Komunitas GUSDURian Pekalongan mengadakan diskusi Forum 17-an dengan tema “Memahami Toleransi lewat 9 Nilai Gus Dur” yang bertempat di Taman Makam Pahlawan, Kecamatan Bojong, Kabupaten Pekalongan pada Jumat (26/5/2023). Diskusi yang berlangsung pada sore hari ini diikuti oleh para penggerak GUSDURian Pekalongan dan GUSDURian UIN KH. Abdurrahman Wahid Pekalongan.
Kegiatan ini dihadiri dua narasumber, yakni Abdul Adhim, M.Pd (Cendekiawan Muslim Pekalongan) yang juga dosen di UIN Gus Dur Pekalongan, serta Dwi Argo Mursito (Pendeta Gereja Kristen Indonesia) Pekalongan.
Koordinator Jaringan GUSDURian Pekalongan, Amir Muzaki menyampaikan, dua narasumber berbeda agama tersebut sengaja dihadirkan agar memberikan beragam perspektif, supaya diskusi berjalan lebih menarik. Menurutnya, berdasarkan tema yang diambil, ada dua tujuan diskusi ini diselenggarakan.
“Pertama, untuk memperkenalkan nilai utama Gus Dur. Kedua, sekaligus memberikan tampilan kepada khalayak bahwa perbedaan, khususnya dalam hal agama, adalah hal biasa,” ujarnya.
Abdul Adhim dalam penyampaiannya mengatakan bahwa sembilan nilai utama Gus Dur ialah ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, kekesatriaan, dan kearifan tradisi.
“Sembilan nilai utama itu menjadi fondasi dan gerak langkah para GUSDURian untuk merawat dan melestarikan perjuangan Gus Dur,” jelasnya.
Terkait toleransi beragama, Abdul Adhim mencontohkan terkait aturan pembatasan pengeras suara masjid atau mushola (toa) yang diatur oleh Kementerian Agama pada tahun lalu. Menurutnya, itu bagian dari toleransi beragama.
“Bagaimana tidak? Tidak usah yang non-muslim, sesama muslim saja kalau rumahnya berdekatan dengan masjid yang toanya sejumlah 8 atau 4 di samping rumah, lalu ada pembacaan al-barzanji misalnya, itu akan mengganggu kenyamanan orang itu kalau lagi diskusi, belajar, sakit, dan lain sebagainya. Maka saya kira aturan pembatasan speaker masjid ini sangat penting sebagai upaya menjaga toleransi dalam beragama,” paparnya.
Sementara itu Pendeta GKJ Pekalongan, Dwi Argo menyampaikan tentang kesan pertamanya terhadap Jaringan GUSDURian. Menurutnya, kesan pada GUSDURian yang muncul adalah nilai positif, baik, hangat, dan menjunjung tinggi kemanusiaan. Karena ia mendapat cerita dari banyak teman pendeta di kota-kota mana pun, terutama yang GKI dan GKJ, mereka hampir selalu ikut terlibat dalam kegiatan Jaringan GUSDURian itu.
“Di Solo-lah, di Semarang, Purwokerto; Jaringan GUSDURian itu saya lihat asyik ya, makanya saya tanya di Pekalongan ada nggak, saya tanya Mas Amir dan sebagainya. Saya sangat senang ketika bisa diajak oleh teman-teman untuk berkumpul. Saya nggak menolak ajakan dari Mas Amir, karena saya memang sudah punya ketertarikan lama terhadap Jaringan GUSDURian,” ucapnya.
Ia melanjutkan, tidak hanya soal diskusi-diskusi tapi yang dominan yang dilihat lewat cerita teman-teman itu adalah ketika Jaringan GUSDURian ini saling bersilaturahmi pada entitas lintas agama, lintas suku, lintas golongan, bahkan orang penghayat kepercayaan, kemudian mereka mengerjakan proyek atau diskusi bersama.
“Sehingga saya tertarik karena ini bukan sekedar ranah pemahaman atau kognitif saja, tapi sudah pada gerakan dan perjuangan bersama dan sangat kentara bahwa Jaringan GUSDURian tidak menunjukkan dominasi agama Islam saja. Meskipun ya notabene Gus Dur itu Islam, tapi semangat Gus Dur itu yang kemudian menonjol,” pungkasnya.