GUSDURian Mojokerto Refleksikan Tiga Dosa Besar Pendidikan dalam Forum 17-an

MOJOKERTO – Pada 19 Juli 2024 lalu, Komunitas GUSDURian Mojokerto telah mengadakan Forum 17-an di GKJW Klanting, Kabupaten Mojokerto. Kebetulan, tema yang digagas pada pertemuan kali ini adalah “Kesetaraan Pendidikan: Setiap Anak Mempunyai Hak dan Fasilitas yang Sama Mengenyam Pendidikan di Indonesia”. Pembahasan isu ini tidak lain juga merupakan tindak lanjut dari pertemuan daring dengan Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian yang membahas problematika tentang pendidikan.

Kegiatan ini mendatangkan tiga pembicara. Dua di antaranya merupakan tokoh yang telah berkecimpung di dunia pendidikan. Ketiga pembicara tersebut adalah Pendeta Maria Susanti dari GKJW Klanting, Wahyuni Sri Redjeki yang merupakan Ketua Komisi Nasional Pendidikan Kota Mojokerto, serta Moh. Ansor Ibnu Rido yang merupakan Guru PAI SDN & Pengajar Praktik Guru Penggerak Kabupaten Mojokerto.

Diskusi dibuka oleh Pendeta Maria dengan langsung menyebutkan tiga dosa besar dan pengaruhnya yang begitu besar dalam mengubah karakter anak. Di sini, dirinya membagikan perasaan mirisnya akan tonggak masalah yang menyebabkan permasalahan ini.

“Di berita tahun 2023 yang telah saya baca, koreksi jika salah, mengatakan bahwa 80% kasus mengarah pada tiga dosa besar pendidikan, yaitu kekerasan seksual, perundungan atau kekerasan, dan intoleransi. Mirisnya mayoritas pelakunya adalah pendidik.”

Kerisauannya inilah kemudian menjadi pemantik bagi kedua narasumber lain untuk menjabarkan lebih gamblang terkait tiga dosa besar dalam pendidikan. Selanjutnya, Anshori langsung memulai materi yang ia bawa dengan dasar hukum pendidikan itu sendiri.

“Sebelumnya, saya ingin memperlihatkan dulu, bahwa ada dasar hukum dari pendidikan. Yang pertama adalah UUD 1945 pasal 31 yang berbunyi, ‘Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.’ Lalu pada UU No. 20 tahun 2003 dan PP No. 4 tahun 22. Ini merupakan dasar dari pendidikan itu sendiri,” ulasnya.

Setelahnya, secara teoritis, dirinya menjabarkan tiga dosa besar, baik bullying, intoleransi, maupun kekerasan seksual, berikut pengertian, penyebab, serta tindak pencegahan yang diberikan bagi orang yang belum mengalami, pun juga tindak kuratifnya.

Pembahasan terakhir disampaikan oleh Sri Redjeki. Dirinya mengaku turut merasakan kemirisan akan perkembangan pendidikan yang kini dirasakan. Menurutnya, harusnya guru dalam tatanan masyarakat memiliki tingkat tertinggi. Sayangnya, sekarang sudah tidak demikian.

“Pendidik tidak lagi dihargai, bahkan dituduh sebagai pelaku yang merusak tatanan. Bahkan dari sisi kepribadian, banyak di antara mereka sudah tidak punya karakter seorang pendidik. Kemudian dari sisi sumber daya manusia, yang masuk lembaga adalah orang-orang yang masuk karena uang, tampilannya pun mewah dan menor. Kalau tidak pakai barang mewah rasanya aneh,” resahnya.

Keresahan Sri tidak berhenti sampai di sana. Ia pun turut mengkritik capaian pendidikan di akhir era Presiden Soeharto.

“Di akhir era Pak harto, bicara tentang pendidikan, berarti berbicara tentang anak harus pintar, terlebih pada sains. Sayangnya, ketika mereka hanya pintar, terjadi degradasi moral,” ungkapnya.

Sebagai orang yang sudah lama berkecimpung di dunia pendidikan, Sri turut membagikan pengalamannya akan kenakalan lembaga pendidikan pada aktivis akademik di dalamnya.

“Lembaga sekolah pun suka memutasi guru yang vokal terhadap kebijakan. Sering kali melakukan sesuatu, seperti tim untuk PPPK, tapi hanya SK saja, alias hanya untuk formalitas. Lalu ada pungutan iuran. Harusnya di sekolah negeri sudah tidak ada SPP. Nyatanya, masih ada, karena adanya surat dari komite,” pungkasnya.

Refleksi demi refleksi ini kemudian mendapatkan banyak tanggapan dari para peserta forum. Baik pengalaman anggota keluarga yang mendapatkan perlakuan tidak baik saat berkumpul dengan teman-temannya di sekolah hanya karena ia seorang Kristen, lembaga pendidikan yang masih tidak mewadahi mata pelajaran maupun guru agama selain Islam, pengalaman salah seorang peserta yang telah melakukan audiensi kepada lembaga pemerintahan tapi tidak mendapatkan tanggapan baik, juga tanggapannya tentang korban bullying di generasi sekarang yang tidak tahan banting terhadap zaman.

Di akhir sesi, ada dua rekomendasi yang diberikan oleh Anshori kepada forum untuk diupayakan kepada pemangku kebijakan maupun GUSDURian Mojokerto.

“Pertama, mengajukan guru agama non-Muslim di sekolah negeri kepada dinas pendidikan. Kedua, GUSDURian bisa mengajukan untuk masuk ke sekolah dan mengadakan kegiatan penguatan karakter building,” terangnya.

Penggerak Komunitas GUSDURian Mojokerto, Jawa Timur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *