Rencana potongan penghasilan, kenaikan pajak, hingga inflasi harga barang membuat kelas menengah di Indonesia akhir-akhir ini menjadi cemas. Kecemasan itu ditumpahkan di media sosial dengan membandingkan diri dari orang miskin, yang dianggap lebih terjaga hidupnya karena memperoleh bansos.
Tak ayal beragam konten di media sosial menampilkan keterhimpitan ekonomi yang dirasakan masyarakat Indonesia, khususnya kelas menengah. Seperti sebuah postingan di TikTok belum lama ini yang dibagikan adik saya. Postingan dari seorang influencer itu membuat premis, “Sulitnya menjadi kelas menengah di Indonesia”. Ia membayangkan kelas menengah, tak seperti orang kaya yang hidup sangat layak, tapi juga tak seperti orang ekonomi kelas bawah atau saya sebut masyarakat miskin yang dapat bantuan sosial (bansos) dari pemerintah. Apa benar kelas menengah lebih sulit hidupnya daripada orang miskin?
Membuat perbandingan seperti itu jelas tidak berempati kepada orang miskin. Itu artinya ia menganggap nasib orang miskin lebih baik daripada kelas menengah, hanya karena menerima bansos. Tampaknya si influencer ini tidak punya sensitivitas sosial. Apa ia berpikir dengan bansos saja cukup dan mampu menaikkan taraf hidup menjadi layak bagi orang miskin?
Padahal bansos yang kita ketahui jumlahnya hanya cukup mengganjal perut lapar beberapa hari atau bahkan cuma untuk satu hari bagi keluarga dengan anggota banyak. Saya yakin, bahkan dana bansos yang diperoleh orang miskin itu jumlahnya juga sangat kecil dibandingkan biaya hidup kelas menengah, apalagi kelas menengah ibukota seperti si influencer tadi. Belum lagi dari banyak pemberitaan, ditemui distribusi bansos banyak yang tak tepat sasaran. Alhasil tak semua orang miskin menikmatinya. Masih banyak warga miskin di penjuru negeri yang hidupnya jauh dari kata layak.
Sementara itu, si influencer menyampaikan kesulitan-kesulitan hidup yang dihadapi kelas menengah. Mulai dari ketidakpunyaan kendaraan yang layak dengan suspensi yang nyaman, sehingga mobil/motor harus sering ke bengkel. Atau uang kuliah yang mahal dan membuat mereka harus berutang atau bahkan terancam tidak mampu menyelesaikannya.
Rangkaian kesulitan itu seperti menegasikan bahwa masyarakat miskin tidak punya kesulitan hidup yang lebih berat lagi. Jika pakai kacamata orang miskin, berkuliah saja misalnya tidak akan mungkin dapat dicapai. Jangankan kuliah, untuk lancar bersekolah, meski katanya gratis, bukan perkara mudah bagi orang miskin.
Pilihan jenis kendaraan pribadi dan pendidikan tinggi sudah jelas adalah privilese bagi kelas menengah dan orang kaya. Jadi keluhan yang disampaikan tersebut sebenarnya semakin mempertebal kesan ketidakempatian dan insensitivitas kelas menengah terhadap masalah sosial kita. Keluhan itu terkesan egois, seakan-akan hanya kehidupan kelas menengah saja yang terhimpit.
Lebih kontributif?
Sementara itu, si influencer memaparkan betapa kelas menengah punya kontribusi besar bagi negara dan pertumbuhan ekonomi. Sehingga, tidak adil jika harus membayar lebih banyak ongkos yang menambah biaya hidup. Ia menyebutkan bahwa pekerja dari kelas menengah punya jam kerja panjang dan merekalah yang menghidupkan gedung-gedung di ibukota. Jelas sekali ini pola pikir yang bias kelas menengah ibukota.
Cara berpikir ini buruk dan berbahaya, karena mengalienasi peran pekerja kelas ekonomi bawah atau pekerja kasar yang diistilahkan pekerja kerah biru (blue collar). Mereka yang berpenghasilan mepet UMR, sebut saja seperti office boy, satpam, cleaning service, pelayan, dan seluruh buruh di banyak-gedung-gedung tinggi itu juga punya peran tak kalah penting dalam merawat gedung itu.
Jika pekerja kelas menengah yang kerah putih (white collar) itu bekerja sampai lembur, siapa yang membuat kopi bagi mereka kalau bukan office boy di pantri? Setelah karyawan yang bekerja di depan komputer di mejanya yang lega itu pulang, masih ada cleaning service yang akan membereskan tumpukan sampah di mejanya. Lalu terdapat satpam yang berjaga ‘shift-shift-an’ memastikan keamanan gedung dan portal keluar-masuk agar tetap bisa diakses.
Pernyataan seperti itu menampakkan gejala narsistik dari kelas menengah ibukota. Seolah-olah hanya mereka yang punya peran penting dan menegasikan sekelompok pekerja lainnya, si kerah biru yang mungkin saja masuk kategori warga miskin. Mereka harus tinggal di perkampungan padat penduduk ibukota, karena tidak mampu membeli properti yang lebih layak. Gaji yang pas-pasan tak sebanding dengan ongkos hidup yang tinggi di ibukota.
Sama-sama Susah
Sampai di sini, saya tidak ingin menolak bahwa kesulitan yang dialami kelas menengah itu nyata. Memang benar banyak biaya hidup dikhawatirkan terus meningkat. Contohnya wacana biaya kuliah yang akan dinaikkan, walau akhirnya dan dianulir kembali setelah didesak oleh mahasiswa seluruh Indonesia. Menteri yang bertanggung jawab di bidang itu menyebut biaya (cost) kuliah itu sebagai harga (price). Pemilihan istilah ini membuat kita bertanya-tanya, apakah pendidikan hanya menjadi semacam komoditas yang diperdagangkan. Tentu hal itu berseberangan dengan semangat kita berbangsa bahwa pendidikan ialah hak seluruh warga dan kewajiban negara mencerdaskan warga negaranya.
Memang benar pula, biaya hidup terus naik. Di tengah wacana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di 2025, harga-harga kebutuhan pokok tetap saja melonjak. Inflasi harga barang itu sering kali tak sebanding dengan kenaikan upah. Belum lagi daya dukung lingkungan hidup seperti kualitas udara semakin terancam oleh polusi. Kemarau dan cuaca panas yang ekstrem di sebagian wilayah di Indonesia akan membahayakan ketahanan pangan kita. Harga bahan pangan dipastikan akan naik dan memengaruhi konsumsi di meja makan masyarakat Indonesia. Situasi yang membuat semuanya serba mahal itu membuat hanya segelintir orang berpenghasilan tinggi yang mampu bertahan, bukan kelas menengah, apalagi orang miskin.
Di tengah sapuan kenaikan harga dan biaya hidup tersebut, saya ingin bilang bahwa seluruh lapisan masyarakat rentan turun kualitas hidupnya. Semua yang bukan pemilik modal, penguasa, atau jajaran eksekutif adalah kelompok besar yang rentan terhadap kenaikan biaya-biaya tersebut. Tidak ada gunanya menganggap kelas menengah berada dalam kondisi paling buruk dibandingkan orang miskin, yang mana memang, kalau boleh adil, kelas menengah justru masih lebih terjamin dalam memenuhi kebutuhan primernya. Apalagi menyepelekan kesulitan orang miskin dan menganggap mereka lebih diperhatikan pemerintah hanya karena mendapatkan bansos..
Persatuan Antar-Kelas
Baik kelas menengah dan orang miskin sama-sama terdesak dan terhimpit. Daripada memisahkan perjuangan masing-masing, mengapa tidak bersatu dalam barisan yang sama? Keduanya punya kesamaan, sama-sama pekerja yang tidak memiliki modal dan rentan ditindas pemilik usaha. Baik bekerja di sektor formal maupun informal, baik kelas menengah maupun orang miskin melayani roda-roda besar perekonomian negara ini. Tanpa masyarakat pekerja, tentu tidak ada kantor-kantor di ibukota yang beraktivitas, pabrik yang mesinnya berjalan 24 jam, dan berbagai sektor perdagangan lainnya.
Situasi di mana kelas menengah membangun tembok atas perjuangannya dari masyarakat miskin, tampaknya terjadi di tengah histori negara yang terlalu hegemonik terhadap sendi kehidupan politik masyarakat. Tercermin pada masa lalu, ketika Orde Baru, sebuah pemerintahan yang hegemonik yang berlangsung selama 32 tahun menuntut masyarakatnya untuk harmonis tanpa diskursus. Masyarakat yang ‘nurut-nurut saja’ itu harus dijauhkan dari aktivitas politik, sehingga terciptalah masyarakat yang apolitis dan tidak memiliki kesadaran sosial yang tinggi. Kondisi seperti itu jelas membuat gerakan masyarakat sipil menjadi lemah.
Saya khawatir jika narasi seperti ini terus berkembang, maka akan semakin menghambat perjuangan masyarakat sipil sebagai publik dalam mengawasi negara, untuk membuat kebijakan yang lebih berpihak pada rakyat kebanyakan. Kita curiga kondisi ini sengaja diciptakan, memisahkan kanal perjuangan antara kelas menengah dan orang miskin. Di mana orang miskin semakin dilemahkan dengan hanya bergantung pada bantuan saja, tanpa niat untuk memberdayakan dan menjadikan mereka mandiri. Dengan tujuan agar lebih mudah dikontrol supaya dapat terus-terusan menjadi lumbung suara untuk kepentingan elektoral saja. Sementara kelas menengah yang berpendidikan dan terliterasi untuk melakukan advokasi, malah asyik dengan problematikanya sendiri. Kelas menengah yang tercipta pada akhirnya punya watak egois, narsistik, dan tidak punya empati sosial.
Perjuangan warga negara sudah seharusnya bersatu tanpa sekat-sekat kelas. Hanya dengan persatuanlah, gerakan masyarakat sipil mampu memaksa negara menggunakan seluruh kapasitasnya untuk kesejahteraan seluruh masyarakat, bukan hanya keuntungan segelintir golongan saja.