Sejauh kita memahami sosok Gus Dur dengan beragam julukan ternyata dapat direfleksikan dalam dua pendekatan yang saling berkelindan. Pertama-tama Gus Dur dapat dipahami dan dielukan sebagai individu yang lekat dengan simbol-simbol besar, baik secara kultural maupun struktural. Ini dapat dipahami sejauh Gus Dur berkiprah di masa hidupnya selalu diidentikkan sebagai tokoh NU, kiai, pendiri parpol, intelektual, ketua PBNU, hingga presiden.
Pendekatan kedua berasal dari pelacakan secara rasional-ilmiah bahwa Gus Dur adalah individu dengan pemikiran besar sehingga mampu mengaktualisasikan diri dalam medium kiprah yang besar pula. Seturut dengan pendekatan ini meniscayakan memahami Gus Dur melalui beragam gagasan, tindakan, hingga kebijakannya dalam beragam sektor kehidupannya. Fokus pendekatan ini memahami Gus Dur, seperti yang ia katakan, menjadi sebuah inspirasi dinamis yang lekat dengan dinamika dan proses, bukan aspirasi belaka (Wahid, 1983).
Dalam pendekatan yang kedua ini mengedepankan sebuah kesadaran bahwa bagaimanapun sosok Gus Dur adalah pemikir yang mengharuskan hidupnya untuk kemaslahatan melalui nilai-nilai yang ia pahami dan prinsip yang diperjuangkan. Terlepas dari apakah ia menjadi sosok dengan identitas-jabatan besar yang melekat.
Hal ini penting sebab belakangan hari Gus Dur rentan digeser, baik dalam spektrum kanan maupun kiri yang ternyata bukan berbasiskan pemikirannya yang berpihak kepada masyarakat yang dilemahkan, misalnya. Nama besarnya hanya diseret dalam wacana pragmatis seperti mendapat dukungan massa hingga menaikkan elektabilitas kepentingan politik kala pemilu sudah dekat.
Kerentanan ini muncul sebab pembacaan terhadap sosoknya yang kurang dinamis dan sarat akan kepentingan individu alih-alih secara jujur memahami sejauh kepentingan dan manuvernya dalam dinamika politik maupun kepentingan lainnya. Dalam pendekatan yang kedua pula meniscayakan pembaharuan secara simpatik melalui kritik dan refleksi menyoal beragam pemikiran dan kebijakan Gus Dur. Dalam pendekatan inilah sejatinya Gus Dur hidup dalam ruang yang amat luas dan lebih konkret.
Visi Kerakyatan Gus Dur
Setidaknya terdapat lima postulat ketika kita memahami gagasan Gus Dur dalam bingkai ekonomi. Gus Dur menyebutnya sebagai “Ekonomi Rakyat”, yang mana tumpuan dan tujuan utama dari kebijakan ekonomi adalah rakyat secara konkrit. Bukan hanya jargonis-populis belaka, melainkan lebih pada langkah strategis-empiris.
Lima postulat ini disimpulkan berdasarkan pemahaman dari beragam wacana dan kebijakan Gus Dur. Pertama, kedaulatan melalui demokrasi. Kedua, kontekstual. Ketiga, rakyat adalah subyek melalui organisasi. Keempat, pertumbuhan sekaligus pemerataan. Dan yang terakhir adalah turut globalisasi untuk menguatkan produk domestik (Yustika, 2021).
Dalam kerangka postulat ini kita dapat memahami beragam kebijakan maupun sikap Gus Dur secara lebih komprehensif. Ini dapat dilihat dari upaya Gus Dur ketika menjabat presiden menginisiasi berdirinya Departemen Eksplorasi Laut, yang nantinya menjadi Kementerian Kelautan, dan mendorong upaya Land Reform. Kebijakan ini dapat dipahami sebagai upayanya mewujudkan ekonomi yang kontekstual berbasis lokalitas, selain mengupayakan industrialisasi. Lebih dari itu bahwa dua kebijakan ini menandakan keberpihakan yang jelas menyoal subyek dari wacana ekonomi agar terdesentralisasi.
Selain itu dalam rangka memperkuat posisi ekonomi rakyat, Gus Dur juga menginisiasi adanya koperasi di pedesaan dengan mengupayakan kredit rendah bunga melalui BMT. Bagaimanapun pemberdayaan masyarakat tidak dapat dimulai dari wilayah privat-individual melainkan dalam skema organisasi maupun serikat. Gagasan inilah yang membedakan dengan pendekatan ekonomi mainstream hari ini yang berbasis privat meski dalam sektor UMKM. Pendekatan mainstream ini juga yang menjadi penyebab disparitas ketimpangan semakin tinggi serta kerentanan terhadap pekerja.
Dalam sektor ekonomi internasional, Gus Dur juga menginisiasi poros Jakarta-Beijing-New Delhi sebagai upaya mengurangi ketergantungan sekaligus ketegangan antardua blok yang kala itu masih saling menghegemoni. Gus Dur juga mengatur para duta besar untuk melaksanakan diplomasi “ekonomi rakyat” dengan mempromosikan hasil produk UMKM pedesaan yang berbasis koperasi tadi.
Tentu apa yang menjadi sikap dan kebijakan Gus Dur mesti perlu dikembangkan lagi dalam banyak wacana di berbagai sektor hari ini. Hal ini juga yang menjadi bahasan penting dalam Temu Nasional (TUNAS) Jaringan GUSDURian tahun 2022 yang meresolusikan pentingnya upaya demokratisasi ekonomi, di mana poin ini diturunkan dalam program prioritas Jaringan GUSDURian berupa pemenuhan keadilan ekonomi dan sosial serta keadilan ekologis.
Faktanya, momen pandemi memberi sinyal bahwa salah satu sektor ekonomi yang paling bisa bertahan adalah sektor pertanian. Dan sektor inilah yang paling diabaikan oleh pemerintah kita hari ini. Gus Dur kala itu tidak menaruh perhatian serius terhadap adaptasi teknologi dalam proses produksi petani dan nelayan, akan tetapi Gus Dur memahami bahwa basis paling penting dalam mewujudkan kemandirian adalah transformasi berbasis organisasi. Gus Dur secara eksplisit menghendaki adanya kelompok-kelompok kecil pedesaan membentuk badan usaha koperasi.
Hari ini langkah pemerintah hanya besar dalam klaim tapi minus dalam kenyataan. Fakta bahwa sektor pertanian paling kuat kala dihantam pandemi bukan upaya serius dari pemerintah yang mempersiapkan jaringnya secara serius melainkan berasal dari pola produksi pertanian Indonesia yang berbasis keluarga yang memang sangat tangguh dan adaptif (Ploeg, 2019). Pemerintah masih silau dengan agenda revolusi industri namun alpha terhadap faktor prakondisi yang perlu dijaminkan demi kemandirian petani, misalkan, dengan reforma agraria, penguatan kelompok tani, dan akses kredit pupuk/modal terhadap petani.
Bahkan belakangan muncul kebijakan khas korporasi-neoliberal demi memangkas kebuntuan dan tuntutan swasembada melalui wacana food estate. Wacana ini sarat akan kritikan dalam berbagai sisi. Di satu sisi mendelegitimasi figur petani kecil di pedesaan dengan garapan lahan yang amat minim sebab kegagalan agenda reforma agraria. Di lain sisi menjadi penanda dari gagalnya pemerintah memahami pertanian secara holistik berikut sisi kebudayaan dan struktur sosialnya. Pemerintah masih menganggap adaptasi teknologi, efisiensi ekspedisi, diversifikasi produk, komodifikasi produk, dan lain sebagainya. Pendeknya pendekatan pemerintah mengabaikan faktor mendasar yang dibutuhkan demi transformasi pertanian dan kedaulatan petani.
Setuju dengan kredo Prof. Zainal Arifin Mochtar bahwa demokrasi adalah momen memilih setan yang paling baik di antara kumpulan setan. Tahun politik menjadi momen relevan untuk merefleksikan sebuah gagasan agar secara konkret dapat digunakan sebagai kacamata melabuhkan pilihan. Paling tidak kita memiliki kacamata memahami sejauh apa gagasan dan janji setiap politisi yang mencalonkan dirinya. Paling tidaknya lagi adalah bisa meredam sisi tribalisme kita melihat kontestan, yang belakangan waktu menjadi obor perpecahan, menjadi lebih substansial. Maka, sejauh apapun pemahaman kita mengenai gagasan di situlah seharusnya kita melabuhkan harapan.
Apakah dengan demikian telah cukup?
Tentu tidak. Mengingat bahwa di Indonesia, orang yang diberi janji justru yang berkewajiban untuk menuntut janji dari figur-figur yang telah memberanikan dirinya untuk berjanji.