Film Yang Tak Pernah Hilang: Pengingat Perjuangan Pahlawan Demokrasi yang Hilang

Demokrasi di Indonesia bisa sampai pada tahap ini, itu ada orang-orang yang memperjuangkannya.

Vivi Widyawati

Pernahkah kamu membayangkan hidup di Indonesia tanpa demokrasi? Tanpa kebebasan untuk berbicara, berdiskusi, berekspresi, dan bahkan tidak bisa memilih pemimpin sesuka hati?

Bangun tidur, meraih gawai, dan berselancar di media sosial untuk sesekali merutuki keadaan. Hal yang biasa kita lakukan ini mustahil dilakukan 30 tahun lalu (meskipun seandainya media sosial sudah ada).

Di masa itu, hidup kita terkekang dalam jerat kediktatoran. Kebebasan berekspresi, berpendapat, bahkan mengakses informasi, semuanya terbungkam. Banyak anak muda pada masa itu berjuang melawan pemimpin tangan besi. Sayangnya, banyak dari pahlawan demokrasi itu harus membayar mahal pengorbanan mereka dengan diculik dan disiksa, dan sebagain dari mereka hingga hari ini belum ditemukan. 

Saat ini, kita dapat menikmati kebebasan yang mereka perjuangkan dengan darah mereka.

Demokrasi Indonesia: Buah Perjuangan yang Tak Ternilai

Di Studio 4 Empire XXI Kota Yogyakarta, Jumat, 28 Juni 2024, keheningan mencekam menyelimuti ruangan. Layar bioskop menampilkan cuplikan demi cuplikan kisah pilu Herman Hendrawan dan Bima Petrus Anugerah, dua aktivis Universitas Airlangga yang diculik oleh negara 26 tahun silam.

Tiba-tiba, air mata Harina, kakak pertama Herman Hendrawan, menetes, membasahi pipinya yang telah diukir guratan usia. Haru menggema ke seluruh ruangan. Di antara deretan kursi bioskop, isak tangis para penonton pun mulai terdengar.

Semua mata terpaku pada layar, tak ingin melewatkan satu momen pun. Air mata para penonton pun tak terbendung, marah dan tak percaya bercampur aduk. Hampir tak ada yang memainkan gawai mereka, tak ada suara ketukan keyboard laptop, hanya ada deru film dan sesekali suara tangisan yang pilu.

Harina, dengan suara bergetar dan terluka, terhenyak namun tak pernah menyerah, berkata, “Kalau film ini jadi, tolong kami dikasih copy-nya, biar anak cucunya tahu kalau salah satu keluarganya, Pak Su-nya (paman/oom), pernah berjuang untuk bangsa ini. Walau kecil, bukan dia saja, tapi sama teman-temannya.”

Bagaimana mungkin negara yang seharusnya melindungi rakyatnya, justru tega melakukan tindakan kejam seperti ini? Pertanyaan ini bertalu-talu di benak setiap orang yang menyaksikan film Yang Tak Pernah Hilang.

Salah satunya Nanik Rahmawati, dari GUSDURian Yogyakarta, generasi Z yang lahir tahun 2003 ini memang tidak merasakan langsung gejolak sosial politik tahun 1998. Namun, setelah menonton film ini, ia merasa seolah mendapatkan pemahaman baru tentang sejarah kelam republik ini.

“Aku masih belajar jadi aktivis,” kata Nanik. “Ternyata sebegitunya ya!”

Jika generasi Z bisa memahami ‘sebegitu beratnya’ perjuangan para aktivis masa lalu dalam memperjuangkan bangsanya agar bisa hidup demokratis seperti saat ini, mungkin mereka tidak akan menjadi ‘Golongan 58’, ‘Golongan Gemoy’ yang memenangkan pemilu dengan mengantarkan presiden terpilih saat ini ke kursi kekuasaan, yang notabene berafiliasi dan patut diduga pelaku penculikan aktivis.

Hal ini diamplifikasi oleh Eko Prasetyo, pendiri Social Movement Institute (SMI). Dalam kesempatan itu juga, Eko menegaskan pentingnya kerja sama SMI dengan Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) dalam menyelenggarakan pemutaran film Yang Tidak Pernah Hilang ini.

Dalam sambutannya, Eko menyampaikan harapannya bahwa film ini dapat memperkuat ikatan para aktivis dengan para korban dan mendorong perjuangan untuk melawan ketidakadilan. Eko menekankan bahwa penguasa saat ini adalah mereka yang bertanggung jawab atas penculikan aktivis, dan film ini menjadi pengingat agar perjuangan tidak pernah berhenti.

Pemutaran film ini juga menjadi momen penting untuk memperkuat solidaritas dan menyatukan kesadaran melawan kekuatan dan kekuasaan yang menindas.

“Ini istimewa karena banyak anak muda yang hampir tidak mengenal sejarah ’98 (hadir ikut menonton),” papar Eko.

Di Balik Lensa

Film dokumenter Yang Tak Pernah Hilang hadir untuk membawa kita dalam perjalanan hidup Herman Hendrawan dan Bima Petrus Anugrah (Bimo atau Bimpet), dua aktivis mahasiswa yang diculik dan nasibnya masih belum diketahui hingga kini. 

Film ini mengurai kisah mereka dari masa kecil hingga momen tragis hilangnya dua pahlawan reformasi itu sekitar Maret 1998.

Herman Hendrawan adalah seorang penggerak perlawanan rakyat yang lahir di Pangkalpinang pada 29 Mei 1971 dari keluarga pengagum Soekarno. Sejak kecil, Herman sudah senang berdiskusi. Ia tercatat sebagai mahasiswa jurusan politik di Fakultas FISIP Universitas Airlangga pada tahun 1990 dan aktif di berbagai organisasi yang membela kepentingan masyarakat.

Sedangkan Bimo adalah seorang propagandis gerakan yang gemar bermusik, lahir di Malang pada 24 September 1973. Pada tahun 1993, Bimo menjadi mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi di Universitas Airlangga. Di sana, ia rajin mendiskusikan teori progresif dan situasi politik nasional. Dosen-dosen mengakui Bimo sebagai mahasiswa yang kritis dan cerdas, bahkan rajin menulis di koran.

Sebanyak 35 narasumber dilibatkan dalam film ini, mulai dari keluarga, kerabat, teman seperjuangan, hingga aktivis politik yang pernah berinteraksi dengan Herman dan Bimo.

Cerita mereka dikemas dengan apik nan ciamik, menghadirkan gambaran utuh tentang kedua aktivis muda ini, dedikasi mereka terhadap demokrasi, dan perjuangan mereka melawan rezim Orde Baru. Menonton film ini semakin mantap berkat monolog yang mengaduk-aduk emosi dan menggebu-gebu yang ditampilkan oleh Totenk MT Rusmawan.

Gagasan film ini sudah dicetuskan sejak tahun 2019 dan diproduseri oleh Dandik Katjasungkana, Koordinator IKOHI Jawa Timur. Pengerjaannya dilakukan secara bergantian oleh dua sutradara, yaitu Hari Nugroho dan Anton Subandrio, yang akrab dipanggil Cak Su. 

Namun, takdir berkata lain, Hari Nugroho wafat pada tahun 2020 karena serangan jantung, sehingga tongkat estafet diteruskan oleh Cak Su dan selesai pada awal Februari 2024.

Dalam sambutannya, Cak Su menyampaikan rasa terima kasihnya kepada seluruh tim produksi. Ia menggarisbawahi bahwa kontribusi mereka bukan hanya soal pembuatan film, tetapi juga “supaya kawan-kawan bisa menyerap energi dari film ini menjadi sebuah kesadaran kolektif sehingga kita menjadi saksi bahwa kita selalu ada di pihak orang-orang yang hilang.”

Cak Su juga menyampaikan kenyataan pahit bahwa negara kita belum mampu menyelesaikan kasus penculikan aktivis. Hal ini menjadi sebuah pengingat bahwa perjuangan untuk keadilan dan pengungkapan kebenaran masih panjang dan membutuhkan partisipasi lebih banyak pihak.

Persahabatan yang Menginspirasi

Di antara berbagai momen mengharukan dalam film Yang Tak Pernah Hilang, kisah persahabatan Bimo dan Bo’ing (Ilham Syah) menjadi salah satu yang paling berkesan bagi saya pribadi.

Mereka bertemu di Jakarta pada tahun 1996 saat Bimo terpilih sebagai pengurus pusat SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi). Bersama-sama, mereka terlibat dalam gerakan bawah tanah untuk melawan kediktatoran Soeharto.

Momen yang paling menyentuh adalah ketika Bo’ing menceritakan bagaimana Bimo melindungi teman-temannya saat mereka ditangkap pada tahun 1997. Di dalam sel dengan tangan terborgol, Bimo dengan berani berkata, “Jangan buka jaringan, limpahkan saja ke aku.”

Penutup: Luka Lama, Api Semangat Baru

Film Yang Tak Pernah Hilang bukan hanya sebuah tontonan, melainkan sebuah tuntunan perjalanan menyusuri jejak pahlawan demokrasi yang masih samar.

Kisah tragis Herman Hendrawan dan Bima Petrus Anugrah, yang diculik dan hilang tanpa jejak, menjadi tamparan keras bagi nurani kita. Alih-alih mengutuk keadaan, film ini juga membangkitkan semangat baru untuk memperjuangkan keadilan dan demokrasi.

Pengorbanan berdarah Herman dan Bimo, beserta para pahlawan reformasi lainnya, tidak boleh sia-sia.

Generasi muda memiliki peran penting dalam meneruskan tongkat estafet perjuangan ini. Film Yang Tak Pernah Hilang membuka mata kita tentang sejarah kelam bangsa dan menumbuhkan rasa tanggung jawab agar tidak mudah lupa untuk menciptakan masa depan bangsa yang lebih baik.

Penggerak Komunitas GUSDURian Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *