Sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu, masyarakat Indonesia telah hidup bersama dengan tradisi dan kebudayaan turun-temurun. Tradisi dan kebudayaan itu bisa berupa warisan cara leluhur dalam berburu makan, bertempat tinggal, berperang untuk menjaga diri dan lingkungan sekitar, hingga terkait kepercayaan dalam mengagungkan dan menyembah Tuhan.
Bahkan, dalam hal yang lebih dekat dengan pikiran kita, kebudayaan itu menjadi sebuah tradisi hidup, baik dari kegiatan-kegiatan yang sakral, lagu, tarian, hingga masakan. Kebudayaan itulah yang menjadi inti dalam kehidupan masyarakat Indonesia dan menjadikan mereka sampai hari ini mampu untuk bertahan hidup. Tanpa itu semua, mungkin julukan Indonesia di mata dunia sebagai “heaven of earth” tidak akan disandangkan.
Jika kita mencoba untuk melihat ke belakang, membuka kembali khazanah kebudayaan masa lalu dan menyandingkannya dengan kehidupan kita sekarang, tentunya kita akan menemukan banyak perubahan, baik yang samar ataupun signifikan dalam menjalankan tradisi dan kebudayaan oleh masyarakat Indonesia.
Hal tersebut mungkin telah terjadi secara sengaja ataupun tidak, karena banyaknya faktor yang mendegradasi pemahaman kebudayaan di kalangan masyarakat orang Indonesia. Hal ini terlepas dari semua golongan dan elemen masyarakat, seperti para tokoh adat dan generasi tua yang menjadi penyambung tradisi dan kebudayaan, juga generasi muda Indonesia sebagai pemegang ahli waris yang sah.
Sejalan dengan pemikiran tersebut, terdapat fenomena yang langka dan mungkin patut untuk dicontoh di tempat lain, di mana tradisi dan kebudayaan lokal daerah masih dirawat dan dijaga oleh seluruh elemen masyarakat, bahkan dipandegani langsung oleh pemerintah daerah. Fenomena tersebut adalah Perayaan “Grebek Suro” yang terselenggara rutin setiap tahun di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.
Kabupaten Ponorogo merupakan salah satu kabupaten yang memiliki potensi kepariwisataan yang tinggi di Provinsi Jawa Timur. Bagaimana tidak, “Bhumi Reyog” atau Kota Reog merupakan julukan dari Kabupaten Ponorogo karena kesenian Reog inilah berasal, kesenian yang hampir dikenali oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Selain itu, di Ponorogo juga terdapat banyak wisata yang meliputi wisata alam, wisata religi, dan wisata kebudayaan. Tidak kurang tercatat sejumlah 26 objek wisata yang dapat dinikmati di Ponorogo. Salah satunya yang menjadi bahasan kita kali ini, yaitu perayaan “Grebeg Suro”.
Perayaan “Grebeg Suro” merupakan pesta rakyat Ponorogo yang diselenggarakan untuk menjaga dan merawat tradisi kultural kebudayaan Ponorogo. Tersuguh dalam rangkaian tersebut pentas seni, budaya, dan tradisi yang ditampilkan, antara lain meliputi Festival Reog Nasional, Festival Reog Remaja Nasional, Pameran Pusaka Daerah, Pawai Lintas Sejarah dan Kirab Pusaka, serta Larungan Risalah Doa di Telaga Ngebel.
Perayaan “Grebek Suro” pada awalnya berasal dari kebiasaan masyarakat yang kemudian diambil alih oleh Pemerintah Daerah Ponorogo sebagai agenda tahunan dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara keseluruhan. Hal tersebut didasari oleh adanya dasar kebijakan yang telah ditetapkan, yaitu Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Ponorogo Nomor 63 juncto 130 Tahun 1987 tentang Tim Kepariwisataan Daerah Tingkat II Ponorogo.
Memandang jauh tentang pelaksanaan Perayaan “Grebeg Suro” di Ponorogo, kita dapat mengetahui bahwa kegiatan tersebut merupakan peristiwa penting bagi warga masyarakat Ponorogo. Begitu pula bagi warga sekitarnya yang berbondong-bondong turut datang jauh-jauh untuk menikmati langsung serangkaian perayaan tersebut.
Selain menjadi tolak ukur perkembangan seni budaya, Reog Ponorogo dari masa ke masa sebagai bukti untuk mempertegas julukan “Bhumi Reyog”, perayaan tersebut juga dapat menjadi indikator dalam menilai kepedulian Pemerintah Daerah Kabupaten Ponorogo. Setidaknya melalui kegiatan perayaan tersebut diharapkan memiliki dampak positif bagi perkembangan aktivitas ekonomi pariwisata lokal Ponorogo dan penguatan atas pemahaman dan pelestarian tradisi leluhur dalam menyambut Tahun Baru Islam 1 Muharram (Suro).
Dengan alasan tersebut maka tidak diragukan lagi kegiatan ini berlangsung selama belasan tahun. Tentunya semua masyarakat Ponorogo memiliki kepercayaan tentang nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya sehingga dipertahankan sampai saat ini. Nilai-nilai luhur tersebut tampak pada ghiroh (semangat), kegembiraan, kepuasan, hingga tindak-tanduk yang ada ketika seni dan tradisi tersebut ditampilkan.
Sesadar kita merasakan nilai luhur pada suatu tradisi dan kebudayaan daerah, tentu yang kita dapatkan tidaklah sama dengan kebudayaan di daerah yang lain. Bukan karena perbedaan dari seni dan budaya yang ditampilkan, tetapi rasa dari nilai-nilai luhur yang muncul atas seni dan kebudayaan itulah yang menjadi nilai khas dan pembeda dengan nilai-nilai yang muncul dari seni dan kebudayaan di daerah yang lainnya.
Nilai-nilai luhur itu biasa kita kenali dengan sebutan kearifan lokal yang selalu dipegang teguh dan menjadi cerminan dari tingkah laku masyarakat setempat.