Judul : Politik Agraria Madura
Penulis : A. Dardiri Zubairi
Penerbit : Literatus Pustaka
Cetakan : Februari, 2023
Tebal : 99 halaman
ISBN : 978-623-09-1707-3
Persoalan agraria di pulau Madura menjadi problematika krusial sejak dibukanya Jembatan Suramadu. Dampak perubahannya cukup signifikan terhadap pulau Madura. Menurut Muhammad Al-Fayyadl, pulau Madura bukan lagi pulau yang terisolir. Pembukaan Suramadu adalah konsekuensi dari perkembangan kapitalisme di Jawa Timur yang pada puncaknya terjadi privatisasi, pengalihfungsian sumber daya alam, dan sumber-sumber ekonomi negara ke tangan-tangan pribadi.
Buku yang ditulis oleh Dardiri Zubairi ini menjadi penanda dan alarm bagi generasi muda agar selalu mawas diri dan waspada terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di Madura. Menurutnya, Madura kini sudah disulap menjadi “kinclong” di mata para investor. Hal tersebut terbukti dari adanya jalan raya yang diperlebar, akses jalur (pantai utara) pantura sejak dari Bangkalan-Pasongsongan diperluas, pelabuhan lama direnovasi, pelabuhan baru dibuka, Bandara Trunojoyo diperluas, maka lengkaplah Madura diserang dari tiga penjuru: darat, laut, dan udara.
Perlawanan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi tersebut nyata dengan adanya beberapa kasus dan perlawanan yang dimotori oleh kiai, aktivis, dan pegiat lingkungan. Sebab, penguasaan tanah oleh investor dilakukan dengan berbagai cara dan pendekatan yang semakin apik di tengah-tengah masyarakat mulai kalebun (kepala desa), mantan camat, serta para broker lokal yang setia pada investor. Akhirnya, muncul tanggapan kritis dari kiai sepuh terhadap Pemerintah Kabupaten (Pemkab) agar mewanti-wanti tidak menjual tanah ke tangan investor. Bahkan, menurut pernyataan salah satu kiai di Sumenep penguasaan lahan dengan membangun industri hari ini tidak beda dengan VOC yang dulu datang untuk maksud berdagang, tetapi pada akhirnya menjajah (hlm. 59).
Di dalam buku ini, salah satu kasus yang disorot bagaimana respons perlawanan sejumlah kiai dan pesantren terhadap tambang fosfat, krisis air yang terjadi di Kabupaten Sumenep. Menurut Kiai Dardiri, pesantren yang bejumlah 378—melebihi jumlah desa di Sumenep yang hanya 332—akan menemukan tantangan berat seiring makin masifnya gurita modal yang merangsek masuk ke desa-desa (hlm. 13). Peristiwa ini tidak hanya berada di angan-angan semata, di dalam buku ini diceritakan bagaimana dampak penguasaan lahan investor di sebuah desa terhadap nasib perjuangan petani.
Kiai Dardiri menceritakan di dalam buku ini ketika dirinya sedang berbincang santai dengan seorang warga yang terdampak limbah industri tambak di salah satu desa di Kabupaten Sumenep. Warga yang terdampak tersebut adalah seorang ibu yang tanahnya diapit oleh dua industri tambak udang dan lahannya terkena limbah industri tambak tersebut. Sedangkan, tanah yang diapit dua industri tambak ini merupakan tanah sangkol.
Bagi orang Madura, tanah sangkol bukan sekedar tanah warisan yang dengan mudah bisa diperjualbelikan. Tanah sangkol adalah lokus, tempat bertemunya ruang masa lalu dan sekarang, tempat pemilik sekarang dengan pemilik masa lalu mempersatukan ikatan batinnya, tempat generasi sekarang dengan para leluhurnya mencari jejak untuk saling mengingat. Jadi, tanah sangkol bukan hanya sekadar gundukan tanah yang tidak bermakna (hlm 40).
Di dalam buku ini Kiai Dardiri menggambarkan bagaimana pengalaman empirisnya hadir dan mendengar keluh kesah masyarakat untuk memberikan pendampingan atau solusi atas beberapa persoalan agraria yang sedang melanda. Sehimpun esai di dalam buku ini sangat kaya dengan pengamatan mendalam bagaimana situasi dan gambaran rumitnya persoalan agraria yang dialami oleh warga. Sesekali Kiai Dardiri mengapresiasi beberapa sikap masyarakat yang teguh dalam mempertahankan tanahnya meski dirayu, diintimidasi, dan perlakuan lainnya oleh para investor. Kiai Dardiri menggambarkan bagaimana sikap warga di Desa Lapa Taman Sumenep sebagai penjaga kedaulatan tanah meski dua desa yang mengapitnya sudah raib hektaran tanahnya dikuasai oleh investor (hlm. 51).
Selain rumitnya persoalan agraria, buku ini juga menyoroti bagaimana destinasi wisata tetap berpegang teguh terhadap kearifan lokal masyarakat. Sebab, kebijakan apa pun untuk memajukan Madura harus diletakkan dalam bingkai kebudayaannya. Kebudayaan harus ditempatkan sebagai basis. Di atas basis kebudayaan inilah kemudian infrastruktur sosial, ekonomi, politik dibangun.