Kita sering mengambil jarak dengan orang lain sebab perbedaan keyakinan, padahal kaki dan tangan kita yang berbeda saja bisa bersatu dalam gerak yang berlawanan.
Intoleransi yang terus menggerogoti bangsa kian mengkhawatirkan. Nilai-nilai luhur yang diwariskan para pendiri bangsa terancam pudar. Di tengah situasi ini, Banguntapan, sebuah kelurahan di Bantul, Yogyakarta, hadir sebagai wadah toleransi dan persaudaraan. Kelurahan Banguntapan menunjukkan bahwa perbedaan keyakinan, agama, dan etnis bukan rintangan untuk hidup harmonis.
Di sini, toleransi dan persaudaraan diwujudkan melalui komunikasi yang erat, kolaborasi yang solid, dan agenda bersama yang merekatkan.
Banguntapan terkenal dengan tradisi peribadatan dan perayaan bersama antarumat beragama seperti persembahan unduh-unduh, kenduri, dan doa bersama. Tradisi-tradisi ini menjadi wadah untuk saling mengenal dan mempererat hubungan.
Namun, benih-benih intoleransi di Banguntapan bukan tanpa rongrongan. Gejolak diskriminasi dan isu sosial mulai bermunculan, seperti anak muda yang terlibat geng, kehamilan dini, dan pencurian menjadi isu yang perlu diatasi bersama. Melalui dialog, kunjungan ke tempat ibadah, dan youth camp lintas desa, diyakini dapat membangun generasi muda yang toleran dan bertanggung jawab.
Salah satu contohnya adalah demo yang terjadi di Pura Jagatnata oleh sekelompok orang yang tergabung dalam organisasi tertentu. Demo ini dipicu sebagai respons atas isu pembantaian umat tertentu di India, dan berujung pada serangan balasan terhadap Pura Jagatnata.
Menyadari hal ini, pada Sabtu, 18 Mei 2024, Komunitas GUSDURian Jogja bersama tokoh agama dan masyarakat Banguntapan menggelar Temu Kebangsaan di Balai Padukuhan Sorowajan.
Acara ini dikemas dalam bentuk Focus Group Discussion (FGD) untuk memetakan potensi dan tantangan sosial di wilayah Banguntapan, serta mengidentifikasi harapan penguatan terkait sosial dan keberagaman.
Dari FGD tersebut, tercetus dua agenda penting yang harus segera ditindaklanjuti. Agenda-agenda ini menjadi kunci untuk membangun tembok toleransi yang kokoh di Banguntapan dan melawan gejolak intoleransi yang mulai muncul.
Pertama, membangun komunikasi antarkelompok agama harus diintensifkan. Dialog dan interaksi antarumat beragama perlu digalakkan secara rutin untuk menumbuhkan rasa saling percaya dan menghilangkan prasangka yang mulai tumbuh.
Kedua, membuat agenda bersama lintas iman. Agenda ini akan mewujud dalam bentuk kegiatan sosial bersama, seperti bakti sosial. Melalui kegiatan ini, umat beragama akan bahu-membahu untuk membantu sesama, tanpa memandang perbedaan keyakinan. Kolaborasi dalam kegiatan sosial ini diharapkan dapat memperkuat persaudaraan dan solidaritas antarumat beragama, sekaligus menjadi bukti konkret bahwa toleransi bukan hanya impian, tetapi dapat diwujudkan dalam aksi nyata.
Dalam kesempatan itu, Sri Sumiyatun, perwakilan dari KUA Banguntapan, mengatakan bahwa Dusun Plumbon yang meraih Juara 2 dalam Kategori Kampung Moderasi Beragama tahun 2023, dapat menjadi pilot project atau rintisan Kampung Moderasi. Meskipun telah meraih prestasi, masih terdapat beberapa aspek yang perlu dimantapkan dan diperbaiki sehingga dapat menjadi contoh bagi dusun-dusun lain di Kelurahan Banguntapan.
Dalam FGD Temu Kebangsaan tersebut juga, isu diskriminasi rasial, khususnya terkait “kost Muslim”, menjadi salah satu topik hangat yang dibahas. Hal ini dipicu oleh fenomena yang marak terjadi, di mana beberapa pemilik kost memasang papan “Kost Khusus Muslim”.
Salah satu peserta FGD menjelaskan alasan di balik fenomena ini. Dikatakan bahwa beberapa pemilik kost mengalami trauma dengan perilaku sekelompok orang yang berasal dari agama dan etnis tertentu. Trauma ini timbul dari pengalaman pahit, seperti keributan, pesta musik yang bising, dan mabuk-mabukan yang dilakukan oleh penghuni kost tersebut.
Meskipun trauma ini dapat dipahami, diskriminasi rasial melalui papan “Khusus Muslim” bukan solusi yang tepat jangka panjang. Preseden buruk bagi etnis tertentu harus segera dicari jalan keluarnya sehingga tidak terus menerus mencoreng nilai-nilai toleransi yang sudah susah payah dibangun di Banguntapan.
Di tengah diskusi tentang toleransi dan persaudaraan di Banguntapan, isu sampah pun tak luput dari perhatian. Dalam FGD, terungkap bahwa banyak warga Banguntapan yang masih melakukan pembakaran sampah karena tidak adanya lagi Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) untuk membuang sampah.
Persoalan sampah ini bukan hanya masalah lingkungan, tetapi juga berpotensi menimbulkan konflik antarwarga. Contohnya asap tebal dan bau menyengat dari pembakaran sampah dapat mengganggu kenyamanan dan kesehatan masyarakat.
Hasil dialog dan diskusi dalam FGD Temu Kebangsaan di Banguntapan mencapai kesepakatan penting untuk meningkatkan toleransi dan persaudaraan. Komunitas GUSDURian Jogja dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Banguntapan diberi tugas untuk terus bekerja sama secara sinergis dalam mencapai tujuan tersebut.
Berbagai langkah konkret telah direncanakan, dimulai dari penguatan keluarga sebagai landasan utama. Kampanye positif tentang toleransi dan persaudaraan akan diperkuat melalui platform media sosial. Selain itu, diharapkan diadakan FGD lanjutan untuk membahas lebih dalam tentang isu-isu spesifik terkait toleransi dan persaudaraan.
Banguntapan telah menunjukkan bahwa toleransi dan persaudaraan bukan hanya angan-angan, tetapi dapat diwujudkan dalam aksi nyata. Kolaborasi lintas iman, dialog terbuka, dan kegiatan bersama menjadi kunci utama dalam membangun komunitas sosial yang harmonis dan inklusif.