dur, di mana kemudian melaluinya ia memilih bersetia untuk memperjuangkan ide keadilan global yang berasaskan pada metafisika (spiritualisme). Momen yang dimaksud ialah terjadinya Perang Irak pada tahun 2003 yang mengakhiri kekuasaan Saddam Hussein.
Invasi Amerika Serikat ke Irak pada tahun 2003 bagi Gus Dur memperlihatkan secara “vulgar” bekerjanya tata dunia baru yang didasarkan pada unipolarisme dan bukannya keadilan global. Sebagai bukti, AS tidak perlu meminta persetujuan PBB terhadap perang yang dia klaim sebagai upaya untuk memperjuangkan kedamaian dunia. Serangan yang dipertontonkan kepada publik dunia tersebut membuat Gus Dur tergerak untuk terlibat aktif dalam berbagai gerakan yang memperjuangkan keadilan global semacam World Council for religious Leaders (Dewan Dunia Pemimpin-Pemimpin Agama).
Dengan kata lain subjektivitas Gus Dur atau pihak-pihak lain di berbagai belahan dunia tumbuh dan disatukan dalam sebuah himpunan matematis bernama ide tentang keadilan global. Ide keadilan global tersebut bukan hasil konstruksi Gus Dur atau aktivis lainnya, tetapi secara spontan mewujud karena dipicu oleh satu event bernama Perang Irak tahun 2003. Pasca event tersebut, baik Gus Dur dan pihak-pihak lain kemudian berupaya mengambangkan jaringan perlawanan di bawah payung ide besar tentang keadilan global tersebut.
Menariknya, sebagaimana Badiou, Gus Dur juga meyakini bahwa tidak mungkin memisahkan politik dari metafisika jika menginginkan ide keadilan global tersebut terwujud dan tidak terkooptasi oleh jeratan logika Kapitalo-Parlementarisme. Gus Dur mengajukan tawaran metafisika berbasis spiritualisme sebagai solusinya sebagai landasan untuk memperkuat ide keadilan global tersebut. Namun, menariknya sebagaimana tawaran Badiou, Gus Dur menyatakan bahwa spiritualitas yang dia maksud bukan spiritualitas yang “relatif” atau spiritual yang “tunggal”, melainkan spiritualitas yang berbasis pada dialog.
Maka, Gus Dur kemudian mengusulkan sebuah resistensi terhadap logika geopolitik materialis dengan spiritualitasme baru yang dihasilkan melalui proses dialog antarpermeluk agama. Gus Dur meyakini bahwa lewat dialog dimungkinkan terciptanya satu kebenaran spiritual-metafisik tentang keadilan dalam arti universal tetapi tidak menegasikan keunikan dari spiritualisme yang diyakini oleh pemeluk agama masing-masing. Dengan kata lain tawaran dialog antaragama ini mirip dengan metafisika berbasis konsep himpunan ala Badiou yang mengafirmasi ide besar, namun juga tidak menghapus pluralitas masing-masing elemen.
Rekognisi metafisika spiritual inilah yang coba didorong oleh Gus Dur secara nyata -misalnya- lewat pidatonya yang mendukung pembentukan lembaga World Council for Religious Leaders (Dewan Dunia Pemimpin-Pemimpin Agama) yang berfungsi sebagai penasihat PBB. Meskipun lembaga tersebut tidak memiliki kekuatan mengikat, tetapi setidaknya melalui lembaga tersebut upaya untuk menjadikan metafisika sebagai landasan bagi politik dapat dirintis sedemikian rupa. Gus Dur -sebagaimana dipaparkan dalam artikelnya berjudul “Diperlukan Spiritualitas Baru” (2002)- merasa cukup puas karena pidatonya soal “meta-politik” yang ia sampaikan dalam sebuah forum yang diselenggarakan untuk mematangkan ide tentang pembentukan lembaga penasihat PBB tersebut mendapat respons positif dari peserta sidang.
Sebagai penutup, Gus Dur menginsyafi bahwa upaya untuk memperjuangkan tata dunia baru yang didasarkan pada ide keadilan global bukan merupakan hal yang mudah. Bahkan Gus Dur mengakui ide tersebut seperti “lamunan” belaka. Namun karena Gus Dur telah bersetia pada kebenaran eventual yang dialaminya pada tahun 2003 -yakni saat terjadinya Perang Irak- maka ia menepis pesimismenya sendiri dengan menyatakan bahwa “cita-cita besar sering berangkat dari lamunan.” Satu pernyataan yang sekiranya menjadikan sosok Gus Dur begitu dekat dengan posisi Badiou yang juga mengafirmasi pentingnya sebuah “lamunan” (yakni ide yang memang hanya mewujud dalam pikiran) sebagai sebuah titik pijak bagi penciptaan tata dunia yang lebih baik di masa depan.