Kemarin siang hingga sore, saya diundang sebagai narasumber dalam “Forum Demokrasi: Pemimpin Muda Mengawal Demokrasi” yang diselenggarakan oleh Gardu Pemilu Gorontalo yang bekerja sama dengan KPU, Bawaslu, dan FIS Universitas Negeri Gorontalo (UNG).
Dalam kesempatan tersebut, hadir pula sebagai narasumber kawan-kawan muda energik seangkatan saya seperti Daniel Andara, Donald Tungkagi, Hikem, dan lain-lain.
Saya diundang dalam kapasitas sebagai Dosen Pembimbing Lapangan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (DPL MBKM) UNG untuk Pemilu 2024.
Sebagai DPL, saya menyampaikan bahwa kebijakan Rektor UNG Eduart Wolok untuk melaksanakan MBKM Pemilu adalah ikhtiar UNG untuk merawat dan menjaga demokrasi serta menyukseskan pelaksanaan Pemilu 2024.
MBKM Pemilu yang dilaksanakan UNG bisa dikatakan sebagai skema MBKM pertama di Indonesia yang memfokuskan pada agenda memperkuat demokrasi di tingkat bawah yakni desa dan TPS. Secara teknis, UNG telah menerjunkan 589 mahasiswa, 97 dosen pembimbing lapangan di 162 desa dan 1386 TPS se-Provinsi Gorontalo.
Sebanyak 589 mahasiswa dan 97 DPL tersebut telah berada di TPS dan desa sejak pertengahan Januari 2024. Sebelumnya, pelaksanaan MBKM Pemilu ini didasari pada penandatanganan nota kesepahaman kerja sama antara Rektor UNG Eduart Wolok, Ketua KPU Provinsi Gorontalo Fadliyanto Koem, dan Ketua Bawaslu Provinsi Gorontalo Idris Usuli. Tindak lanjut dari hal tersebut diikuti oleh penandatanganan kerja sama dengan Dekan FIS UNG Zuchri Abdussamad hingga IA oleh Kajur Sosiologi, Kajur Komunikasi, Kajur Sejarah.
Sejak awal kegiatan MBKM Pemilu adalah melakukan pendidikan politik dan pengawasan partisipatif dalam rangka menjaga kualitas demokrasi. Selain itu, pada minggu ini mereka sedang membangun jejaring komunitas lokal yang terdiri dari tokoh dan relawan demokrasi untuk memastikan bahwa demokrasi tidak sekedar tanggal 14 Februari, tetapi lebih dari pada itu memastikan hak konstitusional warga pasca-pemilu terpenuhi.
Tentu yang selama ini menjadi kendala dalam tataran logika umum adalah menganggap demokrasi itu sebatas tanggal 14 Februari semata. Padahal yang lebih penting lainnya adalah menjaga amanah dan aspirasi warga pasca-pemilu, yakni terpenuhinya hak konstitusional warga.
Jika kita membaca Indeks Demokrasi Indonesia yang masuk kategori flawed, maka semua pihak mesti ikut terlibat secara aktif, tapi itu tidak sebatas hanya terkait pelaksanaan pemilu, namun juga terkait pasca-pemilu. Banyak hak konstitusional warga yang belum terpenuhi. Dan bahkan hasil pemilu sering kali tidak bisa memenuhi aspirasi warga saat pemilu. Makanya di Gorontalo partisipasi politik pada pemilu tidak stabil, apalagi pasca-pemilu.
Keterlibatan UNG dalam pemilu hingga pasca-pemilu adalah ikhtiar menjaga dan merawat demokrasi di tingkat bawah. Bahwa desa hingga TPS mesti menjadi perhatian penting. Tentu saja banyak pilihan dan alternatif aksi/agenda untuk mengawal dan menjaga demokrasi. Bisa dalam bentuk aksi spontanitas seperti petisi, demo, dan lain-lain, bisa pula dalam agenda yang terpola.
Dalam konteks itu, UNG memilih melaksanakan agenda yang integratif dengan tujuan dari tridharma perguruan tinggi yang selaras dengan pencapaian IKU (Indikator Kinerja Utama).
Benefit MBKM Pemilu untuk mahasiswa yakni agenda ini bisa dikonversi dengan nilai KKN 4 SKS, tentu saja akan mendapatkan mentoring dari penyelenggara terkait kepemiluan hingga pemberdayaan warga untuk lebih partisipatif yang dalam kategori IKU bisa terhitung IKU 2. Selain itu, untuk dosen dan prodi/jurusan dalam penilaian IKU akan mendapat poin pada IKU 3, 4, 5, 6 dan 7.
Bagi penyelenggara dan masyarakat, benefitnya adalah akan mendapatkan tambahan sumber daya manusia yang bisa ikut membantu pelaksanaan penyelenggaraan pemilu di lapangan, termasuk bisa menggairahkan partisipasi publik karena mahasiswa MBKM Pemilu juga ikut membantu mendorong inisiatif warga dalam mengorganisir berbagai komunitas lokal hingga tokoh masyarakat agar bisa menjadi benteng demokrasi di tingkat bawah.
Bahwa situasi politik di level nasional saat ini memang sangatlah dinamis, hingga dalam beberapa media nasional memberitakan terkait aspirasi berbagai perguruan tinggi, apakah yang bersifat personal maupun secara kelembagaan. Hal ini bisa dipandang sebagai bagian dari kebebasan berpendapat dalam demokrasi.
Pada konteks dan situasi dinamis tersebut, UNG lebih memilih memperkuat demokrasi dari bawah yang integratif, dari desa dan TPS, yang hal tersebut tidak kalah pentingnya dalam menjaga dan merawat demokrasi. Bagi UNG, hal ini seturut dengan apa yang dicita-citakan seorang filsuf politik asal Slovenia, Slavoj Zizek, bahwa dalam situasi politik yang menuju “flawed” (kategori flawed dalam nilai Democracy Index untuk Indonesia) perlu adanya politik emansipasi yang menjadi instrumen untuk mengarahkan setiap warga memiliki akses yang sama terhadap pemenuhan hak konstitusionalnya.
Sebagai penutup, saya mengutip pendapat dari salah satu tokoh poskolonial India Gayatri Chakravorty Speak yakni “Can the Subaltern Speak?”. Siapakah yang dimaksud dengan “subaltern” oleh Spivak? Yakni orang-orang yang tidak memiliki akses kepada struktur kewarganegaraannya. Bahwa mereka itulah yang pemilih yang pasif, pasif dalam artian mereka adalah pemilih, memiliki identitas, masuk DPT, tetapi tidak memiliki akses terhadap apa yang seharusnya (hak) mereka dapatkan. Mereka datang memilih, tetapi hasil pilihan (aspirasi dan harapan) mereka tidak pernah membahagiakan mereka.
Untuk kaum “subaltern” itulah, MBKM UNG untuk Pemilu 2024 dilaksanakan.