Demokrasi Pancasila: Hilangnya Ruh Semangat Gotong Royong

Hari ini kita sering mendengar berita, baik dalam sebuah wawancara pejabat pemerintah, pidato kenegaraan presiden, orasi politik ketua umum partai, hingga para intelektual dalam sebuah diskusi bertema demokrasi. Mereka semua sibuk membahas bagaimana seharusnya demokrasi negara ini di tata. Demokrasi merupakan suatu sistem politik, dan politik adalah sistem atau tatanan hidup bersama.

Menurut Dr. Agustinus W. Dewantara, dalam bukunya yang berjudul Diskursus Filsafat Pancasila Dewasa Ini (2017: 23), dalam filsafat politik klasik, demokrasi bukan sistem tata hidup bersama yang ideal. Alasannya, menurut Socrates, negara akan berjalan tanpa orientasi pada hukum yang benar. Seperti dalam Apology, di mana Socrates walaupun bertindak benar tetap divonis mati oleh pengadilan yang demokratis. Sejarah juga mencatatkan bahwa Hitler menjadi pemimpin yang menjebloskan Jerman ke dalam kehancuran dan kekejaman terhadap orang-orang Yahudi Ia terpilih secara demokratis. Begitu pula Benito Mussolini sang pemimpin fasis Italia, Ferdinand Marcos yang kemudian diadili karena banyak menyalahgunakan kekuasaan.

Lalu bagaimana dengan demokrasi di Indonesia? Indonesia menganut sistem demokrasi Pancasila. Pancasila adalah filsafat negara yang lahir sebagai weltanschauung (pandangan hidup) dan philosofische grondslag (dasar filsafat) yang menjadi cita-cita bersama. Artinya, Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara mengandung makna bahwa setiap aspek kehidupan kebangsaan, kenegaraan, dan kemasyarakatan harus didasarkan pada nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Ketika Sukarno memperkenalkan Pancasila dalam pidato politiknya itu bukan tanpa alasan, tapi karena meyakini bahwa nilai-nilai tadi telah tumbuh mengakar di bumi Indonesia sejak lama. Yang mana kelima nilai dasar tadi jika diperas dan diringkas dalam satu nilai menjadi nilai gotong royong.

Gotong royong adalah ciri khas bangsa Indonesia yang memiliki makna sebagai bentuk pengakuan akan yang lain (manusia dan Tuhan), kebersamaan, kerja sama demi keadilan dan musyawarah (Diskursus Filsafat Pancasila Dewasa ini: 16) dan kini yang hilang dari demokrasi kita adalah ruh dan semangat gotong royong itu. Wajah demokrasi hari ini adalah menyembah “kebebasan” (lawless) dan demokrasi ditafsirkan sebagai pertimbangan mayoritas. Pertimbangan mayoritas dipahami sebagai apa yang dikehendaki oleh sebagian besar anggota, sehingga seolah-olah telah mewakili kebenaran dan keadilan banyak orang. Sedangkan kita tahu bahwa dalam kebanyakan suara itu memiliki banyak kepentingan dan interest.

Dalam sejarahnya, demokrasi Indonesia telah mengalami yang namanya demokrasi terpimpin, di mana semua keputusan berpusat di tangan pemimpin negara. Hal itu terjadi pada masa Orde Lama (pimpinan Sukarno) yang berlangsung dari tahun 1959-1965, tepatnya sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga jatuhnya kekuasaan Sukarno. Pada masa itu terjadi pelanggaran konstitusi di mana Sukarno dinyatakan sebagai presiden seumur hidup melalui sidang MPR ke-II di Bandung, sehingga lahirlah ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963. Walaupun pada faktanya, ini juga bukan atas dasar keinginan Sukarno, tapi karena bujukan dari Chaerul Saleh yang waktu itu menjabat sebagai ketua MPRS. Sebagaimana dikutip dari otobiografi Sukarno berjudul Sukarno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, saat itu Sukarno khawatir keputusan MPRS akan mencoreng mukanya di dunia internasional sebagai pemimpin yang tak demokratis.

Lalu bagaimana praktik demokrasi Pancasila pada masa Orde Baru? Tidak lebih dari alat untuk melanggengkan kekuasaan. Pada masa tersebut, terjadi penafsiran Pancasila secara sepihak oleh pemerintah melalui Program P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), yang artinya siapa saja yang tak sejalan dengan tafsiran pemerintah (tidak pancasilais) maka dianggap mengancam kedaulatan negara (penguasa). Sehingga pada masa ini sulit sekali menerapkan kritik terhadap kebijakan pemerintah, bahkan adanya perlakuan diskriminatif terhadap golongan minoritas dan non-pribumi (Tionghoa).

Adanya kebebasan berpendapat dimulai sejak era Gus Dur, yaitu dengan dibubarkannya Departemen Penerangan yang selama ini lebih berfungsi sebagai corong Pemerintahan Orde Baru. Betul memang undang-undang pers disahkan pada era BJ. Habibie, tapi pada masa Gus Dur lah para media mendapatkan hak dan kebebasannya sebagai pers. Bahkan bisa dikatakan pada masa Gus Dur pula, presiden menjadi pihak paling dirugikan oleh media. Tentu kita semua tahu dan tak lupa kan bagaimana Gus Dur lengser?

Lalu bagaimana dengan demokrasi hari ini? Demokrasi Indonesia jelas berbeda dengan demokrasi lainnya yang ada di dunia, seperti di Barat (Amerika). Karena demokrasi kita adalah demokrasi Pancasila yang mana meski negara Indonesia bukanlah negara agama ( seperti Iran, Arab Saudi, Mesir, dll) dan bukan juga negara sekuler (seperti Prancis, Turki, Korea Selatan), tapi Indonesia sangat berhubungan dengan dasar rasa religiusitas. Itu artinya agama dan negara tidak bertentangan dan memang tidak perlu dipertentangkan. Meski Islam merupakan penganut agama terbesar tapi tetap mengakui, menghargai, dan berdampingan dengan agama minoritas lainnya.

Seperti kata Sukarno, konsekuensi dari menjadi rakyat Indonesia ya harus menerima perbedaan akan keragaman tadi. Jika hanya ingin Islam ya lebih baik tinggal di Arab sana, jika ingin Kristen ya tinggal di Barat sana, jika ingin Hindu ya tinggal di India sana. Tapi kita adalah Indonesia yang berlandaskan pada semboyan Bhineka Tunggal Ika. Itulah ruh dari demokrasi kita, gotong royong. Kesatuan. Tak ada suara mayoritas sebagai manifestasi kebenaran dan keadilan. Demokrasi Pancasila bukanlah demokrasi elitis, meski praktiknya rakyat memilih para pemimpinnya melalui jalur-jalur perwakilan.

Dasar demokrasi ala Sukarno adalah “semua untuk semua” yang itu artinya mengimplisitkan prinsip musyawarah. Bahkan Sukarno tidak menyukai terminologi mayoritas-minoritas, karena seringnya suara mayoritas justru akan melahirkan kesewenang-wenangan. Masih menurut Sukarno, ada dua hal yang tak dapat dipisahkan dalam demokrasi Pancasila, yaitu nasionalisme dan internasionalisme (perikemanusiaan). Itulah gotong royong yang merupakan “perasaan-perasaan rakyat yang selama ini terpendam diam-diam di dalam hati rakyat”. Dan itulah yang kini mulai hilang dalam jati diri bangsa kita.

Wallahu a’lam bishawab.

Anggota PMII Kota Serang, Banten.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *