Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan GUSDURian bersama Komunitas GUSDURian Bonorowo Tulungagung dan Institute For Javanese Islam Research (IJIR) mengadakan Gus Dur Memorial Lecture dalam rangka memperingati hari lahir (harlah) Gus Dur. Acara ini dilaksanakan di Aula Gedung Arief Mustaqiem UIN Sayyid Ali Rahmatullah (UIN SATU) Tulungagung, pada Rabu, 6 Agustus 2023.
Sebelumnya acara serupa telah sukses dihelat di UIN Walisongo Semarang. Gus Dur Memorial Lecture rencananya diadakan di empat universitas di Indonesia, yakni UIN Walisongo Semarang, UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon, dan Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta.
Sebagai tuan rumah kedua, Gus Dur Memorial Lecture di UIN SATU dihadiri oleh kurang lebih 500 peserta dan berlangsung dengan lancar. Mengambil tema “Gus Dur dan Kebudayaan”, acara ini diikuti oleh beragam kalangan, mulai dari para penggerak GUSDURian Jawa Timur, mahasiswa UIN SATU Tulungagung, beberapa komunitas, dan beberapa perwakilan dari kelompok lintas iman.
Peringatan harlah Gus Dur ini menghadirkan Inaya Wahid, narasumber sekaligus putri keempat Gus Dur. Sebelum dimulai, acara dibuka dengan hiburan musik perdamaian, menyanyikan lagu Indonesia Raya, kemudian pembacaan doa lintas iman yang terdiri dari perwakilan Hindu, Kristen, Buddha, Islam, dan Penghayat Kepercayaan. Acara kemudian disambung dengan sambutan dari Jay Akhmad selaku Koordinator Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian dan Maftukhin selaku Rektor UIN SATU Tulungagung.
Dalam sambutannya, Jay mengenalkan kepada audiens bahwa Gus Dur Memorial Lecture yang diadakan di perguruan tinggi merupakan kegiatan perdana dan merupakan sebuah upaya membangun inspirasi serta semangat pemikiran Gus Dur di ranah akademik.
“Kehadiran Gus Dur Memorial Lecture di kampus merupakan bagian dari upaya untuk membangun inspirasi, agar semangat pemikiran Gus Dur bergerak di ranah akademik. Tidak hanya di luar kampus, gagasan Gus Dur juga perlu beredar, bergerak, dan harus terus diperbarui serta terus digerakkan di berbagai lingkungan akademik,” ungkap Jay.
Ia juga menyampaikan refleksi bagi GUSDURian dan masyarakat bahwa fokus perhatian yang dilakukan GUSDURian adalah pendampingan masyarakat, khususnya mereka yang menghadapi permasalahan dalam konteks beragama.
“ Di antaranya adalah peraturan yang diskriminatif. Selain itu, masyarakat intoleran semakin agresif dan adanya mayoritas yang toleran hanya diam. Belum lagi masalah pembangunan rumah ibadah yang dipersulit, sikap aparat penegak hukum yang lebih mengarah pada harmoni sosial daripada penegakan hak konstitusi, serta media massa yang bias. Maka dibutuhkan gerakan bersama, terutama dari GUSDURian dan masyarakat sipil untuk terus mengawal dan mendorong kebijakan pemerintah untuk tetap berpihak pada masyarakat, memenuhi hak konstitusi masyarakat,” tambah Jay.
Pada kesempatan selanjutnya, Maftukhin, Rektor UIN SATU Tulungagung menyampaikan keynote speech-nya yang hampir semua ungkapan terselip guyonan sehingga memecah tawa seisi forum. Ia menyampaikan bahwa bagian terpenting dari Gus Dur itu adalah humornya.
“Gus Dur merupakan tokoh budayawan, tokoh toleransi beragama, demokrasi. Gus Dur juga merupakan tokoh humoris se-dunia, dan ini memang tidak pernah terekam. Dan ini hanya diturunkan kepada Mbak Inaya,” ungkapnya.
Kemudian di sesi lecturer speech, Inaya Wahid menyampaikan bahwa permasalahan yang banyak terjadi dari diri kita adalah begitu mudahnya kita menyingkirkan budaya identitas asli dan menganggap budaya lain lebih baik sehingga patut menjadi ciri khas identitas diri.
“Kita hari ini disuguhi oleh begitu banyak identitas. Dan pilihan identitas itu pada hari ini kalau nggak ke westernisasi, ke-arab-arab-an. Tapi sekarang ini juga banyak yang menyukai ke-korea-an. Apa pun itu tentu jelas itu bukan ke-indonesia-an. Dan inilah yang saat ini terjadi,” ungkap Inaya.
Ia juga menyampaikan bahwa masa perjalanan studi Gus Dur di luar negeri tidak menjadikan Gus Dur menjauh dari budaya sendiri saat pulang ke Indonesia. Gus Dur merupakan tokoh kosmopolit yang sangat menjunjung tinggi keberagaman budaya Indonesia dan identitas asli yang dibawa.
“Gus dur dengan kosmopolitanismenya selalu kembali pada akarnya. Bahkan saat Gus Dur kembali ke Indonesia tetap menjadi Gus Dur sebelum ia berangkat. Bahkan sekalipun menjadi presiden juga tidak berubah,” jelas Inaya.
Terakhir, Inaya mengungkapkan bahwa pada hari ini kita banyak sekali dijejali identitas-identitas. Baik sentimen identitas, primordial, hingga sektarian, terutama menjelang pemilu ini. Belajar dari Gus Dur bahwa yang dibawa dan dilakukan adalah sense kebangsaan. Gus Dur menjunjung tinggi keberagaman dan kemanusiaan. Gus Dur adalah sosok humanis yang membicarakan pluralitas, tetapi bukan berarti ia juga mendukung dan menjadi pluralisme.
“Gus Dur membicarakan pluralitas, tapi tidak dengan pluralisme. Ketika membangun ‘isme’, maka kita membangun tembok. Ketika kita meletakkan ideologi maka kita membangun tembok dan bukan itu yang dilakukan dan menjadi nafas Gus Dur. Karena pluralisme yg dibentuk adalah keseragaman, yang bukan bagian dari NKRI harga mati, itu bukan dari kita. Kesadaran bahwa semakin berbeda identitas kita dan kita menjadi komunitas yang sama itu artinya setiap identitas membawa kekuatannya masing-masing. Dan ini yang akan membawa kita kepada kondisi yang lebih baik,” tegasnya.
Acara terakhir ditutup dengan peresmian monumen Kiai Abdurrahman Wahid UIN SATU Tulungagung oleh Inaya Wahid dengan menandatangani prasasti yang didampingi oleh Rektor UIN SATU Maftukhin, Akhol Firdaus, Jay Akhmad, dan beberapa perwakilan pemuka agama.