Komunitas GUSDURian Gorontalo menggelar temu ahli tokoh agama dan adat untuk membahas isu demokrasi dan pelayanan publik di Gorontalo. Pertemuan dilaksanakan di Hungrypedia, Kota Gorontalo pada Rabu, 12 Juli 2023.
Pada pertemuan tersebut turut hadir perwakilan SekNas GUSDURian, co-koordinator GUSDURian Sulampapua, penggerak GUSDURian Gorontalo, akademisi UNG, perwakilan Ombudsman RI (ORI) Gorontalo, pengamat kebijakan publik, jurnalis, aktivis demokrasi, serta tokoh agama dan adat.
Pada berjalannya pertemuan tersebut fasilitator kegiatan, Tarmidzi Abas menyuguhkan data Badan Pusat Statistik mengenai capaian Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) di Gorontalo tahun 2020 yang naik signifikan.
Dalam data tersebut, di tahun 2020 IDI Gorontalo mencapai 83,21 atau naik 6,92 poin dibanding 2019. Bahkan indeks demokrasi mencapai 100% yang menurutnya lebih tinggi dibanding standar pencapaian indeks demokrasi nasional.
“Hasil dari riset BPS tersebut dalam kenyataannya tidak sesuai dengan peristiwa yang terjadi di Gorontalo. Di mana, sejak 2017 masyarakat Hindu masih mendapat penolakan dalam mendirikan rumah ibadahnya,” jelas Tarmidzi.
Hal tersebut disetujui oleh Tokoh Agama Islam, Samsi Pomalingo yang merasa skeptis terhadap hasil temuan BPS tersebut. Dirinya mengatakan, fakta di lapangan menunjukkan masih cukup besar praktik intoleransi beragama yang terjadi di masyarakat.
“Seperti pembangunan rumah ibadah umat Hindu yang ditolak. Yang sangat disayangkan karena yang getol menolak justru tokoh publik, sekaligus anggota legislatif di daerah tersebut,” tutur Samsi.
Sementara di tempat yang sama, Tokoh Agama Hindu, Komang mengungkapkan Pemerintah Gorontalo cenderung memfasilitasi pendirian rumah ibadah, bahkan menurutnya pemerintah menawarkan tanah di bagian Kecamatan Dongala, Kabupaten Gorontalo.
“Hanya saja, penolakan lebih banyak dilakukan oleh oknum-oknum tertentu dan masyarakat cenderung masih enggan menerima,” ucap Komang.
Kemudian Jemaat Ahlul Bait Indonesia Gorontalo, Arlan Batara berpendapat bahwa barometer atau alat ukur demokrasi telah dijalankan di satu negara salah satunya dengan terpenuhinya aspek kebebasan beragama.
“Sayangnya masih banyak yang belum merasakannya, salah satunya ahlul bait juga,” ucapnya.
Akademisi Universitas Negeri Gorontalo, Funco Tanipu mengutarakan bahwa, organisasi masyarakat sipil di Gorontalo masih minim untuk melakukan kegiatan advokasi isu demokrasi dan keberagaman.
“Indonesian government index di tahun 2014 menunjukkan lemahnya peran masyarakat sipil sehingga berdampak pada lemahnya kontrol masyarakat terhadap institusi masyarakat,” ungkapnya.
Aktivis Demokrasi, Eka Putra Santoso menyampaikan bahwa secara global, berdasarkan riset dari economic intelligence indeks demokrasi di Indonesia cukup stagnan dari 2012 sampai 2022 dan berada pada angka 7,92%.
“Dalam hal kualitas demokrasi di Gorontalo masih belum matang, meski tingkat partisipasi pemilih mencapai 80%. Namun dalam hal ini tingkat money politic cenderung tinggi,” terangnya.
Di tempat yang sama, Perwakilan ORI Gorontalo, Dian mengungkapkan bahwa, perihal isu demokrasi terkait pembangunan rumah ibadah masih belum ada laporan masuk ke Ombudsman.
“Sehingga keluhan-keluhan seperti ini memang harus dilaporkan supaya bisa ada follow up,” tandasnya.
Di akhir sesi pertemuan, Koordinator GUSDURian Sulampapua, Djemi Radji menyampaikan bahwa pertemuan ini akan berkelanjutan dengan tujuan untuk mendapatkan rumusan terkait isu demokrasi dan pelayanan publik, dan juga terkait rujukan yang akan dihasilkan nanti.
“Hasil keputusan dari pertemuan ini kemudian akan dilihat dari aspek right base, respect base, resilience base, dan faith base,” tandasnya.