Social Media

Soal Polemik Status Habib di Indonesia, Gus Dur Pernah Berikan Tanggapan

Beberapa perbincangan di medsos tentang keabsahan habib menjadi topik menarik. Tak jarang oknum-oknum yang mengatasnamakan keturunan Nabi Muhammad SAW menjadi contoh nyata bahwasannya pemikiran, ucapan, dan tindakannya tersebut merugikan para keturunan Nabi Muhammad SAW yang telah istiqomah dalam menjalankan syiar Rasul dan memiliki hubungan baik dengan sesama warga masyarakat Indonesia, utamanya dalam menjaga keutuhan NKRI. Kekuatan seorang figur yang memiliki “pengikut” hendaknya digunakan secara bijak dan jangan sampai ditunggangi oleh kepentingan lain yang tidak bertanggung jawab.  

Munculnya pihak-pihak yang mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW tetapi tidak sesuai dengan akhlak beliau, justru sering kali membawa mudarat/kegaduhan yang dapat mengancam kerukunan di masyarakat membuat beberapa pihak untuk memberikan reaksi. Fenomena Habib Rizieq, Habib Bahar bin Smith, yang dapat diketahui track record-nya dan terbukti melakukan pelanggaran hukum masih segar dalam ingatan kita. Yakni bagaimana para simpatisan beliau-beliau dalam melakukan upaya framing, bahkan tak jarang mempersekusi pihak lain yang tidak sejalan dengan pemahaman mereka, menjadi bukti akan tabiatnya dan mengancam keamanan dan demokrasi.

Bukanlah hal yang baru kejadian serupa terjadi di Indonesia. Di tahun 1993, Ketua MUI saat itu KH. Hasan Basri (1920-1998) melontarkan pernyataan di surat kabar Terbit, “Tidak ada anak keturunan Rasulullah SAW di Indonesia bahkan di dunia, karena sudah dinyatakan terputus dikarenakan tidak adanya lagi keturunan Hasan dan Husein”.

Merespons hal tersebut, Habib Al Habsy (Kwitang) memberi mandat Habib Nauval bin Jindan untuk membela kehormatan anak cucu Rasulullah. Mendengar kegaduhan tersebut, KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang saat itu hadir di Ponpes Al Fachriyah Cileduk sekitar tahun 1994, memberikan dukungan dan pembelaan kepada para habib (habaib) di Indonesia, bahwasannya kedatangan habaib di negeri ini adalah salah satu karunia Tuhan bagi Indonesia, maka perlu kita syukuri bersama. Sejak pernyataan Gus Dur tersebut diviralkan, kegaduhan berkurang dan gejolaknya dapat diredam.

Gus Dur berani membela habaib karena cucu dari Hadratussyeikh Hasyim Asy’arie tersebut telah diajarkan bahwa di NU harus mencintai keturunan Nabi Muhammad SAW, bahkan dari nasab wanita (Sayyidatina Fatimatuzzahro) tetap wajib dimuliakan. Begitulah ajaran para ulama dan kiai NU kepada para santrinya untuk memuliakan habaib. Jadi sudah sewajarnya dari pembelaan Gus Dur terhadap habaib, membuat para habaib berterima kasih kepada beliau. Sangat disayangkan adanya realitas bahwa Habib Rizieq menghina Gus Dur dengan mengatakan Gus Dur buta mata buta hati, pun dengan serangan terhadap Habib Lutfi bin Yahya Pekalongan yang sudah jelas cinta kasihnya terhadap NU dan NKRI.

Dalam kesempatan yang berbeda, Habib Umar Al Hafidz juga tidak setuju dengan demonstrasi yang dilakukan oleh Habib Rizieq atau kelompok yang mengatasnamakan membela Islam. Menurut Habib Umar Al Hafidz, bahwasannya tugas para habib, ulama, dan kiai adalah takwa kepada Allah SWT dan memperluas dakwah-Nya. Jangan sampai habaib justru saling gaduh dengan sesama habaib di NKRI. Sejak berabad-abad lamanya, Islam Nusantara bersama habaib berdakwah dengan santun, lembut, dan menjunjung nilai moralitas dalam bertutur dan bersikap. Islam dianut oleh jutaan manusia hari ini bukan karena demonstrasi dan pekikan takbir di jalanan yang penuh kepentingan semata, tetapi karena dakwah yang humanis seperti Rasulullah Muhammad SAW.

Pernyataan Habib Bahar yang meragukan bahkan menegasikan keturunan Walisongo bukanlah habaib dan juga komentar Nusron Wahid, Waketum PBNU dan Kader Partai Golkar mengeluarkan statement kontroversial, yang mana pihak-pihak yang mengajak tes DNA untuk membuktikan dzurriyah Rasululloh Muhammad SAW sebagai keturunan Abu Jahal. Hal ini ditanggapi salah satunya oleh Gus Fuad, Plered-Bantul sebagai blunder besar. Seketika dialog, debat terbuka juga tidak mau dilakukan, hanya serangan dan pembelaan semata. Maka lawanlah ilmu dengan ilmu, sains dengan sains, tak perlu menyerang secara personal yang justru sikap demikian bukanlah cerminan dari keturunan Nabi Muhammad SAW, karena Nabi mengutamakan akhlak dan ilmu.

Menurut Prof. Quraish Shihab, ditinjau dari terminologi habib yang terdiri atas makna Yang Mencintai dan Dicintai. Gelar habib disematkan masyarakat, bukan dia yang minta diakui dan dimuliakan, hal demikian justru mempermalukan diri. Jadi sudah jelas bahwa seorang habaib tidaklah cukup dengan hanya dicintai, tetapi juga harus mencintai. Mengamalkan ilmunya dan mengabdi di masyarakat secara tulus. Habib, ulama, dan kiai sudah seharusnya mampu memberikan solusi terhadap problem-problem yang dihadapi masyarakat.

Penggerak Komunitas GUSDURian Banjarnegara, Jawa Tengah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *