Social Media

Gus Dur dan Upaya Perwujudan Keadilan terhadap Perempuan

Berangkat dari konsep ibuisme negara yang terus digaungkan pada era Orde Baru telah menempatkan posisi perempuan semakin terdomestikasi. Konsep ini jadikan legitimasi formal sebagai bentuk kontrol negara atas diri perempuan. Alimatul Qibtiyah dalam buku Feminisme Muslim di Indonesia menyebutkan bahwa, ibuisme negara (state ibuism) adalah suatu paham yang menegaskan seorang perempuan hanyalah berperan di wilayah domestik, yaitu menjadi seorang ibu dan istri.

Dalam waktu yang bersamaan, semakin banyak ideologi-ideologi Islam konservatif yang turut mendukung paham tersebut. Dengan demikian, ruang gerak dan akses perempuan pada era-Soeharto semakin dibatasi. Wajar saja jika pada akhirnya budaya patriarki begitu mengakar dan mendarah daging dalam kerangka berpikir dan pola tingkah laku masyarakat Indonesia. Karena selama kurang lebih 32 tahun lamanya kondisi tersebut diformalkan oleh negara.

Tidak berapa lama sejak keruntuhan Orde Baru, rezim pun berubah. Indonesia menuju era reformasi. Saat itu Indonesia dipimpin oleh seorang Gus Dur. Beliau sangat sadar bahwa keadilan dan kesetaraan merupakan pondasi utama kemaslahatan kemanusiaan. Perempuan dan laki-laki sudah seharusnya memiliki akses yang sama, pengalaman biologis perempuan sudah seharusnya diperhitungkan, dan kerja-kerja kemanusiaan harus diwujudkan melalui kesetaraan.

Daniel dalam Gus Dur dan Wacana Gender menjelaskan bahwa prinsip kesetaraan dan keadilan yang beliau anut adalah bersumber dari nilai-nilai Pancasila “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dan teologis atau ketauhidan. Karena hanya dengan ketauhidan dan monoteisme universal kemaslahatan akan terwujud. Lebih lanjut, beliau sangat memegang teguh al kulliyah al-khams dalam maqasid syariah (tujuan hukum Islam), yaitu: menjaga agama (hifdz ad-din), menjaga jiwa (hifdz al-nafs), menjaga akal (hifdz al-aql), menjaga keturunan (hifdz al-nasl), dan menjaga harta (hifdz al-mal). Sehingga, hal-hal yang mencederai perempuan dengan melanggar kelima prinsip tersebut harus dihapuskan.

Nilai-nilai tersebut beliau terapkan dalam kesehariannya. Beliau sangat mendukung dan memberi ruang bagi istrinya, Nyai Hj. Sinta Nuriyah dalam pengabdiannya pada kemanusiaan melalui Yayasan Puan Amal Hayati. Di antaranya dengan menggaungkan penolakan KDRT, mengkaji kembali kitab kuning dengan pendekatan pengalaman biologis perempuan, dan menegaskan kemitraan dan kesejajaran laki-laki dan perempuan. Karena bagi Gus Dur hal tersebut sudah menjadi tujuan utama manusia diciptakan, yaitu menjadi khalifatul ard atau khalifah di bumi.

Annas Eka Wardhana dalam “Perjuangan Gus Dur Mewujudkan Kesetaraan Gender” menyebutkan, bahwa pemahaman terkait keadilan dan kesetaraan gender beliau dapatkan dari lingkungan keluarga. Misalnya, KH. Wahid Hasyim telah mendirikan sekolah hakim perempuan pertama pada 1950 ketika beliau menjabat Menteri Agama. Selain itu, kakek dan nenek Gus Dur dari pihak ibu, KH. Bisri Syansuri dan Nyai Hj. Nur Chodijah merupakan pendiri pesantren perempuan pertama di Jawa Timur pada tahun 1920.

Ashilly Achidsti dalam bukunya Gender Gus Dur menyebutkan berbagai kebijakan ramah gender telah beliau terapkan ketika menjabat presiden: pertama, mengganti nama Kementerian Urusan Peranan Wanita menjadi Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Kedua, diplomasi penyelamatan buruh migran Indonesia. Ketiga, menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Republik Indonesia nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional.

Kebijakan Gus Dur dalam Inpres nomor 9 tahun 2000 tersebut menjadi embrio bagi kebijakan penganggaran responsif gender di berbagai kementrian dan perguruan tinggi. Di antaranya Undang-Undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga; Peraturan Menteri Agama nomor 73 tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementrian Agama; Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristik) nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi; Undang-Undang nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual; dan lain-lain.

Selain itu, kebijakan responsif gender bukan hanya beliau realisasikan dalam nilai-nilai kenegaraan, tetapi juga beliau realisasikan dalam ormas beliau ketika menjabat Ketua Umum PB NU. Yaitu dengan disahkannya Hasil Musyawarah Nasional Alim Ulama NU tahun 1997 yang membahas tentang Kedudukan Perempuan dalam Islam. Hal tersebut menjadi bukti nyata pengabdian beliau pada transformasi kultural bangsa Indonesia yang cenderung patriarkis. Sedangkan budaya patriarkis sangat dekat dengan kezaliman terhadap perempuan. Sehingga, apa yang beliau telah lakukan adalah bentuk perwujudan hadis Nabi saw dalam kitab Arba’in an-Nawawi hadis ke-34:

عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَقُوْلُ: مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ(

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Barang siapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman”. (H.R Muslim).

Beliau berharap pembangunan nasional dapat terwujud dengan partisipasi perempuan di segala bidang. Di sisi lain cita-cita idealitas Islam yang rahmatan lil alamin dapat terwujud. Karena beliau telah memaksimalkan posisi beliau untuk mengangkat derajat kemanusiaan perempuan dan menegaskan keutuhan martabat kemanusiaan perempuan.

Penulis menyukai kajian gender. Saat ini tinggal di Malaysia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *