Adalah Pak Sudiyono yang kurang lebih selama 20 tahun berprofesi sebagai juru parkir di salah satu swalayan di pinggiran Kota Jogja. Beliau memiliki persinggungan dengan Presiden KH. Abdurrahman Wahid terkait Konflik Ambon yang meninggalkan kesan tersendiri baginya.
Sedari usia muda, beliau memilih profesi juru parkir sebagai tambahan penghasilan sehari-hari. Beliau memiliki sawah seluas 1.500 meter, faktor usia menjadi pertimbangannya untuk ‘mengoper’ pekerjaan di sawah pada tetangganya yang berprofesi sebagai buruh tani.
Di tengah obrolan santai, ditemani minuman kemasan di tengah cuaca sehabis hujan, beliau berbicara mengenai situasi politik Indonesia ketika KH. Abdurrahman Wahid menjabat sebagai presiden. Bukan tanpa alasan karena beliau memperhatikan kaos Gus Dur yang saya kenakan sebagai pembuka obrolan politik.
Sebagai informasi, Pak Sudiyono merupakan salah satu dari jamaah pengajian Ust. Ja’far Umar Thalib yang memiliki pesantren yang bernama Ihya Ash-Sunnah, yang telah berdiri sekitar tahun 1990-an dan beralamat di Jl. Kaliurang kilometer 15, Sleman, DIY. Kajian tauhid dan fikih menjadi ciri khas dari pengajian yang diadakan di pesantren tersebut.
Ust. Ja’far sendiri pernah menempuh pendidikan di Al-Irsyad, Persis Bangil, UMM, LIPIA Jakarta, dan Institut Maududi Lahore, Pakistan. Ketika di Pakistan, beliau bergabung sebagai milisi guna melawan Uni Soviet di Afghanistan pada tahun 1987-1989. Sepulangnya ke Indonesia lalu mendirikan pesantren. Kemudian saat terjadi konflik horizontal di Ambon, Maluku, dirinya bersama para tokoh salafi lainnya mendirikan Forum Komunikasi Ahlussunnah wal Jamaah (FKAWJ).
Sebagai Panglima Laskar Jihad tahun 1999, beliau memimpin pasukannya untuk menggelar apel di depan Gedung DPR RI pada 6 April 2000 lengkap dengan pedang sebagai senjata. Beliau diterima dengan baik oleh pimpinan DPR dan esok harinya diterima oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Ust. Ja’far memprotes Presiden Abdurrahman Wahid yang melarang Laskar Jihad untuk dikirimkan ke Ambon, Maluku.
Pak Sudiyono berkata, ”Sebagai salah satu pengikut Ust. Ja’far, saya ikut merasakan kekecewaan yang besar dan hilang respek terhadap sikap Presiden Abdurrahman Wahid”.
Hal ini wajar. Bagi kelompok mereka, jihad dengan dimaknai berdasar pada hadis yang diriwayatkan Imam Muslim, yaitu: “Orang yang menjaga di tapal batas sehari semalam lebih baik dari puasa dan sholat malam selama sebulan. Dan jika mati, maka mengalirlah (pahala) amal yang biasa ia kerjakan, diberikan rizkinya, dan dilindungi dari adzab (siksa) kubur dan fitnahnya”. Padahal bagi seorang muslim khususnya, makna jihad dapat dipahami lebih luas, contohnya jihad melawan hawa nafsu atau ego pribadi.
Menurut KH. M. Tolchah Hasan dalam kesaksian beliau yang disampaikan ketika Haul Gus Dur pertama di Tebuireng, Jombang bahwa, “Selepas Gus Dur dilantik sebagai presiden RI banyak pihak yang menuntut agar Banser (paramiliter milik NU) diberangkatkan ke Ambon, Maluku. Akan tetapi Gus Dur justru melakukan resolusi damai antardua kelompok anak bangsa, Muslim dan Nasrani, alih-alih membela salah satunya yang justru dapat memperparah konflik horizontal. Selain itu tidak akan ada pembangunan tanpa adanya persatuan antar anak bangsa”.
Gus Dur mengambil langkah dialog dengan misi menjalin komunikasi dengan tokoh Muslim dan Nasrani yang berkonflik guna mencapai win-win solution. Gus Dur memiliki pandangan jauh ke depan, terlihat dari kebijakan dan langkah yang ditempuh telah terbukti menjadi upaya nyata bahwa resolusi konflik dapat diredam dengan adanya dialog. Mengutamakan komunikasi dua arah agar tercapai mufakat yang membawa kebaikan di masa mendatang bukan sebatas seremoni atau bahkan solusi jangka pendek semata.