Social Media

Menggali Toleransi dan Kerukunan Antar-Umat Beragama di Brebes lewat Seminar Keberagaman

BREBES – Komunitas GUSDURian Brebes bersama jejaring lintas iman mengikuti Seminar Keberagaman edisi perdana yang sukses digelar di Gereja Santa Maria Fatima Brebes pada Minggu (16/06) siang.

Acara yang berlangsung dari jam 10.00-14.00 WIB dengan mengambil tema “Beriman yang Tangguh di Tengah Keberagaman dalam Dialog dengan Sesama” ini berlangsung hangat dan meriah.

Lebih dari 150 peserta seminar dan tamu undangan hadir dalam acara yang digelar atas inisiasi Gereja Katolik Brebes bekerja sama dengan Kementerian Agama Hubungan Masyarakat Katolik. Di antara peserta hadir berasal dari Penggerak GUSDURian Brebes, Gereja Katolik wilayah Brebes, Tegal, Slawi, Mejasem, kemudian Ebenezer serta dari Majelis Penghayat Indonesia.

Acara seminar keberagaman ini menghadirkan narasumber Romo Dr. M. Joko Lelono, M. Hum asal Jogja yang memberikan materi keberagaman.

Dimulai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya kemudian disambung oleh sambutan pertama oleh Ketua Forum Kerukunan antar-Umat Beragama (FKUB) Kab. Brebes HM. Supriyono, yang menganggap bahwa menghadapi perbedaan itu bukan hal yang sulit, sebab Islam pun mengajarkan cinta damai.

“Ada yang salatnya baik, puasanya baik, dan melakukan banyak ibadah, namun tidak berlaku baik kepada tetangga Muslim ataupun non-Muslim, dia tetap masuk neraka,” ceritanya.

“Sebab saleh ritual saja tidak cukup, harus ada saleh sosial. Semoga kita mewarisi jiwa kebangsaan yang Gus Dur teladankan,” pungkasnya.

Pada kesempatan berikutnya, sambutan tuan rumah oleh Romo Antonius Budiyanto mengungkapkan, dilansir dari Badan Pusat Statistik, Kabupaten Brebes menempati jumlah penduduk paling besar di Jawa Tengah. Namun umat Katolik hanya 0.01% dari jumlah tersebut.

Romo Budi —sapaan akrabnya— mengatakan, ruang-ruang dialog seperti seminar keberagaman perlu ditingkatkan di berbagai gereja di Brebes supaya wawasan kebhinekaan dapat merangkul pihak-pihak yang merasa berbeda, minder, atau stigma ketakutan ekstremisme dapat pudar.

“Dengan memahami keberagaman kita akan makin sadar bahwa kefanatikan buta hanya akan menghancurkan bangsa kita. Dengan berjumpa kawan-kawan lintas iman, kita dapat menghilangkan stigma negatif antaragama, serta dapat mengembangkan manusia Indonesia yang berkarakter Nusantara,” tuturnya.

Pada acara inti, Romo Joko memaparkan mengenai wawasan dan asal muasal moderasi beragama yang diinisiasi sejak tahun 2019. Ia bercerita dalam pandangan agamanya bahwa kebaikan harus diperlihatkan oleh umat yang beriman.

“Iman Katolik justru harus disebarkan untuk memperlihatkan kebaikan Katolik,” ceritanya.

Ia menambahkan, kepercayaan diri dalam beragama itu penting, sehingga akan hilang ketakutan merasa lemah iman jika berinteraksi dengan yang berbeda identitas.

“Kepercayaan diri dalam beragama itu penting,” tambahnya.

Ia bercerita mengenai masa-masa kelam ketika maraknya pengeboman. Hal ini bukan hanya menjadi ketakutan umat Kristen, namun juga menjadi pukulan berat bagi umat Islam itu sendiri.

“Saya berdialog dengan seorang ustaz di Jogja dan itu menjadi pukulan bertubi-tubi baginya. Pertama melihat korban seagama terbunuh sia-sia, kedua dianggap sama seperti teroris, serta ketiga sebagai Muslim ia merasa agamanya dinistakan sebab nama Tuhan Allah digunakan untuk menghalalkan terorisme,” kenangnya.

“Tidak boleh ada yang merasa lebih Indonesia atau tidak ada yang boleh merasa minoritas, beragama iya, bersaudara harus!” pungkasnya.

Peserta dari penghayat kepercayaan Dewi Sukma Nawangwulan menganggap anggapan minoritas harus ditiadakan dari kehidupan bermasyarakat kita, sebab semestinya kita setara dan dengan membaur bersama warga sekitar yang dianggap mayoritas akan menghilangkan stigma minoritas dalam konotasi negatif.

“Saya tidak pernah merasa minoritas walaupun di tempat saya hanya saya sendiri yang menjadi penghayat, kuncinya membuka diri dan bermasyarakat,” ujarnya.

Ia juga bercerita mengenai latar belakang keluarganya yang penuh kebhinekaan serta didapuk menjadi perempuan pertama di Brebes yang mengubah KTP menjadi penganut kepercayaan.

Ketua Orang Muda Katolik Brebes Daniel Ganien juga memberikan statement yang sama, bahwa ruang-ruang moderasi beragama mendekatkan sekaligus menumbuhkan tenggang rasa di antara pemuda lintas iman.

“Saya merasa bersyukur dapat berinteraksi dengan teman agama lain, seperti diskusi kelompok tadi membuat saya merasa lebih mengenal dan tertarik bergabung GUSDURian, berkegiatan bersama,” jelasnya.

Acara berikutnya adalah sesi pengelompokkan antarpemuda lintas agama yang menjawab hambatan serta alternatif solusi yang dapat dilakukan sebagai pemuda di lingkungannya. Sesi diakhiri dengan pemaparan masing-masing kelompok serta ditutup dengan doa lintas agama dan nyanyian Padamu Negeri.

Penggerak Komunitas GUSDURian Semarang, Jawa Tengah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *