Social Media

Keteladanan Kesetaraan Gender Gus Dur dan Ulama Perempuan dalam Buku Ajar Pendidikan

Tantangan sekaligus tugas umat Islam saat ini adalah bagaimana membangkitkan kesadaran kolektif menyiapkan sumber daya manusia yang memiliki keunggulan kompetitif di bidang ilmu pengetahuan yang berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan yang berkeadilan. Kesadaran membangun paradigma pengetahuan tidak hanya berbasis teori normatif semata tetapi juga bagaimana masyarakat, utamanya pendidik, dapat mengimplementasikan teori dengan mengambil nilai dalam konteks yang luas dari keteladanan tokoh sebagai percontohan yang patut diteladani.

Indonesia memiliki sosok tokoh bangsa sekaligus ulama kharismatik seperti Gus Dur. Gus Dur memiliki sembilan nilai utama -yang seyogyanya dapat dikenalkan dan diajarkan kepada peserta didik perihal pentingnya nilai-nilai itu terpelajari dan menjadi perisai diri dalam melakoni keseharian. Sembilan nilai Gus Dur ini berupa ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, kekesatriaan, dan kearifan tradisi. Semuanya itu senantiasa berkesinambungan dan penting karena patut diteladani peserta didik dalam laku keseharian. Hal ini juga mencerminkan karakter Gus Dur semasa hidup sekaligus sebagai ikhtiar meneladani guru bangsa.

Kesetaraan menjadi sebuah konsep solusi menghadapi banyaknya problematika masyarakat yang timpang, yang kemudian mencederai kemanusiaan itu sendiri. Nilai ini berupaya mewujudkan cita-cita unggul dalam misi perdamaian dan persaudaraan; bagaimana manusia sebagai makhluk sosial dapat berinteraksi dan bersosialisasi antarlaki-laki dan perempuan dengan berperilaku toleran dan adil tanpa celah dan canggung.

Perjuangan mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dapat dicapai salah satunya melalui pendidikan. Kita semua tentu mengamini bersama bahwa pendidikan menjadi salah satu sarana strategis dalam mentransformasikan budaya yang berkembang di masyarakat. Akan tetapi permasalahan yang sangat kompleks dan mengungkung adalah budaya yang bias gender telah berkembang dan tak lepas dari proses pendidikan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Maka kita tak bisa menutup kenyataan bahwa proses pendidikan yang sedemikian strategis dalam mentransformasikan nilai-nilai, budaya, ataupun pandangan memang sering kali tidak disadari telah mengembangkan budaya ketidakadilan gender. Banyak kasus dalam pendidikan formal, misalnya, para pendidik maupun orangtua menganggap bahwa mereka telah memperlakukan siswa laki-laki secara adil dan sama. Padahal, Marry Astuti sebagaimana dikutip Ali Maksum dalam buku Pluralisme dan Multikulturalisme: Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia, mengatakan bahwa guru dan orangtua tidak menyadari, tidak mengetahui, dan tidak memperhatikan apakah buku-buku pelajaran yang dipakai di sekolah benar-benar adil gender, dan apakah kurikulum yang diterapkan termasuk aktivitas di sekolah, ekstrakurikuler tidak bias gender? (Maksum, 2011). Melihat kenyataan problematika yang ada dari berbagai sisi yang kompleks, apa yang mesti dilakukan dunia pendidikan?

Penyisipan Materi Gender melalui Buku Ajar

Strategi yang dapat dilakukan supaya konsep gender dapat berintegrasi dalam lingkup pendidikan adalah dengan upaya pengarusutamaan gender (PUG) atau gender mainstreaming yang menjadi arus utama dalam setiap tahap kegiatan. Satu di antaranya adalah penyusunan bahan ajar yang menyisipkan nilai-nilai gender.

Gus Dur selama menjabat menjadi presiden telah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 dalam bidang pembangunan nasional secara umum, juga harus memberi prioritas dan kebijakan bagi perempuan untuk tingkat mana pun. Ada beberapa kebijakan yang diturunkan dalam birokrasi seperti wajib belajar, pemihakan pada perempuan (reproduksi), memberi gender-awareness kepada semua orang untuk open minded, dan bisa menerima.

Dalam bidang pendidikan secara spesifik telah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 8 Tahun 2008. PUG pendidikan ini merupakan strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan bidang pendidikan. Dari adanya kebijakan PUG dalam bidang pendidikan, buku ajar menjadi salah satu sumber belajar yang berisi materi pembelajaran yang sangat urgen untuk mensosialisasikan nilai-nilai kesetaraan gender.

Urgensi yang dimaksud adalah bahwa buku ajar itu sangat memengaruhi nilai, pandangan, sikap, dan perbuatan pendidik maupun peserta didik. Namun, salah satu akar penyebab ketidakadilan gender justru berasal dari ilmu pengetahuan yang direpresentasikan dalam bahan ajar. Bias gender dalam buku ajar tergambar pada beberapa buku ajar yang bahkan sampai saat ini masih bias gender. Tergambar dalam budaya yang mengunggulkan laki-laki daripada perempuan, pembentukan image dalam peran yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan, peran laki-laki yang lebih unggul daripada perempuan yang menempatkan perempuan hanya subjek nomor dua atau posisinya di belakang laki-laki, representasi jumlah laki-laki yang lebih banyak daripada perempuan, dan materi yang menonjolkan keteladanan peran laki-laki sehingga meniadakan keteladanan peran perempuan.

Mengacu pada teori kognitif sosial, penggunaan buku ajar di dalam dan luar kelas bisa dikategorikan sebagai kegiatan yang berulang-ulang. Selain itu, dalam menggunakan buku ajar, siswa juga melihat dan mengamati tulisan di dalam teks bacaan, teks percakapan serta gambar yang ada di dalam buku. Penggunaan buku ajar yang secara terus menerus, tanpa disadari telah memengaruhi persepsi dan perilaku sosial siswa.

Pentingnya materi pembelajaran berlandaskan nilai kesetaraan gender yang termuat dalam buku ajar didasari oleh teori kognitif sosial. Dalam buku Fadhila Yonata berjudul Manifestasi Gender dalam Buku Ajar, teori kognitif sosial Albert Bandura menjelaskan bahwa sifat dasar manusia merupakan potensi besar yang bisa dipengaruhi oleh pengalaman langsung dan hasil pengamatan berbagai hal dalam kehidupan dalam batasan-batasan biologis (Yonata, 2020).

Saat manusia terlahir, manusia memiliki kehendak bertumbuh dan eksploratif sehingga memiliki corak dan ciri khas yang membentuk diri masing-masing. Jika mengacu pada teori kognitif sosial ini penggunaan buku ajar di dalam dan di luar kelas bisa dikategorikan sebagai kegiatan yang berulang-ulang. Pembaca dapat melihat dan mengamati tulisan di dalam teks bacaan, teks percakapan, serta gambar yang ada di dalam buku. Maka dapat dipahami bahwa penggunaan buku ajar secara terus menerus, akan mempengaruhi persepsi dan perilaku sosial.

Keteladanan Adil Gender Gus Dur dan Ulama Pembaharu Perempuan Islam

Materi keteladanan tokoh ulama, guru, maupun pembaharu Islam menjadi sorotan penting yang tujuannya dari keteladanan tokoh dapat menjadi contoh yang dapat diikuti nilai dan kontribusinya untuk peserta didik. Akan tetapi nyatanya tokoh yang ditampilkan adalah tokoh laki-laki sehingga perempuan tidak diberi ruang untuk tampil menjadi tokoh teladan dalam materi pelajaran.

Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 dari Gus Dur yang menjadi penegasan di atas, bahwa beliau sangat berkontribusi aktif dalam perjuangan kemanusiaan, juga mendukung konsep kesetaraan. Meskipun tidak secara gamblang melalui wacana, konsep atau definisi, namun beliau mengajak dan memberikan bukti konkret dalam segala aktivitas. Yaitu terkait dengan bagaimana memposisikan diri dan keluarga dengan adil dan setara, kiprah beliau di lingkungan maupun organisasi NU, seperti dalam program PUG di organisasi, penguatan kesehatan dan hak-hak reproduksi, reinterpretasi kitab kuning tentang kedudukan perempuan, penguatan hak-hak seksualitas, dan lain-lain.

Sebagaimana tokoh pembaharu laki-laki, tokoh pembaharu perempuan muslim juga memiliki kontribusi yang sama pentingnya dalam sumbangan pemikiran, pembaharuan, maupun kesetaraan dalam Islam. Tokoh pembaharu perempuan bernama Fatima Mernissi dapat ditampilkan dalam materi pelajaran tentang kedudukan perempuan dalam Islam di segala bidang baik politik, ekonomi, sosial, dan hukum keluarga. Ia memberi gagasan bahwa Islam sangat menghargai perempuan, dibuktikan dengan nilai-nilai kesetaraan dalam Al-Qur’an, namun permasalahannya banyak orang yang kurang tepat memberikan tafsir dalam suatu ayat maupun hadis.

Rohana Kudus, perempuan berdarah Minang ini menjadi salah satu tokoh pendidikan pemberani di mana ia mampu mendirikan sekolah untuk perempuan di masa penjajahan Belanda saat itu. Di sekolahnya ia mengajarkan baca tulis, pelajaran agama, tata cara beretika, hingga sulam menyulam. Dalam kontribusinya di bidang pendidikan, ada empat hal yang digagas oleh Rohana, yakni pendidikan perempuan, pendidikan mengangkat budaya lokal, pendidikan yang memerdekakan, dan pendidikan yang memberdayakan.

Selain yang telah penulis sebutkan di atas masih banyak pemikiran tokoh pembaharu perempuan yang sama penting kontribusinya dalam gerakan pembaharuan Islam, terlebih dalam pendidikan. Ada beberapa ulama perempuan lain yang dapat dikategorikan dalam bidangnya menurut ahli sejarah. Ulama perempuan yang berkecimpung dalam organisasi sosial-keagamaan seperti Nyai Ahmad Dahlan, Sholihah Wahid Hasyim, dan Hadiyah Salim. Ulama perempuan pesantren seperti Hj. Chammah dan Hj. Nonoh Hasanah. Ulama perempuan dalam sosial politik, seperti Hj. Rangkoyo Rasuna Said, Baroroh Baried, Sinta Nuriyah Wahid. Ulama perempuan bidang pendidikan seperti Rahmah El-Yunusiyah dan Zakiah Daradjat, dan masih banyak lainnya.

Meski begitu, peran tokoh ulama laki-laki yang telah ditampilkan juga patut disertakan kontribusinya dalam pemikiran emansipasi perempuan. Sehingga jika materi pelajaran yang dituliskan seimbang antara laki-laki dan perempuan, nilai-nilai kesetaraan akan meresap dalam pemahaman dan karakter peserta didik.

Penggerak GUSDURian Tulungagung, Jawa Timur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *