Beberapa tahun terakhir kasus kejahatan banyak terjadi di lingkungan pendidikan. Pada hakikatnya instansi pendidikan berfungsi sebagai ruang untuk menumbuh-kembangkan manusia kepada keunikan dan potensi dalam dirinya, lalu mengantarkannya menjadi manusia yang utuh, insan al-kamil. Tapi ironisnya, tidak sedikit kasus pelecehan, penganiayaan, dan kejahatan lainnya yang mendarat di mata dan telinga kita justru terjadi di lingkungan pendidikan bahkan pendidikan keagamaan sekalipun.
Dalam forum 17-an kali ini, Jaringan GUSDURian kembali menggelar diskusi bertema pendidikan. Forum ini dilaksanakan pada Selasa, 24 Oktober 2023 pukul 15.00-17.00 WIB secara online. Acara ini mengambil tajuk “Tiga Dosa Besar Pendidikan: Perundungan, Intoleransi, dan Kekerasan Seksual”. Acara ini merespons adanya ironi-ironi di atas.
Membincang tema tersebut, panitia mendatangkan dua narasumber, yaitu Kosasih Ali Abu Bakar (Ketua Tim Pokja Pencegahan Intoleransi Kemendikbud Ristekdikti) dan Listia Suprobo (Aktivis Pendidikan, Papirus Indonesia), serta Ubaidillah Fatawi (Kepala Sekolah SMA Bumi Cendekia Yogyakarta) sebagai moderatornya.
Bertindak sebagai narasumber pertama Kosasih menyosialisasikan regulasi kemendikbud-Ristekdikti secara mendetail menyangkut tema di atas. Kosasih memaparkannya mulai dari urgensi perhatian terhadap tiga dosa besar tersebut, jenis-jenisnya, hingga sanksi-sanksi bagi pelaku yang bersangkutan.
Berbeda dengan narasumber sebelumnya, Listia mewartakan bagaimana ketiga dosa tadi terjadi di lapangan. Baginya, akar permasalahan ini bermula dari ketiadaan ruang aman dan minimalitas penerimaan dalam keluarga dan lalu sekolah. Kemudian kondisi tersebut kian meruncing lantaran tidak semua orang bersedia mendengarkan sesuatu yang tidak dialaminya sendiri. Oleh sebab itu, menurutnya, untuk membuka perhatian masyarakat mengenai tiga dosa ini membutuhkan waktu yang relatif lama.
Lebih lanjut, mengenai tiga dosa besar tersebut alumnus MAN 1 Yogyakarta ini menuturkan beberapa hal yang menjadi api penyulut terhadapnya. Pertama, relasi kuasa. Perundungan dan intoleransi sering kali muncul manakala si pelaku hidup dari budaya serba hierarkis. Dalam artian, mereka yang lebih banyak dan lebih kuat dialah penguasa bagi lainnya. Belum lagi memandang pihak lain sebagai objek sasarannya. Selain itu, tambahnya, penting juga untuk menyelipkan pengetahuan seksualitas pada anak sekolah dasar demi menghindari kekerasan seksual.
“Seharusnya pendidikan seksual tidak dilakukan kepada siswa SMP apalagi SMA, tetapi mulai kelas 4 SD, diselipkan pada mata pelajaran biologi bab reproduksi misalnya,” ujar alumnus UGM tersebut.
Kedua, perspektif menyangkut keberagaman berpikir dan berpendapat. Menurutnya, seseorang pendidik atau peserta didik sudah seyogyanya mengenal-pahami liyan sebagai manusia yang unik dan khas. Karena intoleransi terjadi karena adanya pengingkaran terhadap adanya keberagaman. Ketiga, literasi keagamaan turut pula menentukan tiga dosa besar di atas. Menurut hematnya, tradisi pendidikan yang searah masih mendominasi umat beragama di Indonesia. Hal ini dapat menghambat terjadinya proses dialog seputar keagamaan melalui berbagai perspektif penafsiran.
Selepas sesi tanya jawab, kedua narasumber tersebut bersama hadirin bersepakat selain mengulas dan menangani tiga dosa besar di atas, pencegahan juga harus diutamakan. Dalam hal ini peran keluarga dan para pendidik menjadi faktor yang menentukan. Sebagai tambahan, acara webinar ini dihadiri oleh sembilan puluhan peserta dari berbagai instansi dan komunitas.